Menu

13 Pahlawan Nasional Asal Sulsel dan Kisah Perjuangannya

13 Pahlawan Nasional Asal Sulsel dan Kisah Perjuangannya

Makassar – Pahlawan nasional asal Sulsel (Sulawesi Selatan) memiliki peran penting dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sejumlah nama pahlawan asal Sulsel diabadikan sebagai nama-nama jalan hingga gedung pemerintah di Sulawesi Selatan. Pahlawan nasional adalah gelar yang disematkan kepada warga Indonesia yang memiliki jasa besar terhadap negara. Gelar pahlawan Indonesia merupakan bentuk apresiasi untuk memperingati perjuangan melawan penjajahan. Perjuangan pahlawan nasional asal Sulsel dilakukan dari berbagai cara baik melalui gerakan kepemudaan, militer, hingga politik. Mereka berperan besar dalam mempertahankan tanah Sulawesi sebagai bagian dari NKRI.

Peringatan hari kemerdekaan Indonesia tentunya perlu mengetahui kisah perjuangan pahlawan nasional asal Sulsel. Berikut 13 pahlawan nasional asal Sulsel yang dilansir dari Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, Kesetiakawanan dan Restorasi Sosial (K2KRS) Kemensos RI.

Pahlawan Nasional Asal Sulsel dan Riwayat Singkat Perjuangannya:

1. Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin merupakan salah satu pahlawan nasional asal Sulsel yang cukup dikenal luas. Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa ke 16. Sultan Hasanuddin lahir pada 12 Januari 1631 di Makassar. Ia meninggal Sultan Hasanuddin meninggal pada 12 Juni 1670 di Makassar saat berusia 39 tahun dan dimakamkan di Gowa.

Sebagai Raja Gowa Sultan Hasanuddin mampu menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni (Belanda). Karena keberaniannya ia bahkan dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda, yang artinya Ayam Jantan dari Timur. Sultan Hasanuddin sangat keras menentang Belanda, berbagai perjanjian dan tuntutan VOC ditolak oleh nya. Hal ini kemudian melahirkan perlawanan dan pertempuran dengan VOC.

Pada tanggal 7 Juli 1667 terjadi pertempuran besar antara Pasukan VOC yang dipimpin Speelman dengan pasukan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin. Pertempuran tersebut berjalan beberapa bulan yang menimbulkan kerugian pada pihak kerajaan Gowa. Kondisi ini kemudian melahirkan perjanjian Bongaya yang merupakan perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya. Penandatanganan ini dilakukan oleh Kesultanan Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan pihak VOC yang diwakili oleh Laksamana Cornelis Speelman . Namun, perjanjian ini kemudian merugikan kerajaan Gowa. Sultan Hasanuddin pun menolak perjanjian ini.

2. Ranggong Daeng Romo
Pahlawan nasional asal Sulsel selanjutnya adalah Ranggong Daeng Romo. Dia adalah salah seorang pejuang gerilya. Tercatat, pada tanggal 16 Oktober 1945, dibentuk organisasi Angkatan Muda Bajeng di bawah pimpinan Ranggong Daeng Romo, untuk mengibarkan jiwa dan semangat perjuangan menentang Belanda. Kemudian pada tanggal 5 Desember 1945, Ranggong Daeng Romo diangkat menjadi Komandan Barisan Gerakan Muda Bajeng. Barisan Gerakan Muda Bajeng ini tidak hanya bergerak pada bidang kemiliteran tetapi juga di bidang pemerintahan. Gerakan Muda Bajeng yang dipimpin Ranggong Daeng Romo beberapa kali mengalami bentrokan senjata dengan Belanda demi usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Tanggal 2 April 1946 Gerakan Muda Bajeng diubah menjadi Laskar Lipan Bajeng dan Ranggong Daeng Romo diangkat menjadi pimpinan tertinggi. Kemudian tanggal 17 Juli 1946 terbentuklah Laskar Pemberontakan Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) dan Ranggong Daeng Romo menjadi panglima. Tanggal 8 Agustus 1946, pasukan tersebut berhasil mempertahankan markas besar LAPRIS di Rannaya Palembangkung dengan gagah berani, penuh kesatria dan akhirnya dapat dipukul mundur. Ranggong Daeng Romo tewas dalam perlawanan mempertahankan daerah dari serangan pasukan Belanda. Ranggong Daeng Romo merupakan pahlawan kelahiran Takalar. Ia meninggal pada 27 Februari 1947 di Markas Besar LAPRIS pada usia 32 tahun dan dimakamkan di Takalar.

