
HOS Tjokroaminoto: Sahabat Dekat Musuh Jauh
Tjokroaminoto menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Ambisius dan bertangan besi.
Siapa membayangkan kekuasaan Samanhoedie di Sarekat Islam ternyata lebih singkat ketimbang masa merintis perkumpulan itu? Malam sebelum kongres di Yogyakarta, 17 April 1914, Samanhoedi mengumumkan niatnya tetap menjabat ketua. Yakin bakal mulus, keinginannya justru dicela Dwidjosewojo, orang Boedi Oetomo yang juga anggota SI.
“Kalau cinta SI, kenapa tidak menyerahkan kepengurusannya kepada generasi muda…?”demikian Safrizal Rambe menggambarkan kata-kata Dwidjojosewojo dalam bukunya, Sarekat Islam. Pertemuan yang dihadiri 147 wakil dari 81 aldeling SI itu mendadak riuh. Hasan Djajadiningrat, wakil SI Serang menyodorkan jalan tengah : Samanhoedi menjabat ketua kehormatan.
Menurut A.P.E. KOrver, penulis Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?, Samanhoedi semula menerima jabatan itu dengan senang hati. Ia tak sadar, menjadi ketua kehormatan berarti tak bisa ikut pemilihan ketua. Hasil akhir pemilihan kedmudian sudah bisa ditebak. Tjokroaminoto, orang kedua SI kala itu, melenggang ke kursi ketua tanpa pesaing.
Setelah menjabat ketua, Tjokro benar-benar merombak Central Sarekat Islam. Semua pemimpin SI Surakarta dari masa Rekso Roemekso dihabisi, kecuali Abdoelfatah, bendahara SI sebelumnya, yang ada periode kali ini diberi jabatan komisaris. Jabtaan ketua kehormatan yang disandang Samanhoedi sama sekali tak ada artinya.
Kursi yang lowong diberikan kepada muka-muka baru: Achmad Sjazili dari SI Madura, Djojosoediro ( Malang), Soerjodipoetro ( Bondowoso), dan Soerjopranoto ( Wonosobo). Mereka berada di kubu Tjokro ketika ia dan Samanhoedi mulai berselisih.
Cerita Tjokro menyingkirkan “musuh-musuh”-nya bukan kali itu saja. Takashi Shiraishi mencatat dalam bukunya, Zaman Bergerak, delapan bulan sebelum kongres, pada Agustus 1913, ia memaksa Hasan Ali Soerati mundur dari Setia Oesaha-Perusahaan patuangan para pedagang Arab yang separuh modalnya, 25 ribu, dari kantong Soerati. Tjokro membeli saham perusahaan itu, dimodali pedagang Arab yang anti-Soerati. Dengan saham mayoritas, ia menjadi direktur.
Kudeta itu bukan tanpa persiapan. Tanpa disadari Soerati, Tjokro menggalang penyongkongnya. Di Setia Oesaha, juga SI Surabaya, ia mengumpulkan orang-orang dekatnya. SElain membreikan jabatan, ia member merak penghasilan.
Tjokrosoedarmo yang pertama-tama bergabung. Ia juru tulis di sebuah kantor notaries milik orang BElanda. Dalam kongres di Surakarta, ia terpilih sebagai salah satu komisaris. Tahun-tahun berikutnya ia selalu duduk di kepengurusan SI pusat.
Tak lama setelah Tjokrosoedarmo bergabung dengan Tjokroaminoto, Adiwidjojo. Achmad, Sosrokardono, dan Brotosoehardjo menyusul. Adiwidjojo diberi jabatan Sekretaris Jenderal Setia Pesaha, sekaligus Sekretaris SI Surabaya. Di SI pusat, ia menjabat Ketua Departemen Jawa Timur. Achmad, teman sekelas Tjokro di OSVIA Magelang, dijadikan Ketua SI Surabaya pada pertengahan 1913.
Sosrokardono juga tetap menjadi salah satu tangan kanan Tjokro hingga bertahun tahun kemudian. Sebelum kongres di Yogyakarta, Tjokro mengutusnya untuk mengawas afdeling-afdeling SI di Pekalongan dan Sukaraja. Ini pula cara dia menggerus pengaruh Samanhoedi di Jawa Tengah.Untuk memastikan Oetoesa Hindia tetap di tangannya,ini menempatkan Brotosoehardjo sebagai redaktur.
Nepotisme ini bukannya tak penah dipersoalkan. Tondokoesoemo dan Sosrokoernio, ketua dan wakil ketua SI Surabaya, sekali waktu menanyakan masalah ini. Merasa terganggu, Tjokro dan orang-orangnya balik menyerang mereka dalam setiap rapat. Belakangan, keduanya bahkan dituduh menggelapkan uang organisasi. Mereka dicopot dan dipindahkan ke Surakarta.
Setahun sebelum wafat, Tjokro juga menyingkirkan Soekiman dan Soerjodipoetro, anggota senior SI yang menudingnya menyelewengkan uang Persatuan Pegawai Pegadaian Hindia, seikat buruh yang meraka ikuti.Alih-alih menyangkal tudingan, Tjokro malah menekan kongres SI- ynag telah berubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia-untuk memecat mereka.
Sumber: Majalah Tempo