Agus Salim, H.
Setelah memperdalam Islam di Jeddah, tahun 1911 Agus Salim kembali ke tanah air. Setahun kemudian di kampung halamannya Koto Gedang, mendirikan HIS (Holland Islandse School), yang diasuhnya sampai tahun 1915. Di Jakarta bekerja terakhir di Bataviasche Neuwsblad dan sejak itu rajin menulis artikel.
Karier politiknya dimulai di Serika Islam, namanya cepat terkenal karena wawasannya yang luas dalam berbagai hal. Tahun 1919 mendirikan Persatuan Pergerakan Kaum Buruh yang menuntut agar segera didirikan DPR yang sesungguhnya dan ikut mengorganisir pemogokan buruh di Semarang, Surabaya dan Cirebon. Dalam kongres Al Islam di Garut tahun 1924, Agus Salim menguraikan fungsi agama dan ilmu pengetahuan serta hubungan antara Islam dan sosialisme dan melontarkan gagasan tentang pembentukan Pan Islamisme.
Tahun 1921 – 1924, duduk dalam Volksraad dan menuntut agar bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi dalam Volksraad. Pandangan Agus Muslim mengenai nasionalisme dibentangkannya dalam kongres luar biasa Al Islam tahun 1925 menerbitkan harian Fajar Asia di Yogyakarta dan memimpin harian Hindia Baru yang terbit di Jakarta.
Menjelang masa akhir zaman Jepang, diangkat menjadi anggota BPUPKI yang kemudian berganti nama menjadi PPKI. Agus Salim duduk dalam Panitia Sembilan dan menghasilkan Piagam Jakarta, juga duduk dalam Panitia Perancang Undang-Undang Dasar dan sekaligus anggota penghalus bahasa bersama Prof. Supomo dan Prof. Husein Djayaningrat. Setelah Proklamasi, Agus Salim aktif dalam bidang diplomasi, duduk sebagai Wakil Menteri Luar Negeri, kemundian menjadi Menteri Luar Neger. Pada bulan Maret 1947, diutus ke New Delhi Conference kemudian mengunjungi negara-negara Arab dan berhasil hingga negara-negara Arab menyokong RI di dalam sidang PBB.
Waktu Belanda menduduki Yogyakarta, Agus Salim bersama dengan Presiden, Wakil Presiden dan Menteri-menteri RI ditangkap dan diasingkan ke Brastagi dan dipindahkan ke Prapat. Pada tahun 1953 memberi kuliah agama Islam di Cornell dan Priceton University di Amerika Serikat.
Nilai Kepribadian Luhur yang Dimiliki
Pemuka agama Islam yang cerdas dan berpandangan ke depan ini lebih meletakkan arti Islan sebagai pandangan hidup setiap muslim. Menjunjung tinggi bahasa Melayu dan mahir berbahasa Perancis membuat hadirin pada Kongres Serikat Buruh Internasional di Genewa (Geneva), Swiss berdecak kagum sekaligus mengangkat nama Indonesia di luar negeri.
Tulisan lainnya: Majalah TEMPO edisi khusus H.Agus Salim, 2013
Pada kongres kedua Jong Islamieten Bond (JIB) di Solo, akhir 1927, secara demonstratif Agus Salim menegaskan sikapnya. Sebagai penasihat organisasi kepemudaan Islam itu, ia memerintahkan tabir (tirai) yang memisahkan kelompok pria dan wanita disingkirkan. “Ini bertolak belakang dengan segala sesuatu yang menjadi kelaziman. Sikap ini nyata tidak benar.” kata Salim kepada peserta kongres.
Perintah tersebut tentu menjadi tanda tanya hadirin. Membuat pembatas diantara mereka (laki-laki dan perempuan) merupakan kebiasaan khas muslim. Ini kerap terjadi pada rapat-rapat yang digelar, termasuk dalam kongres pertama JIB dua tahun sebelumnya di Yogyakarta. Karena itu, Ketua JIB Wiwoho meminta Salim memberikan penjelasan kepada peserta kongres.
Di atas mimbar, Salim berceramah mengenai duduk perkara yang jadi sikapnya dengan tegas.
Menurut dia, tujuan pendirian JIB adalah mengenal dan mengamalkan Islam secara sempurna. Caranya, segala sesuatu yang bukan Hukum Islam atau tak bersumber pada ajaran Islam harus disingkirkan. “Pengucilan kaum wanita merupakan suatu adat Arab, bukan keharusan agama Islam,” ujar Salim, yang kemudian menuliskannya pada majalah Het Licht, tahun II, 1928.
Salim lalu menukil Surat An-Nur ayat 30 untuk mendukung argumentasinya yang menyebutkan bahwa ; kaum lelaki diperintahkan untuk menjaga pandangan mata dan memelihara rasa malunya. Dalam ayat selanjutnya, hal serupa juga dituntut untuk dilakukan kaum perempuan.
Ketika tinggal di Mekkah, Agus Salim berguru kepada pamannya, Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, yang merupakan imam mahzab Syafei di Masjidil Haram.
Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama) juga pernah berguru kepada beliau. Kendati sama-sama berguru kepada satu ulama, Salim, Dahlan dan Hasyim memiliki gaya berislam yang berbeda.