3. Andi Mappanyukki
Andi Mappanyukki merupakan pahlawan nasional asal Bone, Sulsel yang memperjuangkan kemerdekaan dan memimpin perlawanan terhadap Belanda. Saat berumur 16 tahun ia diangkat menjadi Datu Suppa. Kemudian pada tahun 1905 ia dipercaya menjadi Letnan Tentara Kerajaan Gowa dan melawan Belanda menggunakan taktik gerilya. Karena kecerdasannya Belanda sering memberikan penawaran Andi Mappanyukki untuk bergabung, namun selalu ditolak.

Andi Mappanyuki juga pernah ditawan oleh lawan bersama pasukannya. Namun ia kemudian dibebaskan pada tahun 1909. Pada 2 April 1931 Andi Mappanyukki dipilih sebagai Raja Bone ke-XXXII dengan gelar Sultan Ibrahim melalui melalui sidang Ade Pitue. Kemudian pada periode 1945-1950, Andi Mappanyukki mengorbankan jiwa raga dan hartanya sebagai bangsawan tinggi untuk memimpin raja-raja di Sulawesi Selatan untuk Bersatu dan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1950. Atas perjuangannya, Andi Mappanyukki mendapat gelar lengkap Haji Andi Mappanyukki Sultan Matinroweri Jongaya. Dia meninggal pada 18 April 1967 di Jongaya dan dimakamkan TMP Panaikang, Makassar.

4. Pong Tiku
Pahlawan nasional asal Sulsel selanjutnya adalah Pong Tiku. Ia merupakan bangsawan Toraja sekaligus panglima perang dalam perlawanan terhadap Penjajah Belanda. Berdasarkan catatan sejarah, pada tahun 1905 setelah Belanda menaklukkan satu persatu kerajaan di Sulsel, Tana Toraja menjadi incaran selanjutnya untuk dikuasai.

Operasi militer Belanda untuk menduduki Tana Toraja dimulai dari Palopo. Pada akhir bulan Maret 1906 Belanda mengirim surat kepada Pong Tiku meminta agar ia datang ke Rantepao. Pong Tiku menolak dengan tegas. Permintaan kedua yang disampaikan Belanda pada pertengahan April 1906, juga ditolaknya. Dua kali Pong Tiku menolak untuk datang ke Rantepao, akhirnya Belanda memutuskan untuk melancarkan serangan ke benteng-benteng pertahanan Pong Tiku.

Pertempuran sengit antara Pong Tiku dan Belanda tidak terelakkan. Satu per satu benteng pertahanan Pong Tiku dikuasai oleh Belanda. Pong Tiku dan pasukannya terdesak. Meski begitu, ia berhasil menyelamatkan diri dari kejaran Belanda. Tetapi tidak berlangsung lama, ia segera ditangkap di persembunyiannya kemudian dijatuhi hukuman mati pada 30 Juni 1907. Pong Tiku atau juga dikenal dengan nama Ne Baso meninggal 10 Juli 1907 di Sungai Sadan, Sinki Rantepao, Toraja. Ia meninggal di usia 61 tahun dan dimakamkan di TPU Pangala, Tana Toraja.

5. La Maddukelleng
La Maddukelleng adalah pahlawan nasional asal Sulsel yang memimpin pasukan dari suku Bugis, Pasir, Kutai, Makassar serta Bugis-Pagatan, untuk melawan Belanda.

Perjuangan La Maddukelleng dimulai ketika membantu pasukan Daeng Parani, Daeng Marewa dan Haji Sore melawan Johor pada tahun 1715-1721. La Maddukelleng mengirim pasukan yang dipimpin oleh La Banna To Asak dan memenangkan peperangan. Kemudian pada 1726 La Maddukelleng diangkat menjadi Sultan Pasir. Pada tahun ini juga ia memerintahkan La Banna To Asak untuk menyerang Maradia Balapina yang pro dengan Belanda. Misi tersebut berhasil memperoleh kemenangan. La Maddukelleng melanjutkan perjuangan dengan mengirim pasukannya menuju Gowa dan menembaki Benteng Ujung Pandang tempat persembunyian Belanda.

