Tuanku Tambusai
Perjuangan Tuanku Tambusai tidak dapat dilepaskan dari perjuangan penduduk pedalaman Sumatera Tengah untuk melawan Belanda. Dalam perjuangan itu, bekerjasama dengan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Rao, perjuangan Tuanku Tambusai di bagian utara khususnya di sekitar daerah hulu Sungai Rokan, memungkinkan Tuanku Imam Bonjol dapat bertahan untuk waktu yang relatif lama. Dapat dikatakan bahwa Tuanku Tambusai merupakan penyangga yang kuat bagi pertahanan Bonjol. Dalam perjuangannya melawan kekuasaan Belanda, Tuanku Tambusai berhasil menggabungkan tiga etnis, yakni Mandailing, Melayu, dan Minangkabau. Wilayah perjuangannya meliputi daerah yang termasuk tiga provinsi yang sekarang menjadi provinsi Riau, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara.
Berpusat di Provinsi Riau, perjuangan Tuanku Tambusai berhasil mencegah meluasnya kekuasaan Belanda ke pedalaman Riau. Dengan demikian telah menghalangi usaha Belanda untuk mengalirkan komoditi daerah pedalaman ke pesisir barat. Sementara daerah yang dikuasai Belanda dan mengeksploitas dengan penanaman wajib (cultuur stelsel). Berarti sampai akhir 1838 Tuanku Tambusai berhasil mencegah ambisi politik dan ambisi ekonomi Belanda. Dalam perjuangannya, Tuanku Tambusai menolak berdamai dengan pihak Belanda. Prinsip tetap dipertahankan walaupun posisinya sudah sangat kritis.
Tuanku Tambusai juga salah seorang tokoh utama perlawanan Padri. Dalam buku Perang Padri disebutkan bahwa Desember 1838 merupakan akhir Perang Padri. Hal ini berarti bahwa Benteng Dalu Dalu dan Tuanku Tambusai merupakan benteng yang kokoh dan pertahanan terakhir Padri.
Nilai Kepribadian Luhur yang Dimiliki
Tuanku Tambusai merupakan tokoh pejuang yang konsekuen, tangguh, dan ditakuti pihak lawan serta dihormati oleh pihak kawan. Dia berjuang mempertahankan Indonesia dari kolonialisme Belanda. Meskipun perjuangannya belum berhasil, namun semangat dan tekad untuk mempertahankan kemerdekaan dan meninggikan derajat bangsa tetap menyala.
Menelusuri Makam Tuanku Tambusai di Seremban, Malaysia
Catatan : Dahlan Batubara (Pemimpin Redaksi Mandailing Online)
Makam Tuanku Tambusai berkolasi di komplek pemakaman Muslim di satu perbukitan Seremban, Malaysia
Bukit itu bukan perbukitan besar, melainkan bentangan bukit kecil yang tidak terlalu tinggi. Diapit oleh Jl. Rasah dan Jl. Tok Ungku dan Sungai Batang Benar. Sebuah perbukitan di Seremban, Negeri Sembilan, Malaysia.
Di atas bukit inilah berada makam Tuanku Tambusai, salah satu pahlawan nasional Republik Indonesia yang wafat di luar negeri. Komplek pemakaman itu memiliki banyak makam.
Penelusuran makam Tuanku Tambusai ini merupakan liputan jurnal untuk Mandailing Online di kawasan Malaysia, termasuk liputan terhadap keberadaan kampung-kampung yang berbahasa Mandailing di negara jiran itu.
Saya dan rombongan terdiri dari Ramli Bin Abdul Karim Hasibuan (warga Malaysia yang berprofesi redaktur di surat kabar Utusan Malaysia; Sulaiman Nasution (warga Malaysia yang berprofesi pemandu perjalanan); Imam Syafrin (warga Malaysia, ayahnya melayu, ibunya boru Hasibuan, berprofesi konsultan listrik); Bayo Hasibuan dan istrinya (warga Palembang perantau asal tanah Mandailing).
