Cara Ahmad Dahlan Memuliakan Perempuan
“Apakah tidak malu jika aurat kalian dilihat oleh kaum lelaki?” tanya Kiai Haji Ahmad Dahlan di hadapan anak-anak perempuan didikan Muhammadiyah pada suatu kali. Yang ditanya menjawab serempak bahwa mereka akan sangat malu apabila itu yang terjadi.
Sang kiai pun berkata, “Jika malu, mengapa ketika kalian sakit lalu pergi ke dokter laki-laki? Apalagi ketika hendak melahirkan anak. Jika kalian memang benar-benar malu, hendaknya terus belajar dan belajar dan jadilah dokter, sehingga akan ada dokter perempuan untuk kaum perempuan.”
Fragmen yang dikutip dari buku Pesan & Kisah Kiai Ahmad Dahlan dalam Hikmah Muhammadiyah (2007) karya Abdul Munir Mulkhan itu hanya secuil dari jejak-langkah sang pencerah dalam upayanya untuk memuliakan serta menaikkan harkat dan martabat kaum wanita di Indonesia.
Ahmad Dahlan, sang kiai pendiri Muhammadiyah yang hingga kini masih eksis sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di tanah air, adalah salah satu dari sedikit ulama terkemuka di awal abad ke-20 yang sangat memperhatikan kepentingan perempuan, melalui berbagai daya dan upayanya.
Jauh sebelum isu kesetaraan jender atau feminisme berkembang di tanah air, Ahmad Dahlan sudah bekerja untuk menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang setara dengan pria meskipun dengan tugas yang berbeda (Abdul Munir Mulkhan, Kiai Ahmad Dahlan: Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan, 2010:286).
Salah satu bukti bahwa Ahmad Dahlan tidak menjadikan perbedaan jenis kelamin sebagai masalah terlihat dalam penempatan daftar pendakwah Muhammadiyah yang tidak melulu didominasi oleh kaum lelaki. Boleh dibilang, ini merupakan gebrakan baru pada dekade kedua abad ke-20 itu di mana juru dakwah perempuan masih sangat sedikit jumlahnya.
Mendirikan Muhammadiyah sekaligus Aisyiyah
Sejak awal mendirikan Muhammadiyah di Yogyakarta pada 18 November 1912, Ahmad Dahlan memposisikan perempuan sebagai pilar penting untuk menyokong organisasinya itu. Itulah kemudian, Ahmad Dahlan dan istrinya, Siti Walidah, membentuk Aisyiyah pada 1914 sebagai wadah pergerakan perempuan Muhammadiyah.
Aisyiyah digagas bukan untuk membedakan posisi antara laki-laki dan perempuan. Ahmad Dahlan justru menyadari bahwa Muhammadiyah sangat memerlukan peran kaum hawa. Aisyiyah menjadi tangan Muhammadiyah untuk merespons isu-isu perempuan dan sekaligus memberdayakannya melalui jalur pendidikan dan pelayanan sosial (Arief Subhan, dkk., Citra Perempuan dalam Islam, 2003:7).
Ahmad Dahlan sering terjun langsung di berbagai kegiatan Aisyiyah. Begitu pula sebaliknya, tidak sedikit tokoh perempuan yang dilibatkan dalam kerja-kerja Muhammadiyah, termasuk untuk hal-hal yang pada saat itu masih dianggap kurang elok jika dilakukan oleh kaum wanita.
Bersama Aisyiyah, Ahmad Dahlan memobilisasi kaum wanita untuk memasuki peradaban modern, termasuk menjadi pelopor bermunculannya juru dakwah perempuan atau muballighah yang sebelumnya masih teramat langka.
Aisyiyah menjadi salah satu warisan Ahmad Dahlan yang paling berharga, tentu saja juga dengan peran krusial sang istri, Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan. Hingga tahun 1938, Aisyiyah telah menghasilkan lebih dari 2.000 orang muballighah dan mengelola banyak sekali sekolah perempuan (Peacock, James, Purifying the Faith: The Muhammadiyah Movement in Indonesian Islam, 1978).
Mempraktikkan Poligami
Di sisi lain, selayaknya manusia, Ahmad Dahlan bisa saja melakukan hal yang tak sepenuhnya dimaklumi oleh semua pihak. Salah satunya adalah poligami. Ya, Ahmad Dahlan memiliki lebih dari satu istri meskipun yang bertahan hingga akhir hayatnya hanya Siti Walidah seorang.
Tiga perempuan lainnya yang pernah dinikahi oleh Ahmad Dahlan adalah Ray Soetidjah Windyaningrum dari internal kraton, Nyai Rum yang merupakan anak perempuan tokoh pesantren Krapyak, dan Nyai Aisyah, wanita asal Cianjur yang dinikahi Ahmad Dahlan atas permintaan ayah perempuan itu sendiri.
Ahmad Dahlan tentunya punya pertimbangan matang sebelum memutuskan menikah lagi. Selain sudah disetujui oleh Siti Walidah selaku istri tertua, ketiga pernikahan dilakukan atas dasar dakwah sekaligus sebagai bentuk penghargaan terhadap permintaan orang-orang yang ia hormati.
Keturunan Ahmad Dahlan sendiri sudah mengklarifikasi terkait praktik poligami yang dilakukan oleh sang pencerah itu, salah satunya adalah Widiyastuti melalui tulisan panjangnya yang berjudul Kenangan Keluarga Terhadap KHA Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan (2010). Widiyastuti adalah generasi ketiga Ahmad Dahlan dari Siti Walidah.
Semua kiprah Ahmad Dahlan untuk memuliakan perempuan sangat mungkin dianggap nisbi lantaran poligami itu. Tapi, itulah fakta sejarah. Yang jelas, ia mampu menjaga keutuhan rumah tangganya dengan Siti Walidah hingga wafat pada 23 Februari 1923, tepat hari ini 95 tahun lalu. Barangkali bagi sang kiai, memuliakan wanita juga bisa dilakukan dengan cara menikahinya.
Sumber: https://tirto.id/cara-ahmad-dahlan-memuliakan-perempuan-cjxg