Johannes Abraham Dimara
Johanes Abraham Dimara dilahirkan pada tanggal 16 April di Korem, Biak Utara, Provinsi Papua. Pada usia 13 tahun ia diambil sebagai anak angkat oleh Elias Mahubesi, seorang anggota polisi Ambon dan membawahnya ke Ambon. Di kota ini, Johanes Abraham Dimara menyelesaikan pendidikan setingkat sekolah dasar pada tahun 1930, kemudian memasuki sekolah pertanian di Laha. Dari tahun 1935 sampai 1940 ia menempuh pendidikan sekolah agama (Injil). Sebagai lulusan sekolah agama, ia bekerja sebagai guru Injil di Kecamatan Leksuka, Pulau Buru.
Memasuki Dunia Keprajuritan
Tatkala bala tentara Jepang memasuki Pulau Buru pada awal 1942, semua sekolah ditutup. Pendeta pemimpin sekolah yang berperan sebagai penyandang dana ditangkap oleh Jepang. Para guru pembantunya menjadi penganggur. Pada suatu hari datang seorang prajurit yang tengah mencari tenaga pembantu prajurit yang asli berasal dari Papua. Prajurit Jepang itu bertanya kepada penduduk “Disini Papua orang adakah?”, “ah ada disini”, jawab penduduk. (Panggir), (Panggir)! Penduduk memberitahukan dan orang Papua yang dimaksud ia adalah Johanes Papua seorang guru agama. Dengan rasa berdebar-debar takut dan penuh tanda tanya, guru tersebut memenuhi ajakan penduduk menghadap si Jepang. Ia dibawa menghadap Komandan pendudukan Pulau Buru, bernama Ishido, Kepala Pemerintahan dan (Watanabe) Komandan pasukan pendudukan.
“Kamuka Papua, orangka?”, tanya Ishido, “Ya, saya Papua”, jawab guru muda itu yang masih berusia 26 tahun. “Jot (Bagus), Joto. Mauka soma dai Nipponka mau jadi Polisika?”. Guru muda itu menjawab spontan, “mau, mau!”. Memasuki dunia kemiliteran sudah barang tentu ia harus berlatih tata cara militer terutama penggunaan senjata. Penampilan Pak Guru Johanes Papua berubah setelah mengenakan seragam. Ia diangkat sebagai Kempei-ho (Pembantu Kempei Kesatuan Polisi Militer atau Polisi Militer Jepang) yang ditempatkan di Markas Kempetai di Pulau Buru. Tugas seorang Kempei Ho sebagai penyelidik keamanan, mengobservasi kegiatan orang-orang yang diduga sebagai mata-mata musuh atau membantu musuh sampai perang berakhir.
Masa Belajar
Siapakah identitas Johanes Papua, seorang guru bantu agama yang amat dikenal di Namka ini? Nama sebenarnya adalah Johanes Abraham Dimara (Arabei). Ia lahir di Biak Utara, pada 14 April 1916, dengan ayahnya seorang Korano (Kepala Kampung) bernama Willem Dimara. Seperti anak-anak lain, Arabei oleh ayahnya dimasukkan ke sekolah dasar di kampugnya, di bawah asukan Tuan Guru Simon Soselisa.
Pada suatu saat ada Inspeksi dari schoolopziener (pemilik sekolah) yang dikawal oleh seorang Kepala Polisi dari Ambon bernama Mahabesi. Rupanya Mahabesi tertarik atas kecerdasan Arabei, tatkala menjawab arti kata yang dibacanya. Tanpa pikir panjang Mahabesi Ambon. “Anak siapa dia?”, tanya Mahabesi kepada Tuan Guru Soselisa. “Anak Korano Tuan!”. Mahabesi kemudian memanggil orangtuanya, menyatakan keinginannya untuk mengadopsi anak cerdas ini. Orangtuanya menyatakan dengan senang hati, dengan harapan anaknya akan memperoleh pendidikan yang tinggi.
