Ki Bagus Hadikusumo
Ki Bagus Hadikusumo lahir pada 21 November 1890. Nama kecilnya Hidayat. Ia berasal dari keluarga priyayi santri di daerah Kauman, Yogyakarta.
Kultur Islami di daerah dimana Ki Bagus tinggal mempengaruhi jiwanya. Ayahnya, Kyai Hasyim, adalah seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta dan pernah memegang jabatan sebagai Lurah Bidang Keagamaan dengan gelar Lurah Kaji. Pendidikan formal yang diterima Ki Bagus hanya sampai tingkat Sekolah Dasar. Pendidikan agama, selain dari ayahnya, diperolehnya di dua pesantren tradisional, di Wonokromo dan di Pekalongan. Di pesantren ini, ia berkenalan dengan ilmu tasawuf, akan tetapi yang lebih penting dan berpengaruh ialah belajar agama langsung pada K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Melalui Ahmad Dahlan, Ki Bagus berkenalan dengan organisasi Islam itu.
Perjalanan hidup, perjuangan, dan pemikiran Ki Bagus Hadikusumo tidak dapat dilepaskan dari Muhammadiyah. Ia dibesarkan oleh, dan sekaligus juga membesarkan Muhammadiyah. Berbagai jabatan pernah dipegangnya. Diawali dengan jabatan sebagai Ketua Majelis Tabligh, kemudian Ketua Majelis Tarjih (lembaga fatwa), pada akhirnya ia menduduki posisi puncak sebagai Ketua Pengurus Besar (PB) Muhammadiyah. Jabatan ini dipegangnya selama 11 tahun (1942-1953). Sebenarnya, dalam Kongres Muhammadiyah tahun 1953, Ki Bagus masih diminta untuk memimpin Muhammadiyah, namun ia menolak dengan alasan kesehatan.
Perjuangan Ki Bagus Hadikusumo tidak terbatas hanya di lingkungan Muhammadiyah, tetapi juga dalam partai politik berbasis Islam. Pada tahun 1938, ia turut mendirikan Partai Islam Indonesia (PII), bahkan diangkat sebagai anggota Panitia Anggaran Dasar. Ia juga merupakan salah satu pendiri Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang didirikan di Yogyakarta pada bulan November 1943. Dalam partai ini, ia memegang jabatan sebagai wakil ketua sejak didirikan sampai tahun 1950.
Ki Bagus Hadikusumo dikenal sebagai seorang ulama yang sangat teguh berpegang pada akidah dan hukum Islam. Hal itu diperlihatkannya pada waktu menjadi anggota Komite Perbaikan Peradilan Agama yang dibentuk oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dalam komite ini, ia memperjuangkan agar pengadilan, dalam memutus perkara yang berhubungan dengan masalah waris, menggunakan hukum Islam, bukan hukum adat. Walaupun komite menyetujuinya, namun ditolak oleh pemerintah Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, Ki Bagus mengeluarkan maklumat yang melarang rakyat Indonesia melakukan seikeirei, membungkukkan badan ke arah matahari terbit sebagai penghormatan terhadap Kaisar Jepang. Akibatnya, ia terpaksa berurusan dengan pihak Kempeitai. Walaupun didesak agar mengeluarkan pernyataan bawha seikeirei diperbolehkan, namun ia tetap menolak.
Dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pemerintah pendudukan Jepang pada tahun 1945, bersama dengan beberapa tokoh Islam lainnya, Ki Bagus memperjuangan pula agar Islam dijadikan dasar negara yang akan didirikan. Ia khawatir, bila negara itu tidak didasarkan atas Islam, maka penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam akan bersikap pasif.
Untuk merumuskan dasar negara, di lingkungan BPUPKI dibentuk sebuah panitia yang disebut Panitia Kecil. Anggotanya terdiri atas tokoh-tokoh nasionalis Islam dan tokoh-tokoh nasionalis netral agama (sekuler). Panitia ini menghasilkan rumusan yang akan dijadikan preambul undang-undang dasar yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Di dalamnya tercantum kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Ternyata, rumusan tersebut bukanlah rumusan final.
