Bagindo Azizchan

Bapak Bagindo Azizchan lahir di Padang pada 30 September 1910. Sejak kecil Bagindo Azizchan telah mendapat pendidikan berdasarkan Agama Islam yang kuat dan taat langsung dibimbing oleh ayahanda Bagindo Montok. Meskipun dari lingkungan keluarga ambtenaar (Pegawai Pemerintah Belanda), Bagindo Azizchan tertarik dengan pemikiran tokoh politik seperti Dr. Soetomo, Mr. Moh. Roem. Dari H. Agus Salim lebih banyak mendapatkan pengetahuan mengenai politik, perjuangan demi menegakkan kebenaran yang bersifat intelektual yang berlandaskan Islam, ini diterapkan beliau dalam kehidupan sehari-hari.
Bagindo Azizchan sebagai sosok pemimpin Revolusioner sejati dan dapat dicermati dari sikap yang pemberani, konsisten dalam bertindak, berpendirian teguh dan tidak pernah gentar dalam menghadapi musuh.
Tahun 1933 mendirikan kantor pengacara dan menjadi pengurus Jong Islamiten Bond. Tahun 1935 ikut membentuk Volks Universiteit (Lembaga Pendidikan Rakyat( dan menjadi guru. Walaupun dalam masa sulit tetap berprinsip non kooperatif dengan Belanda. Tanggal 15 Agustus 1946 diangkat menjadi Walikota Padang ke II dan diterima dengan ucapan hati “Allahu Akbar Fi Sasbilillah”. Tugas pokok sangat berat karena dalam keadaan perang harus tetepa mempertahankan kehormatan pemerintah sipil RI di kota Padang dan selalu berserah diri kepada Allah SWT.
Sehari setelah pelantikan melakukan kunjungan ke markas besar Sekutu mengadakan perundingan dan memutuskan setuju melakukan kerjasama untuk menanggulangi keamanan di kota Padang yang semakin gawat dan membicarakan langkah-langkah teknis lalu lintas kereta api dan pos. tanggal 17 Agustus 1946, memperingati HUT Kemerdekaan RI yang pertama secara tertutup dan sangat berkesan untuk mengimbangi kampanye NICA (Netherland Indich Civil Administration) beliau menerbitkan surat kabar Republik Indonesia Cahaya.
Pada tanggal 25 Maret 1947, naskah Linggarjati ditanda-tangani seharusnya lebih saling menghargai dan lebih aman, ternyata situasi semakin gawat dan akhirnya Belanda mau menang sendiri. Bagindo Azizchan mendapat informasi dari Polisi Rahasa Belanda (Nefis) sedang mempersiapkan penangkapan tokoh-tokoh Republik dan disarankan untuk tidak masuk kota.
Tanggal 19 Juli 1947, bersama isterinya Siti Zaura Oesman yang bagi Bagindo Azizchan adalah sebagai pendamping dalam perjuangan dan tempat meletakkan kepercayaan, saat itu dalam keadaan hamil tua dan akan menuju Bukittinggi. Mobil Walikota di cegat dan disampaikan telah terjadi insiden yang dilakukan oleh extrimis-extrimis Indonesia di Lapai. Letkol Van Erp meminta Bagindo Azizchan yang jug selaku Ketua Panitia Pelaksana Keputusan RI – Belanda di Padang untuk dapat menentramkan kekacauan tersebut. Ternyata ini merupakan siasat Belanda untuk membunuh Bagindo Azizchan. Setelah gugur terjadilah penangkapan besar-besaran oleh polisi Belanda. Di tanggal ini, Bagindo Azizchan juga tewas di tangan Belanda.
Nilai Kepribadian Luhur yang Dimiliki
Pejuang tangguh dan pemberani, menjaga dan membela tanah kelahirannya dalam keadaan segawat apapun sampai titik darah terakhir. Bagindo Azizchan terus menegakkan pemerintahan dalam semboyan “Langkahi Mayat Saya Dulu Baru Belanda bisa Meluaskan Daerahnya di Kota Padang”.