Arabei meninggalkan kampung kelahirannya menuju ke dunia barunya Ambon. Kini Kepala Polisi Mahabesi telah sah menjadi ayah angkatnya. Nama Arabei, diganti dengan nama baptis Johanes Abraham. Nama marga tetap digunakan. Nama barunya menjadi Johanes Abraham Dimara. Johanes, pendidikan dasarnya menyelesaikan pada 1930, kemudian dilanjutkan ke sekolah Pertanian Tamat pada 1935. Akhirnya ia menjadi guru sekolah Injil di Kecamatan (Leksula), Pulau Buru di bawah asuhan seorang Pendeta Belanda.
Masa Perjuangan Kemerdekaan
Setelah Jepang menyerah sebagai seorang Kempei-ho, tidak jelas pekerjaannya. Namun ada yang berubah dalam kejiweaan Dimara. Propaganda Jepang yang anti penjajah orang kulit putih dan patriotism sangat mendalam dirasakan, diksriminasi rasial, pendidikan, jabatan yang dipraktekkan oleh pemerintah Hindia Belanda membuka kesadarannya bahwa betapa mulianya sebagai manusia yang merdeka. Pada saat itu hubungan dengan Jakarta sama sekali terputus, demikian pula berita-berita tentang keadaan di lain-lain daerah. Karena pada masa perang Pulau Buru termasuk dalam wilayah perang, medan pertempuran antara bala tentara melawan tentara Amerika Serikat. Markas Komanda Pasukan Jepang di Ambon terisolasi, terputus komunikasi dengan daerah lain. Berita Proklamasi Kemerdekaan baru ia dengar pada bulan Mei 1996, setelah ada ekspedisi dua kapal kayu ke Maluku yaitu KM Sindoro dan KM Semeru. KM Sindoro yang dinahkodai oleh Letnan Ibrahim Saleh dan juru-mesin Yos Sudarso sampai perairan Pulau Buru, yang berjarak 500 m dari Namlea, kota utama Pulau Buru. Kedatangan kapal ini menarik perhatian penduduk karena berbendera merah putih. Beberapa orang pemuda yang dipimpin Dimara berusaha mendekat. Dengan sebuah perahu dayung akhirnya berhasil mencapai Kapal Sindono. Mereka bertemu dengan Komandan Kapal Ibrahim Saleh dan Perwira Pertama Letnan Yos Sudarso. Mereka saling berkenalan. Dimara dan kawan-kawannya menyarankan agar kapal berlabuh di Namelek yang jaraknya satu kilometer dari tempat mereka berhenti.
Kedatangan ekspedisi ini disambut dengan kecurigaan polisi setempat. Mereka mencegah agar para awak kapal turun ke darat. Namun Johanes Papua alias Dimara ini dan kawan-kawannya menyakinkan polisi bahwa ia akan emncegah mereka turun dari kapal. Polisi terbujuk, menyerahkan penjagaan kepada para pemuda Dimara dan kawan-kawannya, namun mereka tetap berencana akan mendaratkan kelompok ekspedisi. Beberapa orang kawannya yang terpercaya Abdullah Kaban, Abdullah in Talib, Adam Patisahursiwa, seorang mantan Camat Namlea yang sangat anti Belanda. Bahkan Adam mengajak anak buahnya untuk ikut bersama Dimara menuju Kumbrasa, yang jaraknya lebih kurang 12 KM dari Nametek. Mereka menghubungi Raja (Kepala Desa), Kumbrasa Bahadin Besi dan Raja Namlea, seorang tokoh yang berpengaruah besar, ternyata mendukung rencana Dimara dan kawan-kawannya.
