Menu
PAHLAWAN NASIONAL

Tahi Bonar Simatupang. Letnan Jenderal TNI (Purn)

Berdasarkan: Keppres No.68/TK/Tahun 2013, Tanggal 6 November 2013

Letnan Jenderal (Purn.) Tahi Bonar Simatupang dikenal sebagai tentara intelektual. Simatupang merupakan salah satu pencetak awal fondasi tentara Indonesia. Ia berprinsip militer harus professional, karena tentara adalah alat negara dan tunduk pada pemerintah sipil.

Simatupang merupakan Wakil Kepala Staf Angkatan Perang RI era 1948 – 1949 dan Kepala Staf Angkatan Perang RI era 1950 – 1954. Simatupang pensiun dini dari militer pada 1959. Simatupang kemudian mengisi hari-harinya menjadi aktivis gereja dan pernah menjadi Ketua Dewan Gereja-Gereja di Indonesia, Ketua Dewan Gereja-Gereja se-Asia dan Ketua Dewan Gereja-Gereja se-dunia.

Tahi Bonar Simatupang dilahirkan di Sindikalang, Sumatera Utara pada 28 Januari 1920. Ia dilahirkan dalam sebuah keluarga sederhana. Ayahnya, Simon Mangaraja Soaduan Simatupang adalah intelektual yang bekerja di jawatan Pos dan Telegraf dan pendiri Persatuan Kristen Indonesia, yang kemudian jadi Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Simatupang lahir sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara. Ia dibesarkan di tengah keluarga dengan tradisi Gereja Lutheran yang kuat namun tetap teguh memegang adat Bataknya. Simatupang termasuk orang yang hobi berlama-lama membaca atau menulis sesuatu dan selalu tidak lepas dari kaca mata. Simatupang menikah dengan Sumarti Budiardjo.

Pasangan ini dikaruniai empat orang anak, satu diantaranya telah meninggal. Istri Simatupang merupakan adik kawan seperjuangannya yaitu Ali Budiardjo. Simatupang dan Sumarti sudah mulai akrab sewaktu berlangsung Konferensi Meja Bundar. Simatupang menempuh pendidikan dasarnya di HIS Pematang Siantar dan menyelesaikannya pada tahun 1934. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di MULO Tarutung dan menyelesaikannya pada 1937.

Setamat MULO, ia melanjutkan pendidikannya ke AMS di Jakarta dan menyelesaikannya pada tahun 1940. Setelah lulus AMS, Simatupang kemudian menlanjutkan pendidikannya ke Koninkijke Militarij Acadeimie (KMA) di Bandung. KMA merupakan suatu sekolah militer yang lulusannya akan menjadi anggota KNIL. Simatupang menyelesaikan pendidikan militernya pada 1942, bertepatan dengan masuknya tentara Jepang ke Indonesia. Ia bersama teman-temannya kemudian ditempatkan Jepang di Resimen Pertama Jakarta dengan pangkat Calon Perwira. Di tempat ini, Simatupang berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Ali Budiardjo, lalu mulai aktif dalam diskusi-diskusi tentang makna perjuangan dan kemerdekaan.

Selama perjuangan bersenjata mempertahankan kemerdekaan, Simatupang bersama Jenderal Sudirman memimpin tentara bergerilya di Jawa Tengah. Aktivitasnya ini kemudian diabadikannya dalam buku Laporan dari Banaran (1980).

Selain aktivitas perjuangan fisik, Simatupang juga aktif menjadi penasehat militer dalam perundingan-perundingan yang dilakukan Indonesia dengan Belanda, seperti dalam perundingan-perundingan yang menghasilkan Perjanjian Renville dan lantas aktif pula dalam perundingan lanjutannya di Kaliurang, 24 kilometer di utara Yogyakarta, perundingan Roem Royen. Pada 1949, Simatupang mewakili Angkatan Bersenjata dalam delegasi Indonesia di Konferensi Meja Bundar. Misi utamanya adalah mendesak Belanda membubarkan KNIL serta mengukuhkan TNI sebagai kekuatan inti Angkatan Perang RI. Ketika Jenderal Sudirman wafat, Simatupang tidak lama kemudian dilantik sebagai Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) RI.

