As’ad Samsul Arifin, K.H., R.
K.H.R. As’ad Syamsul Arifin dilahirkan pada tahun 1897 di Mekkah, Saudi Arabia dari suami-istri K.H. Syamsul Arifin dan Siti Maimunah.
Pada tahun 1920, Kyai As’ad Syamsul Arifin menanamkan semangat perjuangan dan dakwah Islamiyah melalui Barisan Pelopor. Barisan Pelopor merupakan wadah bekas bandit dan pencoleng yang dibina Pesantren Sukorejo untuk dakwah dan perjuangan. Ia mengharapkan agar para anggota pelopor bisa memimpin karena Allah dan di jalan Allah. Barisan Pelopor dibagi menjadi dua kategori, yaitu para pelopor bagian penyerang yang ditugaskan untuk membantu keamanan pesantren dan dilibatkan menjadi petugas keamanan pada acara kegiatan keagamaan, dan pelopor bagian logistik yang ditugaskan untuk mencari sumbangan bahan bangunan untuk pembangunan pesantren atau mencari bantuan bahan makanan.
Pada 1943, Kyai As’ad Syamsul Arifin mengembangkan Barisan Pelopor sebagaialat perjuangan, terutama untuk membela agama dan mengusir kaum penjajah. Selanjutnya, ia membentuk Hizbullah dan Syabilillah. Para anggota pelopor mendorong agar orang-orang di daerahnya masuk menjadi Laskar Hizbullah dan Syabilillah. Garis komando pelopor ini ditangani langsung oleh Kyai As’ad Syamsul Arifin. Pada 1943, ia menjadi komandan Lasyar Syabilillah di Karesidenan Besuki.
Berdasarkan catatan dari Kementerian Urusan Veteran pada dokumen keluaran 15 April 1050, Kyai As’ad pada 1945-1947 pernah menjadi pemimpin umum Laskar Syabilillah Panarukan.
Pada September dan awal Oktober 1945, Kyai As’ad memimpin pelucutan Pasukan Jepang di Garahan, jember, Jawa Timur. Tindakan ini dilakukan setelah pasukan Jepang tidak mau menyerahkan senjatanya kepada pasukan yang dipimpin oleh Kyai As’ad Syamsul Arifin. Setelah senjatanya diluciti, pasukan Jepang kemudian diberangkatkan dengan menumpang kereta api ke Surabaya.
Pada 10 November 1945, ia membantu pertempuran di Surabaya dengan mengirim anggota pelopor dan pasukan Syabilillah Situbondo serta yang berasal dari Bondowoso ke daerah Tanjung Perak. Pasukan yang dikirimnya terlibat pertempuran hebat di Jembatan Merah. Dalam pertempuran Surabaya, Kyai As’ad Syamsul Arifin dibantu oleh beberapa kyai lain, seperti: Kyai Gufron, Kyai Ridwan, Kyai Ali, Kyai Muhammad Sedayu, Kyai Maksum, dan Kyai Mahrus.
Pada masa revolusi fisik tahun 1945-1949. Kyai As’ad Syamsul Arifin memimpin perang gerilya di beberapa daerah Karesidenan Besuki. Dalam perang gerilya tersebut, ia bersama barisan pelopornya mencuri senjata milik pasukan Belanda di daerah Gudang Mesiu Dabasah Bondowoso (sekitar akhir Juli 1947). Senjata hasil curiannya tersebut kemudian dibagikan kepada para anggota pelopor. Senjata tersebut pada akhirnya digunakan untuk menghadang laju pasukan Belanda.
Pada tahun 1951, Kyai As’ad Syamsul Arifin menggantikan ayahnya sebagai pemimpin Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah di Sukorejo, Situbondo. Tahun 1956-1957, ia diangkat menjadi Penasihat Pribadi Wakil Perdana Menteri KH Idham Khalid dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo. Selanjutnya, pada tahun 1957-1959 ia diangkat sebagai anggota konstituante dari Partai Nahdlatul Ulama (NU). Jabatan lain yang pernah dijabat atara lain sebagai penasihat beberapa pengurus dan politisi NU, di antaranya Subchan ZE.
Pada 1975, ia ikut mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada tahun berikutnya sampai meninggal, Kyai As’ad Syamsul Arifin lebih banyak mengembangkan pendidikan di pondok pesantren yang dipimpinnya. Kyai As’ad Syamsul Arifin wafat pada 4 Agustus 1990 dan dimakamkan di Situbondo, Jawa Timur.