Pada 6 April 1946 beberapa orang pemuda telah berkumpul di rumah Raja Bahadin: Anton Papilaya salah seorang anggota ekspedisi yang berhasil turun dari kapal diperkenalkan dengan para pemuda yang sedang berkumpul. Dengan tekad yang mantab mereka berencana menyerang Namlea untuk mengakhiri kekuasaan NICA di Pulau Buru, Adam memberi semangat: “Inilah saatnya untuk menghabisi Belanda!”. Johanes Papua atau Dimara dipilih sebagai salah seorang pemimpinnya, karena selain pemberani ia telah memperoleh pelatihan militer pada masa pendudukan Jepang. Pemimpinan lainnya dipilih Anton Papilaya, karena ia seorang pemberani yang datang dari Jawa. Tatkala gerakan penyerangan ke Namka yang dipersiapkan seorang anggota polisi yang membantu pemuda memberitahukan bahwa kapal Sindoro telah disergap oleh Belanda dan ditarik ke Ambon. Pada bulan April 1946, para pemuda yang bergerak dari Kumbrasa telah mendekat ke Namlea. Sebelum itu, kepada rakyat diumumkan bahwa Residen Maluku Van Ball akan datang ke Namlea. Masyarakat Namlea diperintahkan untuk membersihkan kota untuk menyambut kedatangan Residen.
Pada 8 April 1946, para pemuda yang berkekuatan 300 orang bergabung dengan masyarakat berpura-pura ikut kerja bakti membersihkan kota. Sampai di depan kantor polisi mereka menyergap sejumlalh polisi dan langsung menyerah. Jatuh korban seorang polisi tertembak. Serangan dilanjutkan ke kantor Kecamatan (Asisaten Wedana), Bendera Merah Putih Biru yang berkibar di depan kantor diturunkan dan dirobek birunya dinaikkan kembali menjadi merah putih. Para pemuda secara serempak memekik: “Merdeka! Merdeka!”. Selanjutnya mereka bergerak memasuki kota. Kota Namka berhasil dikuasi pemuda selama 5 hari. Pada 12 April 1946, Belanda mengirimkan pasukannya Kapal Perang HMS Princes Irene, menurunkan sekoci yang memuat beberapa orang serdadu KNIL. Salah seorang diantaranya mereka menembaki rumah penduduk secara membabi buta. Sebaliknya seorang pemuda nekad menembak serdadu KNIL dari jarak dekat. Ia terkapal dan tewas, kawan-kawannya bergegas kembali ke sekoci. Setelah insiden tersebut Namka menjadi sangat sepi. Pasukan penyerbu meninggalkan kota dan para kepala kampung secara diam-diam pulang ke rumah masing-masing.
Pada pagi hari pasukan Belanda telah menguasai dan melakukan operasi pembersihan. Para Kepala Kampung tatkala ditanya siapa yang memimpin serangan, mereka menyebut dua nama: Johanes Papua dan Anton Papilaya. Nasib Anton Papilaya sedang sial. Ia tertangkap dan dibawa ke Ambon. Selanjutnya ia diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman penjara. Johanes Papua bernasib lebih baik. Ia bersembunyi di sebuah Kampung Islam dan dilindungi oleh Kepala Kampung. Ia diberi sebuah perahu untuk melarikan diri keluar Pulau Buru. Dalam pelariannya Johanes Papua mengarahkan perahunya ke Pulau Sanana. Rupanya Kepala Kampung tidak bersahabat. Kedatangannya dilaporkan kepada petugas keamanan. Johanes Papua bersama dua orang kawannya Abdullah Kaban dan Adam Patisahursiwa mantan asisten wedana ditangkap, ditahan di kantor polisi Sanana. Karena takut mereka lari, Kepala Polisi memerintahkan tangan mereka diborgol. Ketika kapal penjemput datang dari Ambon, mereka diangkat ke sebuah sekoci.
