Mohammad Husni Thamrin
Pada usia 25 tahun (1919) telah menjadi anggota Dewan Kota (Gementeraad) Betawi yang didirikan pada tahun 1905. Husni Thamrin berjuang memperbaiki nasib penduduk dan kota Betawi. Hasilnya tampak ketika pemerintah kolonial membuat kanal Ciliwung agar Jakarta tidak kena banjir.
Pada tahun 1923, mendirikan organisasi kaum Betawi yang bertujuan memajukan perdagangan, pendidikan, dan kesehatan masyarakat. Tahun 1929, Husni Thamrin diangkat sebagai Loco Burgemester I atau Wakil Walikota. Perjuangannya melaju ke tingkat nasional ketika tahun 1927, Husni Thamrin menjadi anggota Volksraad (Parlemen Hindia-Belanda) yang memperjuangkan nasib masyarakat Indonesia, antara lain menghapuskan Poenale Sanctie yaitu hukuman cambuk kepada kuli-kuli yang dianggap menyalahi kontrak.
Pidato Husni Thamrin tentang kasus tersebut menarik perhatian masyarakat sampai ke Eropa dan AS yang menyebabkan peraturan tersebut dicabut. Husni Thamrin menjadi ketua Fraksi Nasional pada tahun 1930, selanjutnya diangkat sebagai Wakil Ketua Volksraad. Pada tahun 1939, dan pada tahun yangn sama, Husni Thamrin usul agar pemerinntah menggunakan kata Indonesia sebagai pengganti Nederlands Indie.
Pada tahun 1935, berdiri PARINDRA (Partai Indonesia Raya) dan Husni Thamrin menjabat sebagai Ketua Departemen Politik. Husni Thamrin berpidato dalam rapat umum PARINDRA dan menuntut Indonesia berparlemen. Sebelum itu, Husni Thamrin telah menggalang kerjasama dengan tokoh di Filipina, Jepang, dan lain-lain. Perjuangan Husni Thamrin melawan Belanda dengan cara kooperatif berbeda dengan tokoh lainnya yang non-kooperatif.
Aktivitasnya makin membahayakan, dan pada tanggal 9 Januari 1941, rumah Husni Thamrin digeledah dan langsung dikenakan tahanan rumah, dilarang dikunjungi siapapun termasuk dokter pribadi. Sampai saat yang sangat mencekap ketika Husni Thamrin disuntik mati oleh Belanda yang merenggut nyawanya.
Nilai Kepribadian Luhur yang Dimiliki
Pencetus kata Indonesia yang digunakan sampai sekarang. Meskipun secara pribadi Husni Thamrin sangat dekat dengan Soekarno dan sering bertukar pikiran, namun di antara keduanya terdapat perbedaan prinsip soal strategi perjuangan dalam mencapai kemerdekaan Indonesia.