Sutomo, Dr
Suatu hari di akhir tahun 1907, dokter pensiunan Wahidin Sudirohusodo singgah di Jakarta, ia sedang melakukan perjalanan ke berbagai daerah dalam rangka mempropagandakan gagasannya tentang pembentukan sebuah badan yang akan menyediakan beasiswa untuk anak-anak Indonesia yang cerdas tetapi tidak mampu membiayai sekolahnya. Gagasan Wahidin itu sudah tersebar agak luas, juga di kalangan pelajar STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen). Dua orang diantara para pelajar itu mendapat kesempatan bertem dan berbicara dengan Wahidin. Mereka sangat tertarik mendengar cita-cita Wahidin, salah seorang di antara pelajar itu mengatakan kepada Wahidin, “Punika satunggiling pedamelan sae sarta nelakaken budi utama” (itu suatu perbuatan baik dan menunjukkan budi yang utama).
Pelajar STOVIA yang mengucapkan kata-kata itu adalah Sutomo yang kemudian terkenal dengan nama Dokter Sutomo. Ia lahir pada tanggal 30 Juli 1888 di desa Ngepeh Nganjuk, Jawa Timur. Waktu lahir ia diberi nama Subroto. Pergantian namanya menjadi Sutomo mempunyai sejarahnya sendiri. Ayahnya R. Suwaji bekerja sebagai wedana di Maospati, Madiun, kemudian pindah bekerja menjadi ajun jaksa di Madiun. Anaknya tersebut disekolahkan pada Sekolah Rendah Bumiputera, kemudian dipindahkan ke Bangil, Jawa Timur agar dapat masuk Sekolah Rendah Belanda (ELS = Europeesche Lagere School). Anak itu ikut pada pamannya, Harjodipuro. Putera pamannyak Sahit berhasil masuk ELS, tetapi Subroto tidak diterima. Pamannya tidak putus asa, esok harinya keponakannya yang ditolak masuk ELS itu dibawanya lagi ke sekolah itu. Tidak dengan nama Subroto tetapi diganti nama menjadi Sutomo. Dengan nama itu ia diterima ELS. Setelah tamat pada ELS, ia mengikuti keinginan ayahnya melanjutkan ke STOVIA.
Di STOVIA pada mulanya ia tidak begitu memperhatikan pelajarannya. Kesenangannya ialah menonton dan makan enak bersama teman-temannya. Barulah pada tahun ketiga sikapnya berubah dan ia pun belajar dengan sungguh-sungguh. Ia lulus dari STOVIA pada tahun 1911.
Tetapi sebelum itu, Sutomo telah melakukan sesuatu yang membuat namanya akan tercatat dalam sejarah bangsanya. Kurang lebih empat bulan sesudah bertemu dengan Dokter Wahidin, ia memimpin pertemuan yang dihadiri oleh para pelajar STOVIA. Sutomo berpidato dengan tenang tanpa emosi, menjelaskan gagasannya secara singkat, terang dan jelas. Pertemuan yang bersejarah itu dilangsungkan di salah satu ruang STOVIA pada tanggal 20 Mei 1908. Dalam pertemuan itu mereka sepakat membentuk sebuah organisasi yang diberi nama “Budi Utomo”. Sutomo dipilih sebagai ketuanya. Organisasi itu adalah organisasi modern pertama yang didirikan di Indonesia. Hari lahirnya, 20 Mei yang kini diperingati sebagai Hari Kebangikitan Nasional, karena ternyata Budi Utomo telah mendorong berdirinya organisasi-organisasi bahkan partai-partai politik di kemudian hari. Gedung STOVIA dimana Budi Utomo lahir sekarang menjadi “Gedung Kebangkitan Nasional”.