Dermaga Pelabuhan Sanana sangat pendek. Kapal perang tidak bisa merapat. Sebelum diangkat ke sekoci, Kepala Polisi memerintahkan agar kaki kedua orang ini dimasukkan ke karung, “kasih masuk dia ke karung. Ikat sampai pinggang!”, perintahnya. Dengan tangan terikat, kaki dalam karung ia digelandang ke sekoci. Karung dilepas tatkala mau naik ke kapal. Tiba di kapal mereka langsung dijebloskan ke sebuah kurungan yang berukuran satu meter persegi, hanya cukup untuk jongkok. Turun dari kapal langsung diangkut ke penjara Pohon Pale, sambutan “selamat datang” sudah dipersiapkan oleh pegawai penjara. Mereka dihajar habis-habisan. Baru kemudian dimasukkan ke sel yang sempit. Buang air, makan dan tidur di tempat yang sama.
Pada bulan Juli 1946, Dimara dan kawan-kawannya diajukan ke pengadilan militer Batu Gajah Ambon. Sebuah jeep datang menjemputnya. Tangan dan kakinya dirantai, dengan susah payah ia naik ke Jeep. Tidak ada yang membantu. Di dalam sidang, Hakim Ketua yang bernama Van der Room bertanya: “Saudara Kepala Merah Putih ya?”, “Ya, ya”, jawab Dimara. “Saudara orang Papua dari mana?”. “Saya dari Biak”, jawab Dimara. “Pantas orang Biak itu kepala keras”.
Tanya jawab pun berlangsung seru. Karena Dimara tetap merasa tidak bersalah, ia menolak semua tuduhan. Akhirnya vonis pun jatuh. Dua puluh tahun penjara untuk Dimara, dan dikembalikan tempat semula. Karena panjangnyha masa hukuman, Dimara diangkat sebagai Foreman. Pada suatu kesempatan, tatkala para sipir kurang waspada, memerintahkan Dimara untuk bekerja keluar tembok, suatu kesempatan emas untuk membebaskan diri. Ia bersama dua orang kawannya mengecoh petugas. Kabur dari pengawasan, melarikan diri dari penjara sudah direncanakan secara masak-masak, menunggu kesempatan. Tujuan mereka ke Pulau Seram, tanah tumpah darah kedua kawannya. Pada malam hari, setelah bersembunyi di kampung di pinggir pantai, Dimara dibantu oleh dua orang pemuda Kampung Wakasihadan menyebrang ke Pulau Seram. Peristiwa pelarian orang-orang Merah Putih dari penjara Ambon menjadi berita besar apparat keamanan dan petugas pemerintah ditugaskan untuk menangkapnya. Kisah pelarian para pendukung Merah Putih amat dramatis, mereka singgah dari pulau ke pulau untuk menghindari penangkapan. Tatkala tiba di pulau Manipa, mereka menginap di rumah Haji Musa.
Rupanya Polisi telah memperoleh informasi mengenai keberadaan mereka. Rumah Haji Musa digerebek oleh Polisi yang didatangkan dari Piru, pada saat Pak Haji dan para tamunya tidur lelap. Suasana malam yang gelap gulita menguntungkan bagi para tamu. Apalagi terjadi keributan tatkala penggerebekan. Para tetangga terbangun, mendatangi rumah Haji Musa ingin tahu apa yang terjadi. Kerumunan tetangga Haji Musa menyulitkan polisi dan kesempatan emas bagi Dimara dan kawan-kawannya untuk meloloskan diri dan bersembunyi di dalam hutan. Sejak ia melarikan diri dari penjara pada akhir tahun 1946, rupanya ia hidup dalam ketakutan. Sepanjang pelariannya, akhirnya kembali ke titik awal, kota Namka Pulau Buru. Sebenarnya di tempat tinggal asalnya ini tidak ada lagi orang y ang mengenalinya. Polisi pun tidak pernah merasa terganggu, karena Johanes Papua manusia yang dicari-cari sudah berada di penjara. Ia tinggl di rumah Raja Ambrasa Bahadiri Besi kemanapun ia leluasa bepergian. Peran tokoh provokator Merah Putih telah dilupakan oleh masyarakat.
