Salah satu contoh fatal ketika mencampur kejujuran dgn kebatilan
Tahun 1923 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo melanjutkan kuliah di Nederlands Indische Artsen School (Pendidikan Tinggi Kedokteran) di Surabaya. Tahun inilah dimulai masa perkenalannya dengan Sarekat Islam (SI) dan Haji Oemar Said Tjokroaminoto.
Hubungan antara Tjokroaminoto dan Kartosoewirjo, adalah antara guru dan murid. Berkat kecerdasan dan keberpihakannya yang kuat terhadap Islam, Tjokroaminoto meminta Kartosoewirjo menjadi sekretaris pribadinya. Kartosoewijo pun berkesempatan tinggal di rumah Tjokroaminoto di Jalan Peneleh VII No. 29–31 Surabaya. Interaksi seperti yang pernah dilakukan Tjokroaminto kepada Sukarno, berulang pada diri Kartosoewirjo.
Ya. Sukarno dan Kartosoewirjo sama-sama berguru kepada Tjokroaminoto. Keduanya pernah menjadi anak kos di rumah Tjokroaminoto.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya yang juga salah satu pendiri Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED) Aji Dedi Mulawarman, mengisahkan bahwa Sukarno menyebut Rumah Peneleh sebagai dapur nasionalisme. Julukan ini memang tak berlebihan, karena di tempat itulah Tjokroaminoto melakukan pengkaderan untuk menggodok putra-putra terbaik bangsa, baik langsung maupun tak langsung. Beberapa muridnya antara lain seperti Sukarno (Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia), Kartosoewirjo (tokoh Pendiri Negara Islam Indonesia), Semaoen, Alimin, Moeso (tokoh-tokoh utama PKI), dan masih banyak lagi. Boleh dibilang Rumah Peneleh saat itu bagaikan “rumah bernyawa”. Karena di rumah itu Tjokroaminoto melakukan aktivitas sehari-hari, menerima tamu dari kalangan biasa sampai tokoh-tokoh utama negeri yang nantinya bernama Indonesia, hingga menjadi tempat diskursus ideologi, diskursus masalah kontekstual negeri, bahkan menjadi tempat di mana rencana-rencana besar Sarekat Islam digerakkan.
“Tak dapat disangkal, Rumah Peneleh juga menjadi simbol bagi lahirnya guru bangsa,” ujar Aji dalam buku Jang Oetama: Jejak H.O.S Tjokroaminoto.
Pertemanan Sukarno dan Kartosoewirjo juga terungkap melalui kisah dalam buku yang ditulis Roso Daras. Ceritanya bermula dari pesan Tjokroaminoto yang menyatakan, “Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan, dan bicaralah seperti orator”.
Pesan itu sangat diingat Soekarno, hingga setiap malam dia selalu belajar pidato. Setiap Sukarno belajar berpidato, suaranya yang lantang terdengar sangat mengganggu kawan-kawannya yang juga tinggal di rumah Tjokroaminoto, seperti Moeso, Alimin, Kartosoewirjo, dan Darsono. Tidak jarang, mereka yang mendengar tertawa.
Bahkan, sering kali saat Sukarno sedang belajar berpidato, kawan-kawannya memintanya untuk berhenti, karena merasa terganggu. Tetapi Soekarno tak mau peduli, ia tetap melanjutkan pidatonya di depan kaca, di dalam kamarnya yang gelap.
Menurut Roso Daras, Kartosoewirjo pernah melontarkan ejekan kepada Sukarno saat latihan pidato. Ia menuliskan mengenai karibnya hubungan keduanya kala itu di buku Bung Karno Vs Kartosuwiryo, Serpihan Sejarah Yang Tercecer.
“Hei Karno, buat apa berpidato di depan kaca? Seperti orang gila saja,” kata Kartosoewirjo.
Mendengar celetukan itu, Sukarno diam saja terus melanjutkan pidatonya. Setelah pidatonya selesai, dia baru membalas ejekan Kartosoewirjo. Kalimat pertamanya adalah penjelasan kenapa dia belajar berpidato sebagai persiapan untuk menjadi orang besar. Pada kalimat kedua, Soekarno baru membalas ejekan kawannya itu.
