Sudirman, Jenderal.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di HIS, Sudirman meneruskan ke MULO “Wiworo Tomo” dan tamat pada tahun 1935. Disini memperoleh pelajaran nasionalisme, disamping itu aktif di dalam kepanduan Hizbul Wathan yang diasuh oleh Muhammadiyah. Setelah selesai pendidikan MULO, Sudirman bekerja sebagai guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan menjadi anggota Muhammadiyah. Kemudian diangkat sebagai Kepala Sekolah.
Sudirman mendirikan koperasi yang langsung dipimpinnya, menjadi Syu Sangikai Banyumas, lalu sebagai anggota Jawa Hokokai. Oktober 1943 Jepang membentuk Tentara Pembela Tanah Air (PETA), Sudirman ikut latihan di Bogor dan setelah tamat diangkat menjadi Daidanco di Kroya. Agustus 1945 Jepang membubarkan dan melucuti senjata PETA. Di Banyumas Sudirman membentuk BKR Banyumas, tanggal 5 Oktober 1945 pemerintah mengumumkan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), BKR melebur dalam TKR Sudirman menjadi Komandan Resimen lalu sebagai Komandan Divisi V berpangkat Kolonel.
November 1945 para Komandan TKR rapat untuk memilih pimpinan tertinggi, Supriyadi yang diangkat pemerintah tidak muncul untuk menduduki jabatan tersebut. Para Komandan TKR memilih Sudirman, pemerintah tidak setuju. Tanggal 12 Desember 1945 Sudirman memukul mundur Sekutu dari Ambarawa ke Semarang dan tanggal 18 Desember 1945 pemerintah melantik Sudirman menjadi Panglima Besar TKR dengan pangkat Jenderal.
Tanggal 24 Januari 1946 TKR berubah sebagai Tentara Republik Indonesia (TRI) dan pada Mei 1947 pemerintah mengumumkan pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang merupakan gabungan TRI dan Laskar-laskar. Tanggal 17 Januari 1948 Persetujuan Renville ditandatangani, Sudirman kecewa dan golongan kiri berusaha menjatuhkannya namun tidak berhasil. Sudirman tetap menjadi Panglima Besar Angkatan Perang.
Golongan kiri memberontak di Madiun, tetapi dapat ditumpas, dan pada tanggal 19 Desember 1948, pada Agresi Militer II, Sudirman menyingkir ke pedalaman memimpin gerilya. Kurang lebih selama 7 bulan, akhirnya Sudirman kembali ke Yogyakarta beristirahat di Magetan namun keadaannya semakin parah dan wafat tanggal 29 Januari 1950.
Nilai Kepribadian Luhur yang dimiliki
Memimpin gerilya kurang lebih selama 7 bulan di atas tandu, sungguh fenomenal, itu pertanda bahwa Panglima Besar Angkatan Perang RI Jenderal Sudirman seorang pemberani sejati, komitmen pada tugas meskipun dirongrong dari berbagai jurus tetap tangguh, tak pernah gagal sampai ajal menjelangnya.
“Anak-Anakku Tentara Indonesia, kamu bukanlah serdadu sewaan, tetapi prajurit yang berideologi, yang sanggup berjuang dan menempuh maut untuk keluhuran tanah airmu. Percaya dan yakinlah, bahwa kemerdekaan suatu negara yang didirikan di atas timbunan runtuhan jiwa (dan) harta-benda dari rakyat dan bangsanya, tidak akan dapat dilenyapkan oleh manusia siapapun juga.”
Sumber: http://soedirman.pahlawan.perpusnas.go.id/public/home#home
SOSOK TUKANG PANGGUL
Inilah DJUWARI Sang Tukang Panggul Jendral Soedirman Saat Perang Gerilya.
Pria renta berusia 82 tahun tersebut hidup miskin sebagai petani di kaki gunung Wilis, tepatnya tinggal di dusun Goliman, desa Parang kecamatan Banyakan, Kediri.