Pada suatu siang, ia melihat dua orang polisi berpatroli. Tidak pernah diungkapkan alasannya pada saat itu, mengapa ia menghampiri polisi yang sedang berpatroli di kampung Hatawao itu dan berkata “Saya Johanes Papua, mari sama-sama pergi ke Namka. Saya menyerah!”. Mereka terkejut. Manusia yang paling dicari telah berada di hadapannya. (Monuputy) Komandan Polisi Namka menerima penyerahannya. Tiga hari kemudian, sebuah motor boat dengan dirantai tangan dan kakinya. Polisi masih “trauma” akal licik orang Papua ini. Tiba di Ambon, langsung dibawa ke tempat semula, rumah penjara Pohon Pule. Sekalipun dijaga secara ketat, perlakuan terhadap dirinya berbeda, apakah karena ada perkembangan politik atau sebab lain tidak ada sumber yang ditemukan. Mungkin ia dikategorikan sebagai terpidana (SOB) artinya tawanan perang. Tidak terlalu lama ditahan di penjara Pohon Pule, pada bulan Agustus 1947 bersama 12 orang lainnya dipindahkan ke Rumah Penjara Trungku Layang di Makassar. Ternyata di rumah penjara ini terdapat 3000 tahanan. Di dalam tahanan ini, ia berkenalan dengan Andi Bahtiar, Hasanuddin, Andi Arsad yang ternyata mereka adalah pejuang-pejuang Sulawesi Selatan bukan tahanan kriminal. Pada akhir bulan Desmeber 1949, Dimara dibebaskan dari penjara karena perubahan situasi politik. Pemerintah Belanda telah mengakui kedaulatan RI.
Keluar dari penjara, ia tinggal tiga bulan di Makassar, kemudian kembali ke Ambon. Situasi di Ambon sedang memanas, Gerakan Republik Maluku Selatan sedang naik daun. Dimara mendapat ancaman akan dibunuh. Demikian pula anggota Merah Putih lainnya diteror, diancam dan dibunuh. Terpaksa ia dan kawan-kawannya kembali ke Makassar. Tiba di Makassar, ia menghadap Komandan Batalyon Pattimura Mayor Pieters dan melaporkan situasi di Ambon. Soumofkil telah memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS). Tanpa prosedur administrasi militer yang rumit, ia langsung diterima sebagai anggota Batalyon Pattimura. Pada bulan Juli, Batalyon Pattimura diperintahkan berangkat ke Pulau Buru. Dimara dimasukkan dalam Kompi Letnan Mailoa. Rupanya di Pulau Buru, terutama Namka, pertahanan pasukan RMS sangat kuat, yang dipimpin oleh Liestieka mantan Sersan Mayor Baret Hijau KNIL. Kekuatan mereka lebih kurang satu kompi 150 orang.
Pada 14 Juli 1950 pasukan TNI didaratkan di Pulau Buru. Pendaratan TNI di Namka ini amat dramatis. Pasukan RMS yang berada di balik pohon-pohon sagu melepaskan tembakan tanpa henti. Dengan bantuan tembakan senjata berat dari (korvet) Pattimura. Pasukan TNI berhasil mendarat, dan merebut Namka. Pasukan pendarat melanjutkan gerakannya ke Pulau Seram. Di Pulau Buru ditempatkan dua batalyon; Batalyon Pellupessy dan Batalyon Pieters, Kesatuan Induk Dimara. Dalam pertempuran ini, Dimara tertembak di bahunya. Ia ditolong oleh penduduk, dibawa ke markas komando batalyon. Karena lukanya dianggap parah oleh dokter batalyon menyarankan agar Dimara dirawat di Makassar. Ia dirawat dirumah sakit Stella maris.