Terkait dengan perjuangan fisik, renungan Simatupang tentang serangan mendadak Belanda atas Yogyakarta pada 19 Desember 1948 kemudian ia tuturkan kembali dalam buku, Laporan dari Banaran: “Apakah pagi ini lonceng matinya Republik sedang dibunyikan? Atau apakah Republik sedang kita akan lulus dalam ujian ini?”. Pertanyaan-pertanyaan itu dijawabnya sendiri dengan mengatakan: “Itu bergantung pada diri kita sendiri, kita yang menyebut diri kaum Republiken. Hari ujian bagi kita telah tiba. Apakah kita loyang? Apakah kita emas?” Kenyataannya Yogya jatuh. Presiden, Wakil Presiden dan para pemimpin lainnya telah ditawan Belanda. Seperti prajurit-prajurit yang lain, Simatupang kemudian bergerilya bersama Jenderal Sudirman.

Dalam perjalanan perang gerilya, Simatupang sering diolok-olok sebagai “diplomat kesasar” karena selama gerilya, ia hampir tidak lepas dari setelan celana abu-abu dan kemeja buatan luar negeri yang dipakainya ketika ia menjadi penasehat militer dalam perundingan Kaliurang dan pakaian itulah yang menempel di tubuhnya ketika berangkat gerilya.

Simatupang menyebut masa perjuangan kemerdekaan sebagai “loncatan pertama” dan itu sudah terlewati. Simatupang kemudian menyusun konsep memfungsikan ABRI sebagai dinamisator pembangunan di masa damai. Simatupang menyebut pemikiran ini sebagai “loncatan kedua”. Konsep inilah yang kemudian diperkenalkan AH Nasution sebagai Dwi Fungsi ABRI.

Usaha rasionalisasi dan profesionalisasi ABRI yang dilaksanakan TB Simatupang yang bertujuan untuk meningkatkan mutu tentara, mendapat kritik dari para politisi. Pemikiran ini pun berbeda pandangan dengan Bung Karno. Perbedaan pendapat yang tajam antara Simatupang dan Bung Karno berakhir dengan dihapuskannya jabatan KSAP pada 1954. Penghapusan ini berawal dari peristiwa 17 Oktober 1952, ketika tentara menghadapkan moncong meriam ke istana dan meminta Presiden membubarkan parlemen. Aksi yang dilakukan oleh Nasution dan kawan-kawan ini membuat Simatupang dituduh terlibat dalam peristiwa tersebut, sehingga ia dicopot dari KSAP dan dibubarkannya lembaga tersebut.

Simatupang kemudian ditunjuk sebagai Penasehat Militer di Departemen Pertahanan. Sebelum menjadi Penasehat Militer, Simatupang ditawari jabatan sebagai Duta Besar, namun ditolaknya. Ia memanfaatkan waktunya selama lima tahun, sebelum ia mengundurkan diri dari dinas militer untuk mengajar di Sekolah Staf Angkatan Darat dan Akademi Hukum Militer. Materi pengajaran yang ia berikan di kedua sekolah tersebut, kemudian ia tulis kembali menjadi buku dengan berjudul Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai (1981).

Pada 21 Juli 1959, mengundurkan diri dari dinas kemiliteran, dan sejak itu ia aktif dalam aktifitas keagamaan. Ia kemudian menjadi Ketua Umum Dewan Geraja Indonesia. Ia pun pernah mengetuai Dewan Gereja se-Asia dan Dewa Gereja se-Dunia. Selain aktif di bidang keagamaan, ia juga aktif dalam Bidang Pendidikan, ketika Dr. A.M. Kadarman SJ melontarkan gagasan mendirikan sebuah sekolah manajemen bagi generasi muda Indonesia, Simatupang mendukung ide tersebut dan kemudia ide itu diwujudkan dengan didirikannya Yayasan Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (YPPM) pada 3 Juli 1967. Yayasan ini didirikan bersama dengan tokoh-tokoh lain, misalnya untuk dewan pendiri ada Profesor Bahder Djohan mewakili golonga Islam, Dr. A.M. Tambunan mewakili golong Kristen dan I.J. Kasimo mewakili golongan Katolik. Simatupang sendiri kemudian menjabat sebagai Ketua Yayasan yang membawahi Institut Pendidikan dan Pembinaaan Manajemen (IPPM).