Plang merek penunjuk arah menuju makam Tuanku Tambusai
Kami tiba di bukit itu pada hari Minggu 13 Maret 2016. Sebelumnya, pada November 2015 saya sudah diperlihatkan lokasi bukit itu oleh teman-teman di Malaysia ketika saya berkunjung kali pertama ke Negeri Sembilan, hanya saja ketika itu saya tak memiliki banyak waktu sehingga baru pada Maret 2016 saya memiliki rezeki waktu memasuki bukit itu.
Jalan masuk ke lokasi makam itu dari taman (komplek perumahan) Happy, karena bukit itu berada di belakang komplek perumahan tersebut. Kelebaran jalan aspal sangat menyamankan kenderaan roda empat yang kami tumpangi menuju komplek pemakaman meski jalannya agak mendaki. Jaraknya sekitar 200 meter dari komplek perumahan.
Makam Tuanku Tambuasi berbeda dengan makam lainnya, sebab makam Taunku Tambusai dikelilingi oleh pagar dengan hamparan lantai semen di kiri kanan makam.
Di depan makam itu terdapat satu prasasti berlambang Garuda, lambang Negara Republik Indonesia. Di bawah Garuda tertulis Tuanku Tambusai 1784 – 1882 Pahlawan Nasional Indonesia (Keputusan Presiden RI No.071/PK/1995) Mahaputra Adhi Pradana, Wafat dan Dimakamkan Di Seremban, Negeri Sembilan, Malaysia.
Prasasti ini memperkuat keterangan warga setempat kepada saya yang menyatakan bahwa makam Tuanku Tambuasi itu dipelihara oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui duta besar di Malaysia.
Jalan Tok Ungku dan keberadaan Sungai Batang Benar yang mengapit perbukitan itu ternyata memiliki kaitan dengan Tuanku Tambusai.
Prasasti di luar pagar makam Tuanku Tambusai
Berdasar keterangan penduduk setempat, bahwa pada era 1800-an penduduk Semenanjung (sekarang Malaysia) memanggil Tuangku Tambusai dengan sebutan Tok Ungku. Itu sebabnya pemerintah Malaysia menabalkan ruas jalan di sebelah bentangan bukit itu dengan nama Jalan Tok Ungku sebagai penghormatan Pemerintah Malaysia kepada Tuanku Tambusai.
Sementara Sungai Batang Benar yang membentang di sisi kaki bukit, oleh keterangan penduduk setempat, juga memiliki kaitan dengan sejarah perjalanan Tuanku Tambuasi dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda di kawasan Sumatera Timur.
Jalur Sungai Batang Benar ini, oleh cerita penduduk setempat, disebut sebagai jalur perjalanan yang ditempuh Tuanku Tambusai dan rombongannya. Sebab sungai ini memiliki muara ke sungai lainnya yang bermuara ke Selat Malaka di kawasan Malaka, titik garis pantai yang berhadapan dengan kawasan Dumai di Sumatera.
Jalur ini yang diyakini menjadi jalur Tuanku Tambusai, sebab kawasan Dalu-dalu, Tambusai dan Padang Lawas merupakan kawasan yang dekat ke pantai Selat Malaka di titik Dumai dan Tanjung Balai. Apalagi pada masa 1800-an mobilisasi manusia masih memakai jalur sungai dan laut karena jalan darat belum seperti sekarang ini.
Mengapa makam Tuanku Tambusai berlokasi di Negeri Sembilan, juga diyakini memiliki kaitan dengan keberadaan kaum Mandailing dan Minang di kawasan itu. Sebab Negeri Sembilan merupakan negeri yang berada dibawah kekuasaan raja-raja Minang serta sejumlah pemukiman kaum Mandailing. Sebab, negeri tetangganya yakni Negeri Selangor adalah negeri yang dikuasai kaum Bugis. Apalagi setelah kekalahan kaum Mandailing di Muara Bustak (Kuala Lumpur) yang bertempur dengan gabungan kaum Bugis, Cina yang dimotori penjajah Inggeris telah menimbulkan kevakuman aktivitas kaum Mandailing di Muara Bustak.