Budi Utomo tidak lahir begitu saja dan Sutomo tidak bekerja seorang diri. Bersama Sutomo terdapat nama-nama lain seperti Suraji yang ikut bersama Sutomo menemui Dr. Wahidin, Moh. Saleh, Sarwono, Gunawan, Gumbrek dan Angka yang kelak semuanya menjadi Dokter. Berbulan-bulan lamanya mereka merencanakan pembentukan sebuah organisasi. Mereka pergi dari ruang kelas yang satu ke ruang kelas yang lain di STOVIA untuk memperkenalkan gagasan mendirikan organisasi, dalam kegiatan itu Sutomo lah yang banyak berbicara.
Berdirinya Budi Utomo dapat dianggap sebagai realisasi gagasan Dr. Wahidin. Tetapi jangkaun organisasi itu melebihi dari apa yang dimaksud oleh Wahidin. Budi Utomo tidak hanya ingin memajukan pelajaran, tetapi juga pertanian, pertukangan kayu, kulit dan lain-lain disamping memajukan kebudayaan Jawa serta mempererat persahabatan penduduk Jawa dan Madura.
Di bidang Pendidikan, Budi Utomo bertujuan untuk mendirikan sekolah-sekolah, rumah-rumah sewaan untuk anak-anak sekolah/asrama dan mendirikan perpustakaan-perpustakaan. Untuk merealisasi maksud dan tujuan itu, Sutomo dan kawan-kawannya mengadakan hubungan dengan pelajar-pelajar dari kota-kota lain. Dengan cara demikian berdirilah cabang-cabang Budi Utomo di Bogor, Bandung dan Magelang.
Hubungan didadakan pula dengan orang-orang Indonesia yang menduduki jabatan dalam pemerintahan di daerah-daerah untuk menarik simpati mereka, antara lain dengan Bupati Temanggung, Bupati Jepara, Banten, dan P.A.A. Kusumojudo yang tinggal di Jakarta.
Organisasi yang semula dipimpin oleh anak-anak muda yang idealis ini akhirnya dipimpin oleh golongan tua, sebagai hasil keputusan Kongres yang pertama pada awal Oktober 1908 di Yogyakarta. Dalam kongres itu sudah nampak perbedaan pendapat antara golongan muda yang radikal dengan golongan tua yang terlalu berhati-hati, karena itu gerak organisasi menjadi lamban.
Dalam Kongresnya yang kedua pada bulan Oktober 1909, Sutomo masih Nampak hadir, tetapi setelah itu namanya hampir-hampir tidak disebut-sebut lagi didalam Budi Utomo. Agaknya ia merasa kecewa melihat perkembangan Budi Utomo, karena itu ia lebih memusatkan perhatian kepada pelajaran. Pada tahun 1911, Sutomo berhasil menyelesaikan pendidikannya di STOVIA dan sejak saat itu pula ia berhak memakai gelar Dokter, maka mulailah tugasnya sebagai Dokter. Mula-mula ia ditempatkan di Semearang, tetapi kemudian berpindah-pindah ke tempat-tempat lain seperti Tuban, Lubuk Pakam (Sumatera Timur), Malang, Blora dan Baturaja (Sumatera Selatan). Dalam tahun 1919 ia mendapat kesempatan belajar di negeri Belanda kemudian di Jerman Barat dan Austria.
Sewaktu di negeri Belanda, Sutomo menggabungkan diri ke dalam “Inidsche Vereeniging”, perkumpulan pelajar-pelajar Indonesia yang kemudian berganti nama menjadi “Indonesische Vereniging” dan akhirnya menjadi Perhimpunan Indonesia. Ia pun pernah menjadi ketua organisasi ini, yakni tahun 1920 – 1921.
Sekembalinya dari negeri Belanda, Sutomo bekerja sebagai dosen di NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) di Surabaya. Budi Utomo tidak lagi menarik perhatiannya, walaupun pernah diancam akan dikeluarkan dari STOVIA gara-gara mendirikan organisasi tersebut. Tetapi perhatiannya terhadap perkembangan masyarakat tidak pernah surut. Hanya yang ditempuhnya sekarang berbeda. Ia bermaksud menghimpun golongan terpelajar dan bersama-sama dengan mereka melakukan usaha-usaha yang berguna bagi masyarakat.