Beberapa bulan setelah terjadi peristiwa pembangkangan Kapten Aziz (April 1950), Presiden RIS; Ir. Soekarno melakukan perjalanan dinas ke Makassar. Pada kesempatan itu, Presdien mengunjungi para prajurit yang dirawat di rumah sakit itu. Ada seorang pasien yang menarik perhatian Presiden. Presiden menanyakan identitasnya. “Itu orang Papua”, jawab Dokter Mailoa yang mendampingi Presiden. Presiden menghampirinya dan terjadi tanya jawab singkat. Setelah sembuh dari luka-lukanya, Dimara bersama seorang kawannya pergi ke Jakarta, menginap di rumah Mahmud Rumagesang, seorang putra Papua yang diangkat sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Baginya yang penting sudah melihat Jakarta dari dekat. Dari Jakarta, Dimara kembali ke Ambon. Karena merasa sebagai anggota militer, ia melapor kepada pejabat militer tertinggi di wilayah Maluku, Letnan Kolonel Suprapto Sokowati Komandan Resimen Infranteri 25/Maluku. Ia mendapat tugas membentuk satu organisasi perjuangan pembebasan Irian Barat. Organisasi terbentuk ini diberi nama Organisasi Pembebasan Irian (OPI). Ia diangkat sebagai Pembantu Letnan Satu (Peltu), kemudian diberi jabatan Komandan Peleton Perhubungan Resimen Infranteri 25/Tentara dan Teritorium VIII di Pulau Seram.
Komandan Pasukan Infiltran
Organisasi Pembebasan Irian adalah organisasi rahasia yang bertugas melatih para prajurit yang terdiri atas orang suku Papua. Mereka diseleksi secara ketat. Pusat pelatihannyha (Base Camp) di Ambon. Tugasnya melakukan infiltrasi ke daratan Irian, membangun opini masyarakat agar berpihak kepada NKRI. Pembentukan organisasi untuk mendukung diplomasi yang dilakukan forum PBB. Pada suat hari, Dimara memperoleh panggilan dari Jakarta yaitu dari Presiden Soekarno. Presiden memberikan perintah “Anak Dimara, Bapak perintahkan masuk Irian Barat dengan pasukanmu. Bagaimanapun Anak harus berbuat sesuatu”. Peristiwa itu terjadi pada 3 April 1954. Dua minggu kemudian tepatnya 14 Oktober 1954, ia dipanggil Komandan Resimen Infanteri 25/TT VII, Kolonel Sokowati untuk membicarakan penugasannya masuk daratan Irian Barat. Para anggota OPI yang pernah di latih di Base camp dipanggil dan dilatih kembali selama satu minggu. Suatu latihan fisik dirasakan berat oleh para anggotanya. Bagi Dimara ada satu hal yang dirasakan amat berat, yaitu meninggalkan isteri yang sedang mengandung tua. Terjadi pergumulan bathin antara tugas dan keluarga. Ia melapor kepada Kolonel Sokowati tentang keluarganya. Sokowati menjawab “Jangan khawatir, saya kasih rumah di Ambon”.
Pada saat terakhir Dimara ditunjuk sebagai Komandan pasukan dengan kekuatan satu peleton atau 40 orang. Pada tanggal 17 Oktober 1954, dimulai hari H operasi dengan sebuah kapal motor berangkat dari Ambon, menuju Dobo Kepulauan Aru, tiba pada tanggal 19 Oktober 1954. Pada 25 Oktober 1954, para Infiltran menumpang kapal penyelam Mutiara menuju Pulau Walialu dilanjutkan ke Teluk Etna (Etna Bay) atau bahasa lokal menyebut Etna Bae. Di tengah pelayarannya, kepergok patroli polisi Belanda, namun tidak terjadi kontak tembak. Sebagian dari mereka terjun ke laut untuk berenang menyelamatkan diri. Seorang polisi Belanda yang bernama Louis Van Kricken tinggal sendiri dalam perahu. Ia ditangkap dan ditawan bersama empat orang tawanan lain, Van Kricken dibawa ke Dobo. Peristiwa tertangkapnya polisi Belanda ini terjadi heboh, politik surat-surat kabar nasional memberitakan perisitwa ini. Pasukan Dimara akhirnya berhasil mendarat di daerah Etna Bae, kemudian masuk ke hutan.