La Maddukelleng berulang kali menolak menyatakan persaudaraan dengan VOC. Pada bulan Februari 1741 terjadi peperangan sengit dalam waktu yang cukup lama antara Wajo dengan Belanda, namun pasukan VOC (Smout) dapat dipukul mundur oleh pasukan Wajo yang dipimpin La Maddukelleng. La Maddukelleng meninggal di Wajo pada tahun 1765 tepatnya di usia 65 tahun. La Maddukelleng dimakamkan di Wajo.

6. Andi Djemma
Andi Djemma merupakan Raja atau Datu Luwu. Dia merupakan pahlawan nasional asal Sulsel yang memimpin Perlawanan Semesta Rakyat Luwu terhadap Belanda selama Revolusi Nasional.

Andi Djemma memprakarsai pembentukan organisasi Soekarno Muda (SM) pada tanggal 2 September 1945 untuk melakukan gerakan merebut senjata Jepang di Palopo. Ia juga menyatakan bahwa daerah Luwu adalah bagian dari NKRI. Selain itu, Andi Djemma juga menegaskan bahwa Pemerintah Luwu menolak kerja sama dengan aparat NICA pada masa itu. Andi Djemma meninggal di usia 64 tahun pada tanggal 23 Februari 1965 di Makassar. Ia kemudian dimakamkan di TMP Panaikang Makassar.

7. Emmy Saelan
Emmy Saelan merupakan pahlawan nasional wanita asal Sulsel. Dia Emmy Saelan bergabung dengan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) di bawah komando Ranggong Daeng Romo pada tahun 1946. Emmy Saelan memiliki nama asli Salma Soehartini Saelan. Emmy Saelan kemudian bergabung dalam LAPRIS sebagai penanggung jawab dalam Bagian Palang Merah. Pejuang wanita asal Sulawesi Selatan ini kemudian merawat para pejuang yang terluka.

Namun, tidak hanya merawat para pejuang yang terluka, Emmy Saelan juga berjuang dengan mengangkat senjata. Bahkan Emmy Saelan mendapatkan misi spionase, yakni mata-mata untuk mencari informasi mengenai kekuatan lawan dalam hal ini NICA. Saat menjalankan misi tersebut, posisi Emmy Saelan terbaca oleh pihak lawan. Kontak senjata pun tidak terhindarkan. Tepatnya pada tanggal 20 Januari 1947 posisi Emmy Saelan terdesak hingga terkepung oleh NICA. Di dalam pengepungan tersebut, Emmy Saelan mengambil tindakan dengan meledakkan granat. Di dalam peristiwa tersebut, Emmy Saelan gugur bersama para tentara NICA yang mengepungnya.

8. Andi Pangerang Petta Rani
Andi Pangerang Petta Rani Karaeng Bontonompo Arung Macege Matinroe Ri Panaikang adalah salah satu pahlawan nasional asal Sulsel. Ia adalah adalah birokrat, politikus, dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang berasal dari bangsawan Suku Makassar dan Bugis serta menjadi Gubernur Sulawesi terakhir.

Andi Pangerang Petta Rani pernah menjalani profesi sebagai tentara dan turut berjuang melawan penjajah. Pada masa itu tentara Hindia Belanda sempat menguasai kawasan di Sulawesi Selatan, bahkan mereka memiliki beberapa Benteng pertahanan yang terletak di beberapa lokasi, seperti Benteng Fort Rotterdam dan Benteng Somba Opu. Pada bulan Agustus 1945 Andi Pangerang Petta Rani ditunjuk sebagai anggota delegasi Sulawesi ke Komite Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Ia bersama dengan Dr. Sam Ratulangi dan Andi Sultan Daeng Radja.