Selain aktif di bidang pendidikan dan agama, Simatupang juga aktif di media massa. Simatupang menjadi Dewan Redaksi koran Sinar Harapan yang diterbitkan PT. Sinar Kasih. Simatupang masuk Dewan Redaksi sejak didirikannya hingga pembredelan Sinar Harapan pada Oktober 1986. Tajuk rencana yang ditulisnya sering mendapat penghargaan Adinegoro.

Dalam kehidupannya, Simatupang merasa ada tiga Karl yang mempengaruhi kehidupannya dan juga pemikirannya, yaitu; Carl von Clausewitz, seorang ahli strategi perang, Karl Marx dan Karl Barth, teolog Protestan terkemuka abad ke-20. Seluruh kehidupan Simatupang mencerminkan peranan ketiga pemikir besar itu.

Simatupang kemudian memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Tulsa, Amerika Serikat untuk pemikiran-pemikiran ilimiahnya pada tahun 1969. Karya-karya lain dari Simatupang yang diterbitkan antara lain Soal-soal Politik Militer di Indonesia (1956), Pengantar Ilmu Perang di Indonesia (1969), Laporan dari Banaran (1980), Peranan Angkatan Perang dalam Negara Pancasila yang Membangun (1980), Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai (1981), Iman Kristen dan Pancasila (1984), Keprihatinan dan Tekad; Angkatan ’45 Merampungkan Tugas Sejarahnya (1985) dan Dari Revolusi ke Pembangunan (1987). Untuk mengenang jasanya, sekelompok cendikiawan menerbitkan sebuah buku memoir dengan judul Saya Orang yang Berhutang (1990).


(Tambahan Informasi)


Biografi TB Simatupang: Ahli Strategi Perang Penerus Jenderal Sudirman

Salah satu delegasi Indonesia untuk Konferensi Meja Bundar

Tahi Bonar Simatupang bisa jadi merupakan salah satu nama yang tidak disukai oleh Presiden Sukarno hingga akhir dia menjabat. Pejuang kemerdekaan Indonesia yang lebih dikenal luas sebagai TB Simatupang itu pernah membuat Sang Proklamator marah besar.

Melansir buku Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos, ini lantaran TB Simatupang menolak memenuhi permintaan Sukarno untuk memecat Kolonel AH Nasution yang pada Juli 1952 menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). TB Simatupang menilai itu akan jadi preseden buruk di masa depan jika seorang Presiden bisa seenaknya memecat atau mengangkat seseorang di tubuh militer.

1. TB Simatupang masuk ke Akademi Militer Belanda, kemudian menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR)

TB Simatupang lahir di Sidikalang, Sumatera Utara, pada 28 Januari 1920. Ia merupakan keturunan Batak Protestan yang taat menjalankan agama. Laki-laki yang akrab disapa Sim itu merantau ke Jakarta saat usianya menginjak 17 tahun untuk melanjutkan pendidikan di institusi binaan Belanda.

Pada 1941, atau ketika berumur 22 tahun, TB Simatupang berhasil masuk ke Akademi Militer Belanda yang berlokasi di Bandung, Jawa Barat. Di sana, jiwa tempurnya diasah, termasuk karena memiliki rekan-rekan yang menjadi perwira di Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL).

Empat tahun berselang, Indonesia yang berhasil memproklamasikan kemerdekaan membuat T.B. Simatupang menjadi bagian dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Berkat kelihaiannya, putra dari Sutan Mangaraja Soaduan Simatupang dan Mina Boru Sibutar itu pun dipercaya sebagai Kepala Organisasi Markas Besar TKR oleh Kepala Staf TNI Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo.

2. Ia menjadi delegasi Indonesia ketika Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda, lalu menggantikan Jenderal Sudirman setelah ia wafat

Potensi TB Simatupang sudah tampak sejak masih dibina Belanda. Maka, tidak heran ketika kemudian ia menerima posisi terhormat sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP). Sedangkan KSAP sendiri tidak lain adalah Jenderal Sudirman yang kala itu sudah sangat legendaris.

TB Simatupang tidak memfokuskan masa belajarnya untuk mempelajari kemampuan fisik selama berperang, melainkan tentang strategi dan taktik itu sendiri. Ia dikenal sangat pintar sehingga wajar saat kareirnya di militer melesat begitu cepat.