Pasukan Belanda menyambut kedatangan Dimara dan anak buahnya. Sebuah pesawat pengintai terbang berkeliling di titik lokasi. Anak buah Dimara diketahu scara pasti. Belanda mendatangkan pasukannya. Terjadi pertempuran di dekat Telaga Yamor. Pasukan Dimara berhasil disergap 11 orang gugur. Yang lari berhasil ditangkap termasuk Dimara. Jumlah yang tertawan 20 orang kemudian di angkut ke Sorong. Setelah ditahan selama tujuh bulan, dipindahkan ke rumah penjara Hollanda, setelah mendekam selama enam bulan di penjara Hollanda. Hakim Van der Vein yang pernah mengadili Dimara di Ambon pada 1946, mengenali kembali Dimara, berkata lantang karena berang “Johanes Papua! Kamu dulu sudah ditangkap di Ambon. Sekarang kamu kesini lagi. Tidak, tobat!”. Tanpa vonis yang jelas, Dimara dan kawan-kawannya diangkut kerumah penjara Digul yang terkenal angker. Rumah penjara Digul pada masa Hindia Belanda adalah rumah penjara khusus bagi pelaku kriminal kelas berat. Letaknya di seberang sungai Digul, berdekatan dengan kamp tahanan politik Hindia Belanda, dimana Bung Hatta pernah menjadi tahanan di kamp tersebut.
Dimara dan kawan-kawannya menghuni rumah penjara “seram” ini selama tujuh tahun. Mereka dikategorikan penjahat kelas berat. Ia sudah menerima sebagai resiko perjuangan. Tanpa disangka, setelah bermimpi ketemu presiden Soekarno dan Merah Putih berkibar, pada tanggal 18 April 1961, empat bulan sesudah dikumandangkan Trikora, ia dan kawan-kawannya dibebaskan dari rumah penjara Digul. Melalui perjalanan yang berliku-liku, akhirnya sampai di Soa Siu ibukota Provinsi Irian dan diterima oleh Gubernur Sultan Zainal Abidin Sjah dan Kolonel Busjiri. Panglima Kodam XV/Pattumura. Dalam suasana gembira tersebut, ia mendengar kabar gembira dan kabar sedih. Isterinya yang ditinggalkan sejak Oktober 1954, telah melahirkan seorang anak perempuan yang diber nama Ahy Jocaba Dimara y ang pada saat kebebasannya telah berusia tujuh tahun. Berita menyedihkan, bahwa isterinya telah menikah dengan orang lain. Dengan suami barunya telah dikaruniai lima orang anak. Ia sangat sedih dan kecewa bercampur marah dan juga kesal. Ia merasa sebatang kara yang tidak berguna. Hatinya terhibur setelah Panglima Kolonel Busyiri menasehati dan membesarkan hatinya. “Seorang pejuang harus rela berkorban. Berkorban segalanya, kenyataan ini tidak bisa diubah. Terimalah dengan senang dan bersabarlah”. Karena di Ambon tidak lagi memiliki tempat tinggal, ia tinggal di rumah Panglima. Dimara tidak tahu apakah Busyiri melaporkan nasibnya kepada atasannya; Menteri Keamanan Nasional/KSAD Jenderal Nasution. Lebih kurang tiga bulan tinggal dirumah Panglima Basyiri, lalu memerintahkan Dimara untuk menghadap Jenderal Nasution untuk melaporkan peristiwa yang ia alami dan kondisi yang ia saksikan. Ia berangkat pada akhir Agustus 1961. Tidak bertemu dengan Jenderal Nasution tetapi melaksanakan tugas menyusun laporan sebagaimana petunjuk Bushyiri. Di Jakarta situasi berbalik seratus persen, ia ditempatkan di hotel mewah Duta Merlin yang terletak di Jalan Hayam Wuruk (Harmoni). Antara Digul dan Duta Merlin seperti bumi dan langit sekalipun sama-sama prodeo, sama-sama tidak bayar.