“Tidak seperti kamu, sudah kurus, kecil, pendek, keriting, mana bisa jadi orang besar!.” ucap Sukarno dibarengi oleh tawa keduanya.
Peristiwa itu terjadi di rumah Tjokroaminoto, hingga keduanya tumbuh dewasa. Roso Daras menceritakan, Kartosoewirjo memang paling dekat dengan Sukarno dibandingkan dengan pemuda lain yang “mondok” di Rumah Peneleh. “Mungkin karena yang lain (Semaoen, Alimin dan Moeso) lebih senior,” kata Roso kepada medcom.id, Kamis (18/8/2016).
Ia menambahkan, di rumah itu memang nuansa politik dan suasana pergerakan sangat kental. Namun, mereka yang kos di rumah tersebut bergaul layaknya anak muda pada zamannya. Saling ledek, saling ejek, juga penuh canda tawa.
Kader Tjokroaminoto
Meski lahir dari kalangan bangsawan, Tjokroaminoto terkenal konsisten menyuarakan persamaan hak untuk kaum pribumi. SI pun menjadi mesin perjuangan pribumi yang masif kala itu, anggotanya lebih dari dua juta orang dan tersebar di berbagai daerah.
Kondisi inilah yang mengundang sejumlah tokoh pergerakan kerap mendatangi Tjokroaminoto, berkumpul dan diskusi di rumahnya. Sebut saja tokoh Islam Agus Salim, tokoh nasionalis Ki Hajar Dewantara hingga tokoh sosialis “kiri” Hendrikus Sneevliet.
Sebagai “bangsawan pikir” yang sanggup menggerakkan jutaan orang dan berpengaruh di kalangan pergerakan saat itu, pemerintah kolonial menjuluki Tjokroaminoto sebagai “Raja Jawa tanpa Mahkota”, atau De Ongekroonde van Java.
Karisma Tjokroaminoto dalam memimpin, mengagitasi, pidato, hingga pemikiran ”zelfbestuur”-nya (kemandirian bangsa dengan pemerintahan sendiri), kian mempesona anak semangnya di rumah. “Rumah Cokroaminoto menjadi “surga pengetahuan” bagi anak-anak muda pada jaman itu untuk lebih mengerti keadaan bangsanya. Cokroaminoto memposiskan diri sebagai mentor bagi anak-anak muda,” ucap Sukarno dalam biografi Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams.
Dari sederet nama pemuda yang dikader Tjokroaminoto, Sukarno yang paling mampu merebut hati sang guru. Selain karena sering diajak Tjokro dalam aktivitas politiknya, Sukarno kerap memperlihatkan kecerdasannya dalam berdiskusi.
Sukarno juga dipercaya Tjokro untuk menggantikan posisinya dalam rapat-rapat SI bila ia berhalangan hadir. “Sejarah menyebutkan, di manapun ketika Tjokro berhalangan, microphone diberikan ke Sukarno,” tutur Roso.
Sejarawan Peter Kasenda, dalam tulisannya seputar pergerakan SI, menduga Sukarno telah dipersiapkan Tjokro sebagai pewaris kepemimpinan Sarekat Islam. “Alasan itu juga yang membuat Tjokro mengangkat Sukarno sebagai menantu,” katanya.
Sukarno pernah menikah dengan putri sulung Tjokroaminoto bernama Siti Utari. Saat itu usia Sukarno masih 21 tahun, sementara usia Utari belum genap 16 tahun.
Dalam biografi yang ditulis Cindy Adam, Sukarno mengungkap alasan pernikahan itu. Yakni, ingin membahagiakan Tjokro yang saat itu terpukul setelah isterinya meninggal dunia. Tjokro tampak khawatir terhadap hari depan anaknya, siapa yang akan menjaganya, sementara ia harus mengurus Sarekat Islam yang kerap direpresi Belanda. Ditengarai adik Tjokro atau paman dari Utari yang melobi Sukarno untuk menikahi Utari.
Sumber: https://m.eramuslim.com/berita/nwo-untold/akhir-persahabatan-kartosoewirjo-dan-sukarno.htm