Andi Pangerang Petta Rani mengikuti rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI yang pada saat itu diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1945. Berbagai perjuangan dilalui Andi Pangerang Petta Rani untuk bisa mempertahankan Sulawesi menjadi bagian dari NKRI. Andi Pangerang Petta Rani tutup usia 72 tahun. Ia meninggal pada 12 Agustus 1975 di Ujung Pandang.

9. Syekh Yusuf
Syekh Yusuf Tajul Khalwati adalah pahlawan nasional asal Sulsel yang lebih dikenal dengan sapaan Syekh Yusuf. Perjuangannya melawan Belanda bukan hanya di tanah kelahirannya, Gowa tetapi juga di Banten hingga Afrika Selatan.

Kegigihan perjuangan Syekh Yusuf Tajul Khalwati membuat rakyat Banten bersemangat mengusir penjajah bersama Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masa itu Syekh Yusuf memiliki pengaruh yang luar biasa dan berhasil meningkatkan kewibawaan kerajaan Banten diantara Raja-raja di Nusantara. Syekh Yusuf sepeninggal Sultan Ageng Tirtayasa, memimpin perang Gerilya bersama Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul di daerah Tangerang. Pada tahun 1684 Syekh Yusuf dibuang ke pulau Ceylon Sri Lanka.

Di Sri Lanka, Syekh Yusuf membentuk jaringan Islam yang luas. Melalui murid-muridnya di Nusantara Syekh Yusuf terus mengobarkan perlawanan terhadap Belanda. Dampaknya, Belanda memindahkan Syekh Yusuf ke Zandvliet, Afrika Selatan. Tidak patah arang, Syekh Yusuf terus menyebarkan Agama Islam sekaligus semangat anti penjajahan terhadap rakyat Afrika Selatan, sampai wafat pada 23 Mei 1699. Syekh Yusuf meninggal di Cape Town, Afrika Selatan pada usia 73 tahun. Ia dimakamkan di Gowa, Sulawesi Selatan.

10. Andi Abdullah Bau Massepe
Pahlawan nasional asal Sulsel selanjutnya adalah Andi Abdullah Bau Massepe. Ia merupakan panglima pertama TRI Divisi Hasanuddin.

Andi Abdullah Bau Massepe adalah putra dari Andi Mappanyukki. ia memiliki sikap kerakyatan dan demokratis yang mampu berbaur dengan baik bersama rakyat biasa. Perjuangannya Andi Abdullah Bau Massepe melawan penjajah ditempuh melalui jalur politik dan militer. Dalam bidang politik dengan menjaga keselamatan dan keamanan rakyat Sulawesi. Sementara dalam bidang militer ia mendirikan pemuda Pandu Nasional Indonesia (PNI) sebagai kekuatan pergerakan bersenjata menghadapi NICA.

Andi Abdullah Bau Massepe gugur setelah ditembak mati oleh Belanda. Kematiannya sesuai dengan ucapannya saat di pengadilan Makassar “Aku rela mati demi kehormatan dan kemerdekaan bangsaku”. Andi Abdullah Bau Massepe meninggal 2 Februari 1947 di Pare-Pare, di usia 29 tahun. Ia dimakamkan di TMP Paccekke, Kota Pare-Pare.

11. Opu Daeng Risadju
Opu Daeng Risadju adalah pejuang kemerdekaan asal Sulsel. Ia merupakan politisi wanita pertama yang berperang melawan Belanda selama Revolusi Nasional.

Awal abad XX, tahun 1927 Opu Daeng Risadju menjadi anggota Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) cabang Pare-Pare. Kemudian pada tanggal 14 Januari 1930 ia terpilih menjadi ketua PSII dan sering mengikuti kongres PSII baik di Sulawesi Selatan maupun di PSII Pusat Batavia. Opu Daeng Risadju bersama kurang lebih 70 orang anggota PSII ditangkap oleh Belanda dan dimasukkan ke penjara Masamba. Penangkapan dirinya ini untuk mengurangi aksi-aksi atau gerakan perlawan dan serta menghadang perluasan ajaran PSII.