Pada bulan September, Dimara dipanggil Presiden Soekarno. Presiden didampingi oleh Pak Was dan Pak Subandrio, Menteri Luar Negeri. Kata Presiden: “Anak Dimara, terima kasih sudah pulang dengan selamat. Kamu Pahlawan Irian Barat! Mulai sekarang Dimara sebagai tokoh Irian Barat. Dimana saya utus untuk menjadi perwakilan Irian Barat di PBB”. Menjelang sidang Majelis Umum PBB bulan September, Dimara berangkat ke New York. Rombongan Delegasi Indonesia dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio. Ada tiga orang Irian lainnya yaitu; Mary Dapare, Moses Weror dan Mathias Wondiri. Sekembali dari sidang Majelis Umum PBB (Oktober 1961), Dimara terpilih sebagai Ketua Gerakan Rakyat Irian Barat (GRIB) menggantikan Silas Papare. GRIB adalah salah satu organisasi dari Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) yang dipimpin oleh Jenderal Nasution. Aktivitas GRIB terutama sekali melakukan kontra propraganda Belanda.
Sudah menjadi ketetapan pemerinta dan rakyat Indonesia perjuangan pembebasan Irian Barat harus “Banting Setir” dari perjuangan diplomasi ke konfrontasi bersenjata. Persiapan dilakukan dengan rencana secara cermat dengan langkah-langkah yang tepat. Presiden Soekarno membentuk Dewan Pertahanan Nasional pada tanggal 14 Desember 1961. Dimara diangkat sebagai salah seorang anggotanya. Dalam sidang pertama Dewan Pertahanan Nasional (Depertan) diputuskan untuk membentuk Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat (Koti Pemirbar). Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar (Pangsar) dan Jenderal A.H. Nasution sebagai Wakil Panglima Besar (Wapangsar). Langkah selanjutnya, Presiden akan memberikan pidato resmi, suatu Komando bagi seluruh rakyat Indonesia untuk membebaskan Irian Barat. Atas saran Mr. Muh. Yamin, tempat yang dipilih adalah Yogyakarta dan tanggal 19 Desember sebagai jawaban terhadap Agresi Militer Belanda II pada tahun 1949. Presiden Soekarno tiba di Yogyakarta sehari sebelum Komando diucapkan. Pada kesempatan itu, Dewan Mahasiswa Universitas Gajah Mada meminta Presiden memberikan kuliah umum. Kuliah diadakan di Siti Hinggil (Kraton Yogyakarta). Pada kesempatan itu pula Presiden memperkenalkan Dimara, Putera dan Pejuang Pembebasan Irian Barat yang diangkat sebagai anggota Dewan Pertahanan Nasional. Kampanye perjuangan pembebasan Irian Barat diadakan di seluruh Indonesia dalam bentuk rapat-rapat umum dan Dimara tidak pernah ketinggalan selalu hadir.
Diangkat Sebagai Mayor
Nasib Dimara yang masih berpangkat Bintara (Pembantu Letnan) mendapat perhatian dari Presiden. Mengingat jasa-jasanya yang luar biasa itu, Presiden menaikkan pangkatnya secara luar biasa dari Pembantu Letnan menjadi Mayor. Dalam sejarah TNI, barangkali hanya Dimara yang pernah memperoleh penghargaan kenaikan pangkat secara luar biasa. Pelatihannya dilakukan oleh Jenderal Gatot Subroto (Wakil Kepala AD) bertempat di MBAD pada tanggal 28 April 1962. Selanjutnya Dimara memang tidak terjun langsung dalam jajaran Komando Trikora, karena sebagai anggota Dewan Pertahanan Nasional kiprah dalam jajaran politik.
Johanes Abraham Dimara meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 20 Oktober 2000. Ia mendapat beberapa tanda penghargaan dari pemerintah, antara lain Satyalancana Perang Kemerdekaan Kesatu dan Satyalancana Bhakti.