Kemampuan intelektual digabung dengan pengalaman bergerilya bersama Jenderal Sudirman adalah bekal yang cukup baginya untuk berpartisipasi dalam upaya diplomasi. TB Simatupang menjadi salah satu delegasi Indonesia saat Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, pada 1949.

Sinar TB Simatupang belum meredup. Pada 1950, usai Jenderal Sudirman meninggal dunia, ia diangkat sebagai penerus. Padahal saat itu, umurnya baru 30 tahun. Ini tak lain karena fakta bahwa dia bukan hanya cerdas, tapi juga berani di dalam situasi pertempuran selama berada di bawah bimbingan Sang Jenderal.

3. Cekcoknya dengan Presiden Sukarno menjadi ujung kariernya yang gemilang di militer

Di tubuh militer sendiri rupanya terjadi perpecahan. Kolonel Bambang Supeno yang merupakan komandan institusi pelatihan perwira militer, Candradimuka, mendekati Sukarno untuk membujuknya agar memecat Kolonel AH Nasution dari posisinya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

Sukarno pun mengabulkannya asal para panglima divisi di berbagai pos sependapat dengan memberikan tanda tangan. Syarat itu bisa dipenuhi. Namun, sebagai atasan Nasution, TB Simatupang dengan berani menyatakan keberatan.

Menurutnya, campur tangan Sukarno itu bisa menimbulkan situasi yang berbahaya di masa depan. Saat berada di Istana Negara, ia menyampaikan bahwa cara tersebut bisa dicontoh oleh pejabat militer lain yang ingin mengamankan posisinya dengan mendekati Sukarno.

Pada saat yang sama, apabila ada panglima-panglima divisi yang tidak menyukai seorang pimpinan, mereka bisa mengumpulkan tanda tangan, lalu meminta Sukarno untuk mencopot orang tersebut. Akibatnya, kesetiaan tidak lagi pada negara, melainkan presiden.

Sukarno pun marah besar atas penolakan TB Simatupang untuk mengganti Nasution sesuai permintaan Bambang Supeno. Bahkan, TB Simatupang tidak mau berjabat tangan dengan Sukarno ketika meninggalkan Istana Negara. Cekcok ini dan kian bergolaknya tubuh militer yang kemudian mengakhiri karirnya di dunia militer.

Pada 1952, ia diberhentikan sebagai KSAP. Jabatannya sebagai penasihat di Kementerian Pertahanan juga diakhiri pada tujuh setelahnya. Umurnya ketika itu masih sangat muda yaitu 39 tahun.

Keluar dari militer, ia mendedikasikan hidup untuk agama. TB Simatupang tak hanya berceramah di gereja-gereja, ia pun menulis sejumlah buku tentang Kristen. Tulisan-tulisannya juga dimuat di surat kabar Suara Pembaruan. Hingga akhir hayatnya, T.B. Simatupang melayani lewat jalan agama.

Sumber: https://www.idntimes.com/news/indonesia/rosa-folia/biografi-tb-simatupang-ahli-strategi-perang-penerus-jenderal-sudirman/3


Biografi TB Simatupang: Ahli Strategi Perang Penerus Jenderal Sudirman, Delegasi Indonesia untuk Konferensi Meja Bundar

• IDN.Times, 17 Agustus 2020 | 08:43

Jakarta, IDN Times – TB Simatupang lahir di Sidikalang, Sumatera Utara, pada 28 Januari 1920. Ia merupakan keturunan Batak Protestan yang taat menjalankan agama. Laki-laki yang akrab disapa Sim itu merantau ke Jakarta saat usianya menginjak 17 tahun untuk melanjutkan pendidikan di institusi binaan Belanda.

Pada 1941, atau ketika berumur 22 tahun, TB Simatupang berhasil masuk ke Akademi Militer Belanda yang berlokasi di Bandung, Jawa Barat. Di sana, jiwa tempurnya diasah, termasuk karena memiliki rekan-rekan yang menjadi perwira di Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL).

