Tengku Amir Hamzah
“Sumpah Pemuda” tahun 1928 antara lain direalisasikan melalui peleburan berbagai perhimpunan pemuda menjadi Indonesia Muda (IM). Ketika di AMS, Amir Hamzah menjadi Ketua Indonesia Muda cabang Solo. Saat di RHS Jakarta mejadi tim Redaksi Majalah Pujangga Baru. Banyak karangannya yang dimuat dalam majalah tersebut.
Selain menulis kisah tentang kehidupan istana, juga kehidupan rakyat jelata, dan pakar penggubah syair seperti Nyanyi Sunyi, Amiz Hamzah menerjemahkan syair-syair Tiongkok, India, Persia seperti Setanggi Timur dan Buah Rindu. Semua karangannya tidak satupun menggunakan bahasa asing. Karya sastranya mempunyai keindahan yang tahan uji dan akan menjadi warisan yang sangat berharga untuk dipelajari dan ditelaah oleh angkatan sekarang dan akan datang.
Amir Hamzah tidak mencapai akhir studinya, hanya sampai Sarjana Muda Hukum. Akhirnya pulang ke Tanjungpura dan kembali kepada Kesultanan Langkat dengan mendapat gelar kehormatan Tengku Pangeran Indrapura dan menjabat pekerjaan Kepala Luhak Langkat Hilir, Langkat Hulu dan lain-lainnya. Dalam jabatannya itu berkesempatan menyelenggarakan perpustakaan dan pendirikan rakyatnya, dan sering memberikan ceramah tentang sastra dan kebudayaan.
Pada jaman Jepang terpilih sebagai anggota Balai Bahasa Indonesia di Medan yang antara lain menciptakan istilah-istilah modern. Pada jaman kemerdekaan, Amir Hamzah diangkat menjadi Asisten Residen Langkat. Sejak proklamasi memang giat mempertahankan kemerdekaan. Akhirnya pada bulan Maret 1946 di Sumatera Timur terjadi revolusi sosial yang digerakkan oleh golongan kiri terhadap para bangsawan, Amir Hamzah menjadi korban pertama diantara keluarga Kesultanan Langkat, Amir Hamzah gugur ketika masih memegang jabatan resmi sebagai Asisten Residen Langkat.
Nilai Kepribadian Luhur yang Dimiliki
Seorang republikan, sastrawan dan budayawan yang sangat besar jasanya melalui talenta yang dimilikinya. Syair, prosa dan puisinya tetap menyentak rasa, menusuk hati, indah didengar sejak dulu hingga kini sesudah pengarangnya gugur 60 tahun yang lalu dalam revolusi sosial golongan kiri. Karya-karya dengan seribu makna tetap abadi dan diabadikan dalam kesusateraan Indonesia.