Untuk maksud itu pada tanggal 11 Juli 1924, Sutomo mendirikan “Indonesische Studie Club” (ISC). Tujuan ISC ialah mempelajari dan memperhatikan kebutuhan rakyat. Organisasi ini ternyata menarik perhatian kaum terpelajar, bukan saja cendikiawan Indonesia, tetapi juga cendikiawan Belanda, yakni Koch dan Tilleman yang terkenal berpendirian progresif.
Kegiatan dan kedudukan Sutomo dalam masyarakat membawa ia ke jenjang politik praktis. Ia diangkat menjadi anggota Dewa Kota (Gemeen-teraad) Surabaya. Dalam dewan ini ia memperjuangkan nasib rakyat antara lain mengusulkan perbaikan kesehatan dan nasib mereka, tetapi usul-usulnya selalu dikalahkan oleh suara terbanyak yang tidak berorientasi kepada rakyat, tetapi kepada pemerintah kolonial. Ketika usulnya mengenai perbaikan kampung ditolak, sedangkan usul menambah kebersihan dan perbaikan tempat kediaman orang-orang Belanda diterima, Dr. Sutomo langsung meminta berhenti dari keanggotaan Dewan Kota. Ia berpikir tidak ada gunanya bekerja di dewan yang hanya menjadi alat kolonial itu. Langkah Dr. Sutomo diikuti pula cara teman-temannya; RH. M. Suyono, M. Sunjoto dan Asmowinangun.
Perhatiannya terhadap ISC tidak pernah ditinggalkannya. Berkat pimpinannya, organisasi ini giat melakukan usaha-usaha yang berguna di bidang ekonomi dan sosial. Bersama teman-teman lain, Dr. Sutomo memprakarsai berdirinya Bank Bumiputera yang dalam tahun 1929 menjadi Bank Nasional. Selain itu didirikan pula Yayasan Gedung Nasional (GNI) yang langsung dipimpin oleh Dr. Sutomo. Gedung ini didirikan secara gotong-royong berupa bantuan dari segala lapisan masyarakat, pegawai negeri, swasta buruh, pedagang, petani, nelayan, bahkan seniman dan seniwati yang tergabung dalam ludruk Cak Durasin pun ikut menyumbangkan tenaga.
Pada tanggal 11 Oktober 1930 ISC berkembang menjadi partai, yakni “Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) yang langsung diketuai oleh Dr. Sutomo, partai ini berhaluan diketuai oleh Dr. Sutomo, partai ini berhaluan moderat dan cepat sekali berkembang, terutama di daerah Jawa Timur. Dengan terbentuknya partai ini maka kegiatan di bidang sosial ekonomi semakin menonjol. Hasil-hasilnya dapat dilihat dengan berdirinya Rukun Tani, Rukun Pelayaran, Serikat Buruh, Koperasi, Bank Kredit, Pemeliharaan Yatim Piatu, Pemberantasan Pengangguran dan lain-lain. Di bidang Pengajaran; merencanakan Sekolah Taman Kanak-Kanak, mengusahakan bacaan untuk anak-anak SD, pemberantasan buta huruf dan lain-lain. Di bidang politik dan pers; memberikan kursus-kursu politik, kursus kader dan lain-lain, menerbitkan surat kabar harian (Soeara Oemoem) dan mingguan Penyebar Semangat. Dapat dikatakan kegiatan PBI meliputi semua kebutuhan manusia Indonesia lahir dan bathin untuk dapat mencapai tujuan memuliakan nusa dan bangsa Indonesia. Pedomannya “Kebenaran dan Keadilan dengan bekerja atas dasar cinta kepada nusa dan bangsa Indonesia”.
