Siswondo Parman, Letjen TNI. ANM.
Karirnya diawali dari pertemuan dengan pasukan Jepang yang sedang bergerak ke beberapa kota di Jawa Tengah, membutuhkan seorang penterjemah S. Parman dibawa oleh Kompetai (Polmil) Jepang ke Yogyakarta dan diangkat sebagai perwira sipil Kompetai. Meskipun demikian S. Parman tetap berhubungan dengan teman-temanya yang melakukan gerakan bawah tanah untuk melawan Jepanng.
Setelah proklamasi bersama dengan Umar Slamet dan Sudharti mendirikan organisasi bernama Badan Pengawas Undang-Undang yang bertujuan menjaga keamanan. Sesudah pemerintah RI membentuk TKR, S. Parman diangkat sebagai Kepala Staf Markas Besar Polisi Tentara (MBT) di Yogyakarta dengan pangkat Kapten. Tahun 1948 S. Parman sempat dipenjara di Wirogunan karena kesalahpahaman. Kakak S.Parman yaitu Ir. Sakirman ikut dalam pemberontakan PKI di Madiun, S. Parman yang saat itu menjabat Kepala CPM Markas Besar Komando Jawa tidak dapat menyembunyikan dan membantu pemberontak. Setelah terbukti tidak bersalah lalu dibebaskan.
Selama agresi militer Belanda kedua S. Parman ikut bergerilya di luar kota, pada bulan Desember 1949 S. Parman ke Jakarta untuk mengambil alih Militaire Politie dari Belanda. Sesudah itu diangkat Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta. Pada bulan Maret 1950 diangkat Kepala Staf G pada Markas Besar Angkatan Darat dengan pangkat Letnan Kolonel. November 1950 diangkat menjadi Komandan CPM seluruh Indonesia.
Mengikuti pendidikan di Association Military Company Officer di Amerika Serikat selama satu tahun, setelah kembali menjadi Komandan CPM merangkap sebagai Kepala Staf Umum III Angkatan Darat. Terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952 menimbulkan keretakan dalam tubuh Angkatan Darat, S. Parman mengajukan berhenti dari jabatan Kepala Staf Umum Angkatan Darat namun tetap mengajar pada Pusat Pendidikan Angkatan Darat.
Tahun 1956 diangkat menjadi Kepala Bagian Material Kementerian Pertahanan, 1958 menjadi Kolonel dan tahun 1959 ditugaskan sebagai Atase Militer di Londom selama 3 tahun. Tahun 1962 sebagai Asisten I bidang intelijen dengan pangkat Brigjen dan pangkat berikutnya sebagai Mayor Jenderal tahun 1964. Dini hari tanggal 1 Oktober 1965, S. Parman diculik di rumahnya, di bawa ke Lubang Buaya, disiksa dan dibunuh. Mayatnya dimasukkan ke dalam sumur tua, tanggal 3 Oktober 1965 sumur tua itu ditemukan dan tanggal 5 Oktober 1965 jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Nilai Kepribadian Luhur yang dimiliki
Pahlawan revolusi yang satu ini memulai karir militernya justru karena “diambil” pasukan Jepang ketika memerlukan penghubung yang mahir berbahasa asing. S. Parman menentang keras usul PKI yang menginginkan dibentuknya angkatan lima, menandakan keyakinan politik dan kecintannya pada negara.