Bagaimana mungkin, seorang Djuwari, yang memiliki segudang ‘prestasi’ dalam perjalanan sejarah bangsa ini, sekarang tidak merasakan manisnya madu kemerdekaan. Padahal pria renta yang hidup dari bertani dan ‘cuma’ dihargai pemerintah lewat sebuah Bantuan Langsung Tunai itu adalah saksi sejarah. Tanpa ada Djuwari, seorang Panglima Besar Jenderal Soedirman tidak mampu meneruskan perjuangannya. Meski ketika itu, Djuwari hanya bertugas memanggul sang Jenderal Besar.
Betapa tidak, selama berpuluh-puluh kilometer, Djuwari harus memanggul Soedirman. Dia hanya berhenti setiap 30 km. Semua itu dilakukan Djuwari dengan senyuman. Karena dia berharap, sang Jenderal selamat dan mampu mengemban tugas-tugas penting kenegaraan.
“Inggih leres, kulo Djuwari, ingkang nate manggul Jenderal Soedirman, sampeyan saking pundi?” kata seorang kakek yang tengah duduk sambil memegang tongkat di sudut rumah warga Dusun Goliman.
Melihat sosok Djuwari tak nampak kegagahan pemuda berumur 21 tahun yang 61 tahun lalu memanggul Panglima Besar. Namun dipandang lebih dekat, baru tampak sisa-sisa kepahlawanan pemuda Djuwari.
Sorot mata kakek 13 cucu itu masih menyala, menunjukkan semangat perjuangan periode awal kemerdekaan.
Djuwari memang tidak pernah berpikir untuk mendapatkan imbalan. Dia sudah sangat senang diberi ‘upah’ sepotong kain panjang dari Jenderal Sudirman, ketika itu. Dia tidak meminta sebutan veteran ataupun penghargaan lain dari negara.
“Sing penting wes tau manggul Jenderal, Pak Dirman. Aku manggul teko Goliman menyang Bajulan, iku mlebu Nganjuk,” ujar suami almarhumah Saminah itu ketika ditanya balas jasa perjuangannya.
Dia bercerita, memanggul tandu Pak Dirman (panggilannya kepada sang Jenderal) adalah kebanggaan luar biasa.
Kakek yang memiliki tiga cicit itu mengaku memanggul tandu jenderal merupakan pengabdian. Semua itu dilakukan dengan rasa ikhlas tanpa berharap imbalan apapun.
“Biyen manggule tandu yo gantian le, kiro-kiro onok wong pitu, sing melu manggul teko Goliman yaiku Warso Dauri (kakak kandungnya), Martoredjo (kakak kandung lain ibu) karo Djoyo dari (warga Goliman),” akunya.
Perjalanan mengantar gerilya Jenderal Soedirman seingatnya dimulai pukul 8 pagi, dengan dikawal banyak pria berseragam.
Rute yang ditempuh teramat berat karena melewati medan berbukit-bukit dan hutan yang amat lebat. Seringkali perjalanan berhenti untuk beristirahat sekaligus memakan perbekalan yang dibawa.
“Teko Bajulan (Nganjuk), aku karo sing podho mikul terus mbalik nang Goliman. Wektu iku diparingi sewek (jarit) karo sarung,” imbuhnya.
Ayah dari empat putra dan empat putri itu menambahkan, waktu itu, istrinya (sudah dipanggil Tuhan setahun lalu) amat senang menerima sewek pemberian sang Jenderal. Saking seringnya dipakai, sewek itupun akhirnya rusak, sehingga kini Djuwari hanya tinggal mewariskan cerita kisahnya mengikuti gerilya.
“Pak Dirman pesen, urip kuwi kudu seng rukun, karo tonggo teparo, sak desa kudu rukun kabeh,” katanya.