Jalan Tok Ungku salah satu ruas jalan tak jauh dari perbukitan lokasi makam Tuanku Tambusai
Meski pemukiman kaum Mandailing juga ada di Negeri Perak dan Kedah, tetapi Tuanku Tambusai diyakini lebih memilih Negeri Sembilan sebagai basis pergerakan ketika mengundurkan diri Sumatera Timur pasca kekalahan perang dengan Belanda. Sebab Negeri Sembilan yang berada di bawah kekuasaan kaum Minang dan adanya beberapa pemukiman kaum Mandailing menyebabkan Tuanku Tambusai lebih menyatu di Negeri Sembilan ini.
Hipotesa itu berdasar darah dan lingkungan yang mengelilingi Tuanku Tambusai selama di Sumatera. Berdasar data Wikipedia dan catatan-catatan para sejarahwan, Tuanku Tambuasi itu berdarah Mandailing marga Harahap. Beliau lahir di Dalu-dalu dengan nama Muhammad Saleh. Dalu-dalu sekarang secara administratif masuk ke dalam wilayah Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau. Ayahnya berasal dari Rambah dan merupakan seorang guru agama Islam keturunan Mandailing bermarga Harahap; ibunya berasal dari Tambusai yang bersuku Kandang Kopuh.
Tuanku Tambusai pergi belajar ke Bonjol (Minang) dan Rao di Sumatera Barat. Disana ia banyak belajar dengan ulama-ulama Islam yang berpaham Paderi, hingga dia mendapatkan gelar fakih. Ajaran Paderi begitu memikat dirinya, sehingga ajaran ini disebarkan pula di tanah kelahirannya. Di sini ajarannya dengan cepat diterima luas oleh masyarakat, sehingga ia banyak mendapatkan pengikut. Semangatnya sangat tinggi untuk menyebarkan dan melakukan pemurnian Islam di tanah Mandailing.
Ramli Bin Abdul Karim Hasibuan dan Imam Syafrin memperhatika makam Tuanku Tambusai
Perjuangannya melawan penjajahan Belanda dimulai di daerah Rokan Hulu dan sekitarnya dengan pusat di Benteng Dalu-dalu. Kemudian ia melanjutkan perlawanan ke wilayah Natal pada tahun 1823. Tahun 1824, ia memimpin pasukan gabungan Dalu-dalu, Lubuksikaping, Mandailing dan Natal untuk melawan Belanda. Dia sempat menunaikan ibadah haji dan juga diminta oleh Tuanku Imam Bonjol untuk mempelajari perkembangan Islam di Tanah Arab.
Dalam kurun waktu 15 tahun, Tuanku Tambusai cukup merepotkan pasukan Belanda, sehingga sering meminta bantuan pasukan dari Batavia. Berkat kecerdikannya, benteng Belanda Fort Amerongen dapat dihancurkan. Bonjol yang telah jatuh ke tangan Belanda dapat direbut kembali walaupun tidak bertahan lama. Oleh Belanda ia digelari “De Padrische Tijger van Rokan” (Harimau Paderi dari Rokan) karena amat sulit dikalahkan, tidak pernah menyerah, dan tidak mau berdamai dengan Belanda. Keteguhan sikapnya diperlihatkan dengan menolak ajakan Kolonel Elout untuk berdamai. Pada tanggal 28 Desember 1838, benteng Dalu-dalu jatuh ke tangan Belanda. Lewat pintu rahasia, ia meloloskan diri dari kepungan Belanda dan sekutu-sekutunya. Ia mengungsi ke Seremban, Negeri Sembilan, Malaysia. Beliau wafat pada tanggal 12 November 1882.
Karena jasa-jasanya menentang penjajahan Hindia-Belanda, pada tahun 1995 pemerintah mengangkatnya sebagai pahlawan nasional.***