Menu
PAHLAWAN NASIONAL

Moestopo, Prof., Dr

Berdasarkan: Keppres No. 066/TK/TH. 2007, 6 November 2007

R. Moestopo lahir di Ngadiluwih, Kediri, Jawa Timur pada 13 Juni 1913. Pendidikan tertinggi yang ditempuh pada masa Belanda adalah STOVIT (Sekolah Dokter Gigi) yang diselesaikannya pada tahun 1937. Sesudah itu ia membuka praktek sambil bekerja di STOVIT, bahkan pernah diangkat sebagai Wakil Direktur STOVIT.

Pada masa pendudukan Jepang, Moestopo mengikuti pelatihan tentara Pembela Tanah Air (PETA) angkatan kedua di Bogor, Jawa Barat. Selesai pelatihan, ia diangkat sebagai Shudanco (Komandan kompi) di Sidoarjo. Akan tetapi kemampuan Moestopo melebihi kemampuan seorang Shudanco. Oleh karena itu kemudian ia diangkat menjadi Daidanco (Komandan batalion) di Gresik.

Pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari sesudah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Jepang membubarkan kesatuan PETA, termasuk kesatuan Moestopo dan senjatan mereka dilucuti. Moestopo kemudian membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) Jawa Timur yang langsung dipimpinnya. Ia juga mengangkat dirinya sebagai Menteri Pertahanan at Interim Republik Indonesia. Tindakan itu dilakukannya agar dapat berunding dengan Komandan Tentara Sekutu dan Pimpinan Miiter Jepang, yang oleh Jaksa Agung dikukuhkan dengan surat tertanggal 13 Oktober 1945, agar Moestopo bertindak sebagai Menteri Pertahanan dan Pelaksanan tugas-tugas Menteri Pertahanan. Tindakan Moestopo itu sangat menguntungkan bagi tetap tegaknya kedaulatan Republik Indonesia, karena sebagai Menteri Pertahanan ia menerima penyerahan kekuasaan militer dan senjata dari Jepang.

Moestopo mempunyai andil yang besar dalam merebut senjata dari pasukan Jepang. Pada tanggal 1 Oktober 1945 para pemuda mengepung markas besar Jepang untuk merebut senjata. Moestopo meminta mereka menunda serangan sebab Jepang pasti akan membalas dan menyebabkan banyaknya jatuh korban. Ia segera menemui Mayor Jenderal Iwabe dan meminta senjata secara baik-baik. Iwabe menolak sebab ia pasti akan dipersalahkan oleh sekutu. Hanya kepada sekutulah Jepang harus menyerahkan senjata. Moestopo menegaskan bahwa ialah yang kelak akan mempertanggungjawabkan kepada sekutu. Akhirnya Iwabe bersedia menandatangani surat penyerahan tersebut.

Moestopo menentang pendaratan pasukan Inggris yang mewakili Sekutu di Surabaya, walaupun Presiden Soekarno telah menyampaikan pesan agar pendaratan itu tidak dihalang-halangi. Sambil berdiri dalam mobil dengan kap terbuka, ia berkeliling kota menyerukan rakyat agar melawan Inggris. Sebelum pasukan inggris mendarat, Moestopo mengadakan perundingan dengan komandan Inggris, Brigjen Mallaby. Perundingan juga diadakan antara pihak Inggris dengan pemerintah Jawa Timur. Inggris diizinkan menempati daerah pelabuhan. Akan tetapi pada tanggal 28 Oktober, sehari setelah kesepakatan itu dicapai, Inggris memasuki kota tanpa izin dan menduduki beberapa gedung. Akibatnya pada tanggal 28 dan 29 Oktober berkobar pertempuran. Pasukan Inggris terdesak dan hampir hancur. Mereka meminta Presiden Soekarno untuk menghentikan pertempuran.

Sementara itu Moestopo dan beberapa orang pasukannya berangkat ke Mojokerto untuk menyiapkan basis gerilya. Mereka ditangkap oleh pasukan Mayor Sabaruddin, bekas anak buah Moestopo dalam PETA. Moestopo dibebaskan, bahkan ia diantarkan ke Surabaya, tetapi yang lainnya dibunuh Sabaruddin. Moestopo langsung pergi ke tempat Presiden Soekarno sedang berunding dengan pihak Inggris. Ia dipensiunkan oleh Presiden dan diangkat sebagai Penasihat Agung Republik Indonesia.

Moestopo kemudia diserahi tugas sebagai panglima markas besar pertempuran Jawa Timur berkedudukan di Madiun. Pada waktu angkatan perang melaksanakan reorganisasi dan rasionalisasi, tahun 1948, Moestopo yang ketika itu berpangkat Kolonel, diangkat sebagai Komandan Kesatuan Reserve Umum (KRU). Ia membawahi tiga KRU, salah satu diantaranya adalah KRU yang terdiri atas pasukan hijrah Siliwangi. Pada waktu PKI melancarkan pemberontakan di Madiun, Moestopo mengerahkan pasukan Siliwangi ini untuk menumpasnya.

