Tan Malaka
Ketika Sekolah Guru Haarlem di Belanda, Tan Malaka menonjol dalam ilmu pasti sehingga dipuji gurunya. Tan Malaka menaruh perhatian terhadap kemiliteran. Bersamaan dengan pecahnya Revolusi Rusia (1917), Tan Malaka makin berminat pada Marx dan Engels, sehingga sering mengikuti berbagai pembicaraan politik kaum kiri di Amsterdam.
Tan Malaka ikut dalam diskusi terbuka antara Sneevliet dan Suwardi tentang “Kecenderungan nasionalis dan sosialis dalam pergerakan nasional Hindia” di Amsterdam (1919). Setelah kembali ke Indonesia (1919), Tan Malaka terus berhubungan melalui surat-menyurat dengan rekan-rekannya di Belanda. Tan Malaka mulai menulis artikel antara lain di surat kabar berbahasa Belanda, Bolschevick Het Vrije Woord terbit di Semarang. Tan Malaka menulis brosur berjudul Sovyet atau Parlemen. Pandangan tentang kedua bentuk pemerintahan tersebut dimuat di majalah Soeara Ra’jat.
Ketika ISDV (Perserikatan Demokrasi Sosial Hindia) ingin mengganti nama (1920), Tan Malaka mengusulkan nama “Partai Nasional Revolusioner Indonesia” tetapi ditolak oleh Semaoen yang tetap menginginkan “Perserikatan Komunis”. Sebagai ketua PKI, mengembangkan cabang PKI di daerah dann mengecap pemerintah kolonial yang menindas para buruh.
Tahun 1922, Tan diitangkap Belanda kemudian minta untuk diasingkan ke Belanda, setelah itu ke Moskow. Tahun 1925 ketika di Cina, Tan Malaka menulis buku kecil berjudul Nar de “Republick Indonesia” yang dicetak di Kanton. Melalui bukunya itu, Tan Malaka mengajak kaum cendekiawan Indonesia untuk berjuang menuju kemerdekaan Indonesia dan peka terhadap hati nurani rakyat. Kemudian Tan Malaka menulis buku “Madilog” (Materialisme, Dialektika, Logika) terutama cara berpikir baru untuk memerangi cara berpikir lama yangn dipengaruhi tahayul.
Tahun 1946, Tan Malaka ditangkap dengan tuduhan menggerakkan rakyat menentang persetujuan Linggarjati dan terlibat dalam peristiwa 3 Juli 1946 peristiwa kudeta terhadap pemerintahan, tetapi pengadilan menyatakan Tan Malaka tidak terlibat dan dibebaskan. Ketika mendirikan Partai Murba, Tan Malaka ikut bergerilya dan pada Februari 1949 tewas ditembak tentara RI dan hingga kini, jenazahnya tidak pernah ditemukan.
Nilai Kepribadian Luhur yang Dimiliki
Pemikirannya mengenai Poleksosmil menjadi ciri khasnya. Pemikiran dialektiknya tampak dari sikapnya yang sinis terhadap golongan tua karena mau bekerjasama dengan Belanda dan mengharapkan generasi muda sebagai ujung tombak perjuangan.