Sebelum berkembang menjadi PBI, terlebih dahulu ISC sudah menggabungkan diri ke dalam PPPKI (Pemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) yang dibentuk pada tanggal 17 Desember 1927. Di dalam Kongres PPPKI yang pertama tanggal 30 Agustus – 2 September 1930, Dr. Sutomo dipilih menjadi ketua dengan sekretaris Ir. Anwari. Kemudian dalam kongresnya bulan Maret 1932, Ketua/Sekretaris di Surabaya dipindahkan ke Jakarta dengan Ketua M.H. Thamrin dan Sekretaris Otto Iskandardinata. Pada bulan Desember 1933 Kongres Indonesia Raya di Sala yang diselenggarakan oleh PPPKI dilarang, karena Partindo pimpinan Ir. Soekarno dan Mr. Sartono yang dinyatakan sebagai partai terlarang adalah anggota PPPKI. Pembatalan itu diberikan oleh penguasa hanya beberapa hari sebelum kongres. Pemimpin – pemimpin partai sudah hadir di Sala, termasuk Dr. Sutomo. Kesempatan itu oleh Dr. Sutomo dimanfaatkan dengan mengadakan penjajakan kepada “Budi Utomo” pimpinan K.R.M.H. Wuryaningrat untuk berfusi dengan Persatuan Bangsa Indonesia Fusi Budi Utomo – Persatuan Bangsa Indonesia terlaksana dalam bulan Desember 1935 dan berganti nama menjadi “Partai Indonesia Raya” (Parindra).
Dokter Sutomo terpilih menjadi Ketua dengan wakil ketuanya K.R.M.H. Wuryaningrat. Kegiatan Dr. Sutomo di dalam Parindra meningkat, baik di bidang politik maupun di bidang sosial ekonomi. Haluan partai tetap moderat dan membenarkan anggota-anggotanya duduk di dalam Dewan-dewan, M.H. Thamrin, Sukarjo Wiryopranoto, Otto Iskandardinata, RJP, Suroso adalah anggota Parindra yang duduk di dalam Volksraad (Dewan Rakyat).
Sebagai Dokter, Sutomo penuh perikemanusiaan, ia tidak menetapkan tarif pembayaran penderita, kecuali mempersilahkan siapa saja yang berobat untuk mengisi kotak yang sudah tersedia. Rakyat kecil yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran, bahkan seringkali diberinya uang untuk ongkos pulang. Dalam hal perikemanusiaan, ia tidak membeda-bedakan bangsa apa saja, sedang dalam tugas politiknya ia gigih berjuang mencapai kemuliaan tanah air dan bangsanya dengan tidak segan-segan menentang penguasa kolonial.
Sutomo mempunyai banyak kawan disegala golongan dan lapisan masyarakat. Kawan dekatnya di golongan gama adalah Kyai Haji Mas Mansur. Karena persahabatan itu Sutomo banyak membantu Muhammdiyah Jawa Timur yang dipimpin oleh K.H. Mas Mansur dengan mendirikan poliklinik dan sebagainya. Isterinya, seorang wanita Belanda, dicintai sepenuh jiwanya. Karena isteri itu sakit-sakitan, maka didirikanlah rumah untuknya di Claket di lereng pegunungan Penanggungan, daerah Malang. Segala sesuatu dilakukannya untuk menyembuhkan isterinya namun tidak berhasil.
Pada tanggal 17 Februari 1934, Sutomo mendapat musibah; isterinya meninggal dunia. Musibah itu dirasakan berat oleh Dr. Sutomo seperti ia lukiskan dalam bukunya “Kenang-Kenangan”. Empat tahun kemudia, Sutomo jatuh sakit dan baru sekali itu ia sakit sejak masa dewasanya. Sakitnya makin hari makin parah dan jiwanya tidak tertolong. Pada tanggal 30 Mei 1938 pukul 16.15, Dr. Sutomo pulang ke Rahmatullah.
Jenazahnya dikebumikan di belakang “Gedung Nasional Indonesia”, Bubutan, Surabaya atas permintaannya sendiri. Seorang yang berjiwa besar dan banyak sekali jasanya kepada bangsa dan tanah air Indonesia serta perikemanusiaan, Dr. Sutomo telah pergi untuk selama-lamanya.