Soedirman Selalu Hargai dan Perhatikan Pendapat Orang
Putra bungsu Panglima Besar Jenderap Soedirman Ir M.Teguh Soedirman.saat diwawancara Republika di ruang tamu rumah keluarga besar Soedirman, Jalan Timoho 33 Yogyakarta (Foto: Republika/Neni Ridarineni)
Sejak kecil Soedirman mempunyai kepribadian yang kuat. Eyang dari Soedirman ( ayah dari Raden Tjokrosoenarjo ) yang merupakan Patih di Cilacap pernah mengatakan bahwa cucunya bakal menjadi Senopatine perang . Sehingga Soedirman diberi warisan oleh eyangnya berupa iket wulung.
“Jadi sejak kecil Pak Dirman sudah digadang-gadang oleh eyang Pak Dirman dan saya mendapatkan cerita ini dari yang mengasuh Pak Dirman waktu kecil yang bernama Bu Markoyo. Saya sempat bertemu Bu Markoyo di tahun 1970 waktu saya masih mahasiswa. Bu Markoyo juga cerita bahwa Pak Dirman putra kandung dari Tjokrosoenarjo,” ungkap putra bungsu Panglima Besar Jenderal Soedirman uola, Ir. M. Teguh Soedirman, pada Republika.co.id
Walaupun Pak Dirman anak dari seorang asisten wedana, tetapi tidak pernah mengunggul-unggulkan orangtuanya. Dia selalu rendah hati tetapi aktif dalam organisasi seperti Muhammadiyah. Ketika zaman pendudukan Jepang , Soedirman yang menikah di usia 20 tahun (1936), bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air) di Bogor dan begitu tamat pendidikan ia langsung diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya Cilacap. Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu pertempuran melawan pasukan Jepang, Soedirman berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas.Ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V Banyumas dengan pangkat kolonel.
Karena senang membaca sejarah, Soedirman menggunakan sistem yang digunakan oleh raja-raja seperti Sultan Agung dan Diponegoro, seperti sapit urang saat memimpin pertempuran sengit melawan tentara sekutu di Palagan Ambarawa . Sehingga mampu menggiring musuh.
Palagan Ambarawa ini merupakan peperangan terbesar di Indonesia dan diakui bangsa lain karena tidak mendapat bantuan apa-apa. Karena kepiawaiannya, Soedirman diangkat menjadi Panglima Besar Jenderal Soedirman dan pada waktu pemilihan Panglima Jenderal Soedirman secara aklamasi semua komandan divisi menerima Pak Dirman sebagai Panglima Besar Jenderal Soedirman meskipun tidak melalui akademi militer maupun pendidikan lain.
Namun Pak Dirman saat itu tidak langsung menerima. Ia minta pendapat keluarga khususnya Bu Dirman sebagai isterinya dan Nyai Ahmad Dahlan yang waktu itu sebagai sesepuh. Hubungan keluarga Pak Dirman dengan keluarga KH Ahmad Dahlan dekat. Pak Dirman tanya kepada ibu setuju tidak, dan kalau tidak setuju pak Dirman tidak mau ditunjuk sebagai Panglima Besar Jenderal Sudirman. Jawaban ibu, “Ya terserah kalau sudah menjadi kewajiban Mas (red. Soedirman), keluarga mendukung,” cerita Teguh.
Waktu Pak Dirman perang gerilya dalam Agresi militer II Belanda , Pak Dirman minta kerelaan Bu Dirman dan minta sangu. Padahal waktu itu Pak Dirman dalam keadaan sakit dan Presiden Soekarno meminta ia tinggal di kota Yogyakarta.
“Ibu memberikan semua harta emasnya . Semula Pak Dirman tidak mau karena harta emas itu milik isterinya. Tetapi kata ibu, “Apa yang saya miliki juga menjadi milik Mas. Apalagi Mas dalam kondisi sakit, dan di medan perang perlu banyak kebutuhan,”” cerita Teguh.
Sumber: https://republika.co.id/berita/plzszv354/soedirman-selalu-hargai-dan-perhatikan-pendapat-orang