Pada tahun 1946 Opu Daeng serta Pemuda Republik melakukan serangan terhadap tentara NICA. Setelah itu, terjadi serangan balasan kepada pasukan Opu Daeng Risadju yang mengakibatkan banyak pemuda gugur. Opu Daeng Risadju kemudian ditangkap dan dipenjara di Belopa yang membuat telinganya tuli seumur hidup. Opu Daeng Risadju dijuluki Srikandi di Tana Luwu karena perannya yang aktif memperjuangkan kebangkitan nasional di Sulawesi Selatan. Opu Daeng Risadju meninggal pada 10 Februari 1964 di Palopo. Ia meninggal di usia 84 tahun dan dimakamkan di TMP Belopa.

12. Padjonga Daeng Ngalle
Padjonga Daeng Ngalle merupakan pejuang pembentukan Republik Indonesia. Ia menjadi Ketua Laskar Gerakan Muda Bajoang, dan Koordinator Serangan di Sulawesi Selatan selama Revolusi Nasional.

Pahlawan nasional asal Sulsel ini menduduki kepala pemerintahan distrik pada tahun 1934. Kemudian pada tahun 1945 ia bersama bangsawan lain seperti, Andi Mappanyukki, Andi Djemma, Andi Bau Massepe, dan Andi Pettarani mengikuti konferensi raja-raja se-Sulawesi untuk mendukung pemerintah RI di Sulawesi.

Dia kemudian menjadikan Polongbangkeng sebagai pusat gerakan menggantikan posisi Makassar. Selain itu, Padjonga Daeng Ngalle juga mempersatukan para tokoh pemuda perjuangan dari Makassar, Takalar, Gowa, dan Bantaeng.

Untuk mempertahankan proklamasi, Padjonga Daeng Ngalle membentuk dan memimpin Laskar Gerakan Muda Bajoang sebagai wadah perjuangan bersenjata. Kemudian pada Juli 1946, Laskar Lipan Bajoang melaksanakan konferensi antar laskar yang dihadiri oleh 19 laskar yang membentuk LAPRIS (Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi). Padjonga Daeng Ngalle meninggal pada 23 Februari 1958 di Takalar pada usia 57 tahun. Ia dimakamkan di Palleko, Takalar.

13. Andi Sultan Daeng Radja
Andi Sultan Daeng Radja adalah salah satu tokoh Kemerdekaan Indonesia asal Sulsel. Ia turut aktif dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda.

Selain itu, Andi Sultan Daeng Radja aktif dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ia pun tercatat sebagai salah satu pemrakarsa pembentukan organisasi Persatuan Pergerakan Nasional Indonesia (PPNI). Andi Sultan Daeng Radja meninggal pada 17 Mei 1963 di Rumah Sakit Pelamonia Makassar di usia 68 tahun. Ia dimakamkan di Jalan Kusuma Bangsa, Bulukumba.

Baca artikel detiksulsel, “13 Pahlawan Nasional Asal Sulsel dan Kisah Perjuangannya” selengkapnya https://www.detik.com/sulsel/berita/d-6218447/13-pahlawan-nasional-asal-sulsel-dan-kisah-perjuangannya.

IKATAN KELUARGA PAHLAWAN NASIONAL INDONESIA

Meneguhkan Persatuan Bangsa yang Berdaulat, Adil, dan Makmur

WEB TERKAIT

Informasi

Hubungi Kami

Kementerian Sosial, Gedung C, Lantai Dasar
Jl. Salemba Raya No. 28, Jakarta Pusat
IKPNI.com merupakan situs resmi yang diakui oleh Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia. Seluruh konten serta opini dalam situs ini berdasarkan fakta-fakta yang tersedia, namun tidak mewakili pendapat Inspira Mediatama. Konten dalam situs ini sebaiknya tidak dijadikan dasar oleh pembaca dalam mengambil keputusan komersial, hukum, finansial, atau lainnya. Pada artikel yang sifatnya umum, pembaca disarankan mencari pendapat dari profesional sebelum menanggapi dan mengoreksi konten informasi yang dipublikasi jika mungkin tidak sesuai dengan pandangan pembaca. Publisher tidak bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaian yang tayang, bagaimanapun disebabkan. Website ini dibuat untuk IKPNI dengan hak cipta. Kepemilikan merek dagang diakui. Dilarang menyalin, menyimpan, atau memindahkan dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari publisher.
1
"Hallo, Admin. Website IKPNI."
Powered by