Pada 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk setelah BPUPKI dibubarkan bersidang untuk mengesahkan undang-undang dasar. Sebelum sidang dimulai, Wakil Ketua PPKI, Mohammad Hatta mengadakan pertemuan khusus dengan beberapa tokoh Islam. Berdasarkan informasi yang diterima dari seorang perwira Jepang, Hatta mengatakan bahwa penduduk Indonesia bagian timur berkeberatan, bahkan akan menolak untuk bergabung dalam Republik Indonesia, bila kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dicantumkan dalam preambul undang-undang dasar. Hatta meminta agar tujuh kata itu dihilangkan. Ki Bagus Hadikusumo yang juga hadir dalam pertemuan khusus itu menghadapi masalah dilematis. Menyetujui saran Hatta, berarti ia tidak konsisten dengan pendiriannya. Bila menolak, ia akan dituding sebagai seorang yang tidak nasionalis. Akhirnya, setelah mengalami pergolakan batin, demi menjaga persatuan bangsa, ia menyetujui penghilangan tujuh kata tersebut. Dengan hilangnya tujuh kata itu, rumusan itu berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa berdasarkan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab…” Akan tetapi, bagi Ki Bagus Hadikusumo, persoalannya belum selesai. Ia keberatan terhadap penggunaan kata “berdasarkan” dan mengusulkan agar kata itu dihilangkan. Alasannya, bila kata itu digunakan, akan timbul kesan bahwa Ketuhanan yang Maha Esa lebih rendah daripada kemanusiaan. Sesuai dengan usul itu, maka rumusan akhir berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab…” Usul itu memperlihatkan bahwa Ki Bagus selalu menempatkan agama pada tempat tertinggi.
Pada masa Perang Kemerdekaan, dengan dukungan beberapa tokoh Muhammadiyah, Ki Bagus memprakarsai pembentukan Angkatan Perang Sabil yang diresmikan pada Juli 1948. Pembentukan laskar Islam ini merupakan reaksi terhadap diterimanya oleh pemerintah Persetujuan Renville yang dinilai oleh Muhammadiyah sangat merugikan posisi Republik Indonesia.
Sesudah Perang Kemerdekaan berakhir, Ki Bagus Hadikusumo masih menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk bangsa dan negara sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mewakili Masyumi. Ia meninggal dunia pada 7 September 1954. Jenazahnya dikebumikan di TPU Pakuncen Yogyakarta. Pemerintah Republik Indonesia menghargai perjuangan dan jasa Ki Bagus Hadikusumo terhadap bangsa dan negara dengan menghadiahinya tanda kehormatan berupa Bintang Mahaputera Adipradana dan Bintang Republik Indonesia Utama.
Makam Ki Bagus Hadikusumo Hilang, Ini Penjelasan Keluarga
Hatief Hadikusumo, anak bungsu Pahlawan Nasional Ki Bagus Hadikusumo, mengatakan makam ayahnya sudah tidak ada lagi.
“Itu memang atas permintaan Bapak yang tidak mau dikultuskan, dan kami keluarga tidak masalah,” kata Hatief setelah acara refleksi Hari Pahlawan di kantor PP Muhammadiyah, Selasa, 10 November 2015.
Hatief Hadikusumo adalah anak bungsu dari 13 bersaudara dari istri Ki Bagus yang ketiga bernama Siti Mardiah. “Saya sendiri tidak mengenal Ki Bagus secara khusus dan hanya mendengar dari cerita. Bapak meninggal ketika saya umur 1,5 tahun,” katanya. Hatief sendiri sudah tinggal di Kemanggisan, Jakarta.
Hatief bercerita juga ketiadaan makam Ki Bagus Hadikusumo yang tidak mau dikultuskan membuat koleksi fotonya pun tidak banyak. “Karena memang beliau tidak mau difoto,” katanya.
Mengenai makam, Hatief bercerita bahwa ayahnya sudah berpesan makamnya boleh digunakan orang lain. Saat itu, kata Hatief, ia masih kecil dan kakaknya memanggilnya untuk menunjukkan makam ayahnya.
“Saat itu ada tetangga saya meninggal, orang yang tidak mampu lalu dikubur di makam Bapak,” ujar Hatief.
Hatief menganggap makam ayahnya tidak perlu diziarahi. “Kalau Islam boleh didoakan saja tetapi kalau mau ke makam juga bagus untuk mengingatkan kalau kita akan meninggal dunia juga,” kata Hatief.
“Jadi kami gak ke makam wong sudah tidak ada makamnya. Tidak ngerti sebelah mana, karena atas permintaan Bapak begitu dan di Islam diperbolehkan,” kata Hatief.
Sebelumnya, dikabarkan bahwa Presiden Joko Widodo telah memberikan gelar pahlawan nasional kepada Ki Bagus Hadikusumo beserta empat tokoh lain dengan Keputusan Presiden 116/TK Tahun 2015.
Afnan Hadikusumo, cucu Ki Bagus, juga mengatakan makam kakeknya di Pemakaman Pakuncen, Wirobrajan, Yogyakarta, sudah tidak terlihat lagi. Ia mengatakan bahwa makan itu sudah diletakkan jenazah orang lain.
Berita dari: https://nasional.tempo.co/read/717800/makam-ki-bagus-hadikusumo-hilang-ini-penjelasan-keluarga