Sultan Thaha Syaifuddin
Setelah dinobatkan sebagai Sultan Jambi pada tahun 1855, Thaha Syaifuddin menegaskan bahwa tidak lagi mengakui perjanjian yang pernah dibuat oleh sultan terdahulu serta tidak akan membuat perjanjian baru. Pemerintah Belanda mengancam akan menangkap dan mengasingkannya, tetapi Sultan Thaha tidak sedikitpun gentar, bahkan menyiapkan pasukannya untuk menyerang Belanda. Pemerintah Belanda mengirim Residen Palembang dan Asistennya ke Jambi untuk mengadakan perjanjian baru dengan sultan, namun upaya tersebut gagal. Belanda mengirim pasukan ke Muara Kompeh di bawah kekuatan 30 buah kapal perang dan tiba di Jambi tanggal 25 September 1858.
Sultan Thaha memiliki kekuatan yang terdiri dari 30 buah kapal perang yang disiapkan di Muara Tembesi, sedangkan Istana Sultan yang disebut “Tanah Pilihan” dikosongkan. Sultan bersama keluarganya menyingkir ke Muara Tembesi. Dalam pertempuran itu, tiga orang panglima Jambi gugur dan digantikan oleh Raden Mat Tahir. Tanggal 2 Maret 1859, Belanda menobatkan sultan baru, yaitu Panembahan Prabu, paman Sultan Thaha dengan gelar Ratu Akhmad Nazarudin untuk menandatangani perjanjian baru yang isinya sangat merugikan Kerajaan Jambi.
Sultan Thaha tidak mengakui perjanjian maupun pengangkatan Sultan Nazarudin. Pendirian ini didukung oleh rakyatnya, karena Sultan Thaha memiliki pusaka Jambi turun-temurun “Si Ginjal”. Untuk meningkatkan perjuangannya, Sultan Thaha bersama Pangeran Tumenggung Mangkunegara dari Bangka membentuk pasukan Sabilillah dengan wilayah komando dibagi dua, yaitu Sultan Thaha dan Pangeran Diponegero memimpin daerah Muara Tembesi sampai Padang, dan Tumenggung Mangkunegara bersama Haji Umar bin Pangeran M. Yasin di daerah Muara Tembesi sampai Kerinci. Pertempuran demi pertempuran melawan Belanda terus dilakukan Sultan Thaha.
Usaha Belanda dengan berbagai cara telah dilakukan, termasuk penelitian Snouck Hurgronje, tetapi hasilnya tetap nihil. Allah SWT memanggil Sultan Thaha ke haribaan-Nya pada tanggal 26 April 1904 dalam usia lanjut, yakni 88 tahun.
Nilai Kepribadian Luhur yang Dimiliki
Sampai wafatnya, Belanda tidak berhasil menangkap Sultan Thaha yang licin bagai belut dan memusingkan. Sultan Thaha beberapa kali terancam maut, namun hatinya tak pernah surut seperti ucapannya, “Saya tidak mau berunding dengan Belanda, niscaya hilanglah amal saya 40 hari jika saya melakukannya”. Keyakinan yang pasti dan sangat menyentuh hati.