Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) H., Prof., Dr
Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan Buya Hamka, lahir di Manninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada 17 Februari 1908. Hamka merupakan salah seorang penulis Indonesia yang palinng banyak menulis dan menerbitkan buku. Oleh karenanya, dia dijuluki sebagai Hamzah Fansuri di era modern. Belakangan, ia diberikan sebutan buya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari kata abi atau abuya dalam Bahasa Arab yang berarti ayahku atau seseorang yang dihormati.
Hamka dikenal sebagai ulama yang cukup berpengaruh, aktivis politik, dan pengarang yang produktif. Ia seorang autodidak dalam berbagai ilmu filsafat, sejarah, sosiologi, dan politik. Sejak usia 20 tahun, Hamka sudah aktif dalam organisasi keagamaan, yakni Muhammadiyah. Berbagai jabatan pernah dipangkunya, antara lain Ketua Muhammadiyah Padang Panjang, Konsul Muhammadiyah di Makassar, dan terakhir Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Selama perang kemerdekaan, Hamka berjuang di daerah asalnya, Sumatera Barat. Ia diangkat sebagai ketua Front Pertahanan Nasional Sumatera Barat dan sebagai anggota Sekretariat Badan Pengawal Negeri dan Kota (BPNK). Sesudah perang kemerdekaan, Hamka menyalurkan aktivitas politiknya dalam Masyumi. Sebagai wakil Masyumi, dalam sidang konstituante ia menyampaikan pidato menolak sistem demokrasi terpimpin yang digagas oleh Presiden Soekarno. Pada 1962-1964 ia ditahan Pemerintah Orde Lama akibat sikap politiknya menentang konfrontasi terhadap Malaysia.
Ketokohan Hamka sebagai ulama mulai dikenal secara luas melalui kuliah-kuliah subuh yng disebarluaskan oleh RRI sejak tahun 1967. Pada tahun 1960-an itu pula ia menjadi imam di Masjid Agung Al-Azhar di Jakarta. ia menghidupkan masjid dari sekadar tempat melakukan shalat menjadi pusat ibadah dalam arti luas dan lembaga pendidikan yang tidak hanya memberikan pendidikan agama, tapi juga sains, humaniora, dan filsafat. Bersama beberapa tokoh lain, ia mendirikan Perguruan Al Azhar Indonesia yang mempunyai jenjang pendidikan dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Dalam rangka membina generasi muda Islam, didirikan Youth Islamic Study yang kemudian berkembang menjadi Persatuan Remaja dan Pemuda Masjid.
Pada tahun 1977 (1975) Hamka diangkat menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di bawah kepemimpinannya, MUI berkembang menjadi lembaga yang mandiri dan berani melawan arus. Ia mengundurkan diri pada tahun 1981 karena berbeda pendapat dengan pemerintah. Sebagai pengarang, Hamka menulis banyak buku, baik novel maupun karangan ilmiah serta artikel-artikel dalam berbagai majalah. Novelnya yang cukup terkenal antara lain adalah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Merantau ke Deli. Adapaun karangan ilmiah dapat disebut antara lain Perkembangan Tasawwuf dari Abad ke Abad, Islam dan Demokrasi, dan Sejarah Umat Islam. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir Al Qur’an (30 juz) yang diselesaikannya pada waktu ia berada dalam tahanan Orde Lama.
Hamka juga aktif di bidang jurnalistik. Pada tahun 1920-an, ia menjadi wartawan beberapa surat kabar, antara lain, Pelita Andalas, Berita Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Ketika bertugas sebagai Konsul Muhammadiyah di Makassar pada tahun 1932, ia menerbitkan majalah Al Mahdi. Ia juga pernah menjadi editor Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam. Ia meninggal pada 24 Juli 1981 dan jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta.
KETIKA BUYA HAMKA DITAHAN…*
Tahun 1964, pemerintah menahan HAMKA selama 2 tahun 4 bulan. Semua buku HAMKA dilarang beredar, penerbit pun diancam untuk tidak lagi menerbitkan buku-buku beliau. Padahal penghasilan HAMKA selepas dari undur diri beberapa tahun sebelumnya dari pegawai Kementerian Agama adalah dari royalti buku, mengisi ceramah, atau seminar.
Untuk biaya kehidupan sehari-hari, Ummi, istri HAMKA mulai melelang barang yang dimiliki. Suatu pagi Ummi bersama Irfan, anaknya pergi ke pemilik penerbitan, dengan uang terakhir yang hanya cukup untuk ongkos becak. Ketika bertemu si pemilik penerbitan bekata, “ Ummi, buku-buku Buya yang baru dicetak disita orang. Penyitanya ini dikawal polisi. Ini ada uang sedekah dari kami untuk membeli beras.”
Wajah Ummi memerah, “ Kami datang tidak untuk mengemis. Berikanlah sedekah ini kepada yang lebih memerlukan. Kita hanya bertanya barangkali ada uang honor Buya yang tersisa. Bila tidak ada, tidak apa-apa. Kami pamit pulang.”
Pulang dengan berjalan kaki, Ummi dan Irfan baru sampai di rumah pukul 10.30 siang. Ternyata ada tamu yang sudah menunggu, H.M.Zen pemilik PT. Pustaka Islam. Kata beliau, “Saya pernah sampaikan ke Buya, kalau tanah saya laku ada bagian untuk Buya. Saya tunaikan janji saya.” Beliau memberikan amplop yang cukup tebal kepada Ummi.
Baru saja pak H.M. Zen pulang berhenti lagi sebuah mobil di depan rumah. Ternyata Bapak Anwar Sutan Saidi, pemilik PT. Pustaka Nusantara, sebuah penerbitan di Bukittinggi Sumatera Barat. Kata beliau,”Selama Buya ditahan, semua buku disita PKI. Hanya di Sumatera Barat aman. Saya datang mengirim uang royalti kontan, karena takut jika lewat wesel akan disita pula..”
Sepulang Pak Anwar, Ummi menangis, beliau kemudian mengambil air wudhu dan shalat sunnah syukur kepada Allah….
#JumatBerkah
#InspirasiIndonesia
*Diringkas dari buku Ayah..Kisah Buya Hamka