Menu

Kisah Bung Tomo Dipenjarakan Soeharto “Untuk Tanah Air Tiada Pengorbanan Yang Terlalu Besar.”

Bung Tomo, seorang pahlawan, ternyata pernah dipenjarakan oleh Soeharto. Orator yang membakar semangat arek-arek dalam pertempuran Surabaya yang bersejarah itu dibui karena memprotes pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Ceritanya, pada tahun 1978 itu, Siti Hartinah, istri mantan Presiden Soeharto, sedang sibuk merancang pembangunan TMII. Bung Tomo mendapat informasi bahwa Bu Tien meminta para pengusaha memberikan 10 persen keuntungan usahanya untuk pembangunan TMII. Lalu Bung Tomo menyampaikan informasi itu dan mengkritik pembangunan TMII itu dalam setiap pidatonya.

Pada 11 April 1978, Bung Tomo pun ditangkap dengan tuduhan melakukan tindakan subversif. Ia dikerangkeng tanpa proses pengadilan di Penjara Nirbaya, Pondok Gede. Turut mendekam dalam jeruji di sana, pakar hukum tata negara Ismail Sunny yang juga dikenal kritis terhadap Orde Baru.

“Bu Tien dan Pak Soeharto sepertinya tersinggung dan menangkap Bung Tomo,” kata Sulistina, istri Bung Tomo.

Kritik Bung Tomo terhadap Soeharto sejatinya bukan cuma soal TMII saja. Sebelumnya, ia mengritik keras peran asisten pribadi (Ali Moertopo dan Sudjono Humardani) dan keluarga Presiden Soeharto. Juga praktek cukongisme sebagai realisasi nepotisme dan klik, melalui peran ekonomi yang berlebihan dari pengusaha nonpribumi.

Menjelang hari Pahlawan 1972, Majalah Panji Masyarakat No 855 Tahun XIII memuat wawancara dengan Bung Tomo dengan judul “Bung Tomo Menggugat: Pengorbanan Pahlawan Kemerdekaan dan Semangat 10 November 1945 telah dikhianati”. Artikel ini berisi kritikan Bung Tomo kepada Presiden Soeharto, Gubernur Ali Sadikin, dan Bulog yang seolah-olah menganakemaskan etnis Tionghoa.

Gara-gara TMII, Bung Tomo harus mendekam di dalam tahanan selama satu tahun, dari 1978-1979. Sulistina tentu saja tidak terima sang suami diperlakukan secara tidak adil oleh rezim Soeharto. Perempuan yang pada saat perang kemerdekaan itu ikut aktif dalam Palang Merah Indonesia (PMI) itu marah dan mengirim surat protes kepada Soeharto. Dalam surat yang ditulis pada 6 Juli 1978 itu Sulistina menulis, orang yang sudah mempertaruhkan jiwa raganya untuk mempertahankan kemerdekaan negaranya tidak mungkin mengkhianati bangsanya sendiri.

Bung Tomo memang telah mempertaruhkan jiwa raganya untuk Indonesia. Jasanya sedemikian besar. Pidato Bung Tomo dengan pekikan khas Allahu Akbar yang disiarkan di radio-radio menjadi energi yang menggerakkan arek-arek Surabaya melawan Belanda yang ingin menjajah kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertempuran Surabaya yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan setiap 10 November tidak bisa dilepaskan dari peran Sutomo.

“Nyatanya, tuduhan yang ditujukan kepada Bung Tomo dengan memenjara selama setahun tidak terbukti,” kisah nenek yang kini berusia 90 tahun itu.

Keluar dari penjara, Bung Tomo tidak sungkan langsung menunjukkan rasa cintanya pada Sulistina. “Beliau langsung memeluk dan menggendong saya di depan umum di kantor kejaksaan.”

Tentang pemenjaraan dirinya itu, Bung Tomo menganggapnya sebagai risiko perjuangan. Risiko seorang Angkatan 45 yang ingin membela nama baik Angkatan 45-nya, dan ingin membela nama baik TNI yang ia ikut mendirikannya. Ia tidak mendendam.

“Untuk semua itu, untuk Tanah Air tiada pengorbanan yang terlalu besar. Itulah pendirian saya,” tulisnya dalam buku “Romantisme Bung Tomo: Kumpulan Surat dan Dokumen Pribadi Pejuang Revolusi Kemerdekaan yang diterbitkan Yayasan Bung Tomo, 2006.

Kepada Pangkopkamtib Laksamana Sudomo dan Jaksa Agung Ali Said, Bung Tomo pernah menulis surat terkait penahanannya. Ia berjanji bila sudah keluar dari tempat dirinya ditahan, baik bila dibebaskan sama sekali atau dalam status ‘tahanan luar’, “Saya tidak akan berbicara lagi mengenai hal-hal yang sensitif dan dapat mengeruhkan suasana (misalnya perihal Presiden RI) sekarang ini.”

Sekeluar dari penjara setahun kemudian, Bung Tomo terbukti lebih mencurahkan perhatiannya untuk merawat dan mendidik keempat anaknya. Pada 7 Oktober 1981 Bung Tomo meninggal dunia saat tengah menunaikan ibadah haji di Padang Arafah, Arab Saudi.

Tulisan oleh:
Edi Junaidi Marsal

Sumber : Grup FB Indonesia Djaman Kepungkur

IKATAN KELUARGA PAHLAWAN NASIONAL INDONESIA

Meneguhkan Persatuan Bangsa yang Berdaulat, Adil, dan Makmur

WEB TERKAIT

Informasi

Hubungi Kami

Kementerian Sosial, Gedung C, Lantai Dasar
Jl. Salemba Raya No. 28, Jakarta Pusat
IKPNI.com merupakan situs resmi yang diakui oleh Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia. Seluruh konten serta opini dalam situs ini berdasarkan fakta-fakta yang tersedia, namun tidak mewakili pendapat Inspira Mediatama. Konten dalam situs ini sebaiknya tidak dijadikan dasar oleh pembaca dalam mengambil keputusan komersial, hukum, finansial, atau lainnya. Pada artikel yang sifatnya umum, pembaca disarankan mencari pendapat dari profesional sebelum menanggapi dan mengoreksi konten informasi yang dipublikasi jika mungkin tidak sesuai dengan pandangan pembaca. Publisher tidak bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaian yang tayang, bagaimanapun disebabkan. Website ini dibuat untuk IKPNI dengan hak cipta. Kepemilikan merek dagang diakui. Dilarang menyalin, menyimpan, atau memindahkan dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari publisher.
Kilas Sejarah Hari Ini
3 Mei 1964

Operasi Dwi Komando Rakyat (Dwikora)

Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat yang memerintahkan untuk mempertinggi ketahanan revolusi Indonesia dan membantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak, dan Sabah untuk menghancurkan Malaysia. Hal ini berlangsung hingga perjanjian perdamaian di tahun 1966.

Selengkapnya...
Operasi Dwi Komando Rakyat (Dwikora) ( 3 Mei 1964 )
1
"Hallo, Admin. Website IKPNI."
Powered by