Menu

Dwitunggal Sukarno-Hatta, Cerita Konflik dan Hormat 2 Sahabat

Duo proklamator, Sukarno dan Mohammad Hatta, nyaris selalu digambarkan sebagai pasangan sehati sevisi; dwitunggal. Namun sejarah juga mencatat cela hubungan keduanya. Ada saat hubungan kedua tokoh itu memburuk.

Sejarawan Universitas Indonesia Andi Achdian menyebut gesekan antara keduanya sering terjadi sejak masa perjuangan kemerdekaan tahun 1930-an. Perbedaan bermula dari perbedaan pandangan politik Bung Karno dan Bung Hatta.

“Strategi pergerakan Sukarno berfokus pada penggalangan massa, sedangkan Hatta elite terdidik yang mengutamakan pendidikan segelintir elite. Jadi sejak awal ada perbedaan visi menggalang kekuatan pergerakan,” ucap dia, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (15/8).

Dalam otobiografi Hatta berjudul ‘Untuk Negeriku: Berjuang dan Dibuang’, konflik besar pertama saat Sukarno dan tiga rekannya, Gatot Mangkupraja, Soepriadinata dan Maskun Sumadiredja ditangkap Belanda.

Setelah penangkapan itu, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikannya bubar. Petinggi partai membentuk partai baru bernama Partai Indonesia (Partindo).

Hatta menyesalkan hal itu. Ia sebenarnya berharap banyak dari PNI. Namun, politik agitasi ala Sukarno malah berakibat antiklimaks.

“Pembubaran PNI memalukan dan perbuatan itu melemahkan pergerakan rakyat,” ucap Hatta dalam buku itu.

Namun toh Soekarno-Hatta terus berjuang dengan tujuan bersama, Indonesia merdeka. Nama keduanya juga yang tercantum di naskah Proklamasi Kemerdekaan atas nama Bangsa Indonesia.

Nama Soekarno-Hatta pula yang tertulis dengan tinta emas sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI.

Namun hubungan keduanya tak selalu mulus meski kemerdekaan sudah direngkuh.

Puncak konflik Sukarno dan Hatta terjadi pada 1956. Saat itu Sukarno menawarkan sistem politik baru, demokrasi terpimpin.

Ia menganggap sistem parlementer membuat negara tak stabil dan selalu berujung kebuntuan dalam pengambilan keputusan. Hasilnya, semua keputusan akan ditumpukan ke pemimpin negara, Sukarno.

“Sejak saat itu, Hatta secara terang-terangan beroposisi terhadap Sukarno. Bukan lagi berbeda, tapi beroposisi dengan apa yang dia sebut kediktatoran dalam cara dan gaya Sukarno memerintah,” ujar Andi.

Bahkan pada 20 Juli 1956 Hatta mengajukan surat pengunduran diri ke DPR. DPR baru membahas empat bulan setelahnya.

Pria kelahiran Bukit Tinggi pada 12 Agustus 1902 itu pun resmi meninggalkan jabatan Wakil Presiden Republik Indonesia pada 1 Desember 1956.

Kepada anak angkatnya, Des Alwi Abu Bakar, Hatta menyatakan dirinya hanya diminta mengurus koperasi selama jadi orang nomor dua di republik.

“Aduh, Des, Om cuma disuruh ngurus koperasi. Segala keputusan politik tidak dikonsultasikan dengan saya. Jadi Om berhenti saja jadi wakil presiden,” kata  Hatta kepada Des Alwi, dikutip dari buku ‘Wapres: Pendamping atau Pesaing?’.

Menyimpan Hormat

Meski sering bertolak belakang dalam urusan politik, Sukarno dan Hatta tetap saling memiliki rasa hormat satu sama lain sebagai personal.

Setelah lengser dari RI 2, Hatta berkeliling Eropa untuk mengisi ceramah di kalangan mahasiswa. Satu waktu, ia ditanya soal kebijakan Sukarno beberapa waktu terakhir.

Hatta yang keluar dari pemerintahan lantaran kecewa, tak sama sekali merendahkan koleganya itu.

“Baik buruknya Bung Karno, beliau adalah Presiden saya,” ucap Hatta.

Begitu pun saat Sukarno jatuh sakit di akhir periode 1960-an. Hatta menggantikan Sukarno menjadi wali pernikahan Guntur Soekarnoputra.

Momen haru juga terjadi pada akhir hayat Sukarno. Pria kelahiran Surabaya, 6 Juni 1901 itu dirawat di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.

Buku ‘Bung Karno: The Untold Stories’ mencatat pada 16 Juni 1970 Hatta sempat mengunjungi sahabatnya yang terbujur lemas di tempat tidur. Tak lama usai ia datang, Sukarno sempat menyapanya.

“Hatta, apakah kau di sini?” ucap Sukarno dari atas tempat tidur.

Sembari mengangguk perlahan, Hatta menjawab, “Ya aku di sini. Bagaimana keadaanmu, No?”

Hoe gaat het met jou? [Bagaimana keadaanmu?]” Sukarno bertanya balik.

Sambil mengenggam erat tangan Sukarno, Hatta tersenyum dan tak kuasa menahan tangis.

Lima hari kemudian, Sukarno meninggal dunia. Hatta menyusul sepuluh tahun setelahnya, tepatnya pada 14 Maret 1980.

Sukarno dimakamkan di Blitar, Jawa Timur. Sementara Hatta dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta.

Meski sangat berjasa untuk pembentukan negara Indonesia, keduanya baru mendapat gelar pahlawan nasional pada 2012, 67 tahun setelah kemerdekaan.

“Tidak terlepas dari [kebijakan] Orde Baru. Kan di Orde Baru ada upaya de-Sukarnoisasi atau pengecilan peran Sukarno dalam kemerdekaan,” jelas Andi Achdian.

Sumber artikel : https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180816204745-20-322921/dwitunggal-sukarno-hatta-cerita-konflik-dan-hormat-2-sahabat

IKATAN KELUARGA PAHLAWAN NASIONAL INDONESIA

Meneguhkan Persatuan Bangsa yang Berdaulat, Adil, dan Makmur

WEB TERKAIT

Informasi

Hubungi Kami

Kementerian Sosial, Gedung C, Lantai Dasar
Jl. Salemba Raya No. 28, Jakarta Pusat
IKPNI.com merupakan situs resmi yang diakui oleh Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia. Seluruh konten serta opini dalam situs ini berdasarkan fakta-fakta yang tersedia, namun tidak mewakili pendapat Inspira Mediatama. Konten dalam situs ini sebaiknya tidak dijadikan dasar oleh pembaca dalam mengambil keputusan komersial, hukum, finansial, atau lainnya. Pada artikel yang sifatnya umum, pembaca disarankan mencari pendapat dari profesional sebelum menanggapi dan mengoreksi konten informasi yang dipublikasi jika mungkin tidak sesuai dengan pandangan pembaca. Publisher tidak bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaian yang tayang, bagaimanapun disebabkan. Website ini dibuat untuk IKPNI dengan hak cipta. Kepemilikan merek dagang diakui. Dilarang menyalin, menyimpan, atau memindahkan dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari publisher.
1
"Hallo, Admin. Website IKPNI."
Powered by