Empat tahun berselang, Indonesia yang berhasil memproklamasikan kemerdekaan membuat T.B. Simatupang menjadi bagian dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Berkat kelihaiannya, putra dari Sutan Mangaraja Soaduan Simatupang dan Mina Boru Sibutar itu pun dipercaya sebagai Kepala Organisasi Markas Besar TKR oleh Kepala Staf TNI Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo.
Ia juga menjadi delegasi Indonesia ketika Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda, lalu menggantikan Jenderal Sudirman setelah ia wafat

Potensi TB Simatupang sudah tampak sejak masih dibina Belanda. Maka, tidak heran ketika kemudian ia menerima posisi terhormat sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP). Sedangkan KSAP sendiri tidak lain adalah Jenderal Sudirman yang kala itu sudah sangat legendaris.

TB Simatupang tidak memfokuskan masa belajarnya untuk mempelajari kemampuan fisik selama berperang, melainkan tentang strategi dan taktik itu sendiri. Ia dikenal sangat pintar sehingga wajar saat kareirnya di militer melesat begitu cepat.

Kemampuan intelektual digabung dengan pengalaman bergerilya bersama Jenderal Sudirman adalah bekal yang cukup baginya untuk berpartisipasi dalam upaya diplomasi. TB Simatupang menjadi salah satu delegasi Indonesia saat Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, pada 1949.

Sinar TB Simatupang belum meredup. Pada 1950, usai Jenderal Sudirman meninggal dunia, ia diangkat sebagai penerus. Padahal saat itu, umurnya baru 30 tahun. Ini tak lain karena fakta bahwa dia bukan hanya cerdas, tapi juga berani di dalam situasi pertempuran selama berada di bawah bimbingan Sang Jenderal.

Setelah pensiun dari militer, ia mendedikasikan hidup untuk agama. TB Simatupang tak hanya berceramah di gereja-gereja, ia pun menulis sejumlah buku tentang Kristen. Tulisan-tulisannya juga dimuat di surat kabar Suara Pembaruan. Hingga akhir hayatnya, T.B. Simatupang melayani lewat jalan agama.

Dalam aktivitas gerejawinya itu, ia pernah menjabat sebagai Ketua Umum PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), Ketua Majelis Pertimbangan PGI, Ketua Dewan Gereja-gereja Asia, Ketua Dewan Gereja-gereja se-Dunia, dan lain-lain.

Di lingkungan kemasyarakatan, Simatupang menjabat sebagai Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia dan Ketua Yayasan Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM). Ia bahkan merupakan salah satu pencetus lembaga pendidikan ini, ketika di Indonesia belum banyak orang yang memikirkannya.

Simatupang percaya bahwa Indonesia membutuhkan pemimpin-pemimpin yang menguasai ilmu manajemen di dalam perusahaan maupun di tengah masyarakat.

Pada 1969 Simatupang dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Tulsa, Oklahoma, Amerika Serikat. (*)

https://www.idntimes.com/news/indonesia/rosa-folia/biografi-tb-simatupang-ahli-strategi-perang-penerus-jenderal-sudirman/3

Artikel Terkait

IKATAN KELUARGA PAHLAWAN NASIONAL INDONESIA

Meneguhkan Persatuan Bangsa yang Berdaulat, Adil, dan Makmur

WEB TERKAIT

Informasi

Hubungi Kami

Kementerian Sosial, Gedung C, Lantai Dasar
Jl. Salemba Raya No. 28, Jakarta Pusat
IKPNI.com merupakan situs resmi yang diakui oleh Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia. Seluruh konten serta opini dalam situs ini berdasarkan fakta-fakta yang tersedia, namun tidak mewakili pendapat Inspira Mediatama. Konten dalam situs ini sebaiknya tidak dijadikan dasar oleh pembaca dalam mengambil keputusan komersial, hukum, finansial, atau lainnya. Pada artikel yang sifatnya umum, pembaca disarankan mencari pendapat dari profesional sebelum menanggapi dan mengoreksi konten informasi yang dipublikasi jika mungkin tidak sesuai dengan pandangan pembaca. Publisher tidak bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaian yang tayang, bagaimanapun disebabkan. Website ini dibuat untuk IKPNI dengan hak cipta. Kepemilikan merek dagang diakui. Dilarang menyalin, menyimpan, atau memindahkan dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari publisher.
1
"Hallo, Admin. Website IKPNI."
Powered by