Pada waktu Agresi Militer kedua Belanda, Moestopo bergabung dengan Panglima Tentara dan Teritorium Djawa (PTTD) Kolonel Nasution. Dalam pemerintahan militer yang dibentuk oleh Nasution, Moestopo diserahi tugas untuk urusan kesehatan.

Sesudah perang kemerdekaan berakhir, Moestopo diangkat menjadi Kepala Kesehaan Gigi Angkatan Darat. Pada tahun 1958 ia dikaryakan dalam jabatan Pembantu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan pada tahun 1961 dengan pangkat Mayor Jendral, dikaryakan lagi sebagai Pembantu Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP). Pada tahun 1962 Moestopo mendirikan Yayasan Universitas Prof. Dr. Moestopo yang menaungi Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) di Jakarta yang dikenal sebagai Kampus Merah Putih. Selain memimpin dan membina universitas tersebut, ia juga ikut mendirikan universitas/ fakultas sebagai berikut :

  • Universitas Gajah Mada dan Fakultas Kedokteran Giginya.
  • Universitas Padjadjaran (Fakultas Kedokteran Gigi, Fakultas Publisistik dan Fakultas FIPPIa).
  • Universitas Indonesia (Fakultas Kedokteran Gigi).
  • Universitas Trisakti (Fakultas Kedokteran Gigi dan fakultas lain-lain).
  • Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta dengan 4 fakultas yaitu, Fakultas Kedokteran Gigi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Ekonomi dan Fakultas Ilmu Komunikasi.
  • Universitas Sumatera Utara (Fakultas Kedokteran Gigi).
  • Turut membina Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga (STOVIT).
  • Pendiri pendidikan berkelanjutan Ilmu Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), dengan 5 jurusan : Ortho, Opdent, Oral Surgery, Paedodontic, Prosthodontics.
  • Turut mendirikan dan memimpin Sekolah Lanjutan Oral Surgery Universitas Padjadjaran Bandung.
  • Mendirikan Akademi Perawatan Gigi, Akademi Pertanian, Sekolah Teknik Gigi Menengah, Kurusu Chair Side Assistance/ Teknik Gigi/ Dental Hygienis, Yayasan Pendidikan Prof. Dr Moestopo Bandung.

Mayor Jenderal Purn. Prof. Dr Moestopo meninggal dunia pada tanggal 29 September 1986 di Bandung. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung. Ia menerima berbagai penghargaan; yang tertinggi adalah Bintang Mahaputra Utama RI dan atas jasa-jasanya Pemerintah RI menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor; 066/TK/ Tahun 2007 tanggal 6 November 2007.

IKATAN KELUARGA PAHLAWAN NASIONAL INDONESIA

Meneguhkan Persatuan Bangsa yang Berdaulat, Adil, dan Makmur

WEB TERKAIT

Informasi

Hubungi Kami

Kementerian Sosial, Gedung C, Lantai Dasar
Jl. Salemba Raya No. 28, Jakarta Pusat
IKPNI.com merupakan situs resmi yang diakui oleh Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia. Seluruh konten serta opini dalam situs ini berdasarkan fakta-fakta yang tersedia, namun tidak mewakili pendapat Inspira Mediatama. Konten dalam situs ini sebaiknya tidak dijadikan dasar oleh pembaca dalam mengambil keputusan komersial, hukum, finansial, atau lainnya. Pada artikel yang sifatnya umum, pembaca disarankan mencari pendapat dari profesional sebelum menanggapi dan mengoreksi konten informasi yang dipublikasi jika mungkin tidak sesuai dengan pandangan pembaca. Publisher tidak bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaian yang tayang, bagaimanapun disebabkan. Website ini dibuat untuk IKPNI dengan hak cipta. Kepemilikan merek dagang diakui. Dilarang menyalin, menyimpan, atau memindahkan dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari publisher.
Kilas Sejarah Hari Ini
5 Oktober 2004

Sulawesi Barat menjadi provinsi sendiri

Sejak tahun 1960, pembentukan Provinsi Sulawesi Barat telah diperjuangkan namun ditolak pada 1963 ketika pemerintah pusat justru membentuk Provinsi Sulawesi Tenggara. Momentum pembentukan provinsi baru ini mencuat setelah gerakan reformasi 1998, tepatnya pada tahun 1999. Perjuangan panjang ini akhirnya menemui...

Selengkapnya...
Sulawesi Barat menjadi provinsi sendiri ( 5 Oktober 2004 )
1
"Hallo, Admin. Website IKPNI."
Powered by