Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro yang diberi nama kanak-kanak Bendoro Raden Mas Mustahar, lahir di keraton Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785, tepat menjelang fajar. Beliau wafat di dalam tembok benteng Speelman, Fort Rotterdam, Makasar pada tanggal 8 Januari 1855 pagi hari setelah matahari terbit dan dimakamkan di pemakaman umum Kampung Melayu, Makasar. Ayahanda Pangeran Diponegoro adalah putera sulung Sultan Hamengkubuwono II dan Ibunda beliau adalah Raden Ayu Mangkurowati (wafat tanggal 7 Oktober 1852). Sejak kecil Pangeran Diponegoro diasuh oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng atau sering disebut Ratu Ageng Tegalrejo (wafat 17 Oktober 1803), Permaisuri Hamengkubuwono I, pendiri kerajaan Yogyakarta yang menetap di Tegalrejo. Berkat perempuan bijaksana tersebut, Pangeran Diponegoro tumbuh menjadi orang alim, sederhana, dan dekat dengan rakyat.
Perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda dipicu dengan perampasan lahan Pangeran Diponegoro di Tegalrejo sehingga menimbulkan situasi panas dan melibatkan penduduk setempat serta para petani penggarap lahan Diponegoro juga turut membela Diponegoro. Konflik terbuka menimbulkan pertempuran sengit sehingga kediaman Pangeran Diponegoro di Tegalrejo dibakar oleh Belanda. Pangeran Diponegoro bersama-sama dengan sebagian besar pengikutnya menyingkir ke Selarong. Di sana, pada Kamis 21 Juli 1825, dekat gua tempat Pangeran Diponegoro sering bersemedi, mereka menancapkan panji-panji pemberontakan. Genderang Perang Jawa pun dimulai. Sejak itu Belanda terus memburu Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya selama hampir lima tahun.
Perang Jawa meupakan peristiwa pemberontakan terbesar masyarakat Jawa terhadap penguasa kolonial. Dampak pemberontakan tersebut dirasakan oleh sekitar 2.000.000 penduduk, sepertiga dari total penduduk pulau itu. Di dalam peperangan tersebut, Belanda telah kehilangan 8.000 serdadu bangsa Eropa dan 7.000 serdadu bantuan lokal serta menguras dana sebesar 25 juta gulden.
Pada tanggal 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda yang penuh khianat dan curang di Magelang, lalu dibuang ke pengasingan. Setelah ditangkap, Pangeran Diponegoro pertama-tama dikirim ke Semarang (29 Maret – 5 April 1830), kemudian ke Batavia (8 April – 3 Mei 1830), Manado (13 Juni 1830 – 20 Juni 1833), dan akhirnya Makasar (20 Juni 1833 – 8 Januari 1855) sampai beliau wafat didampingi oleh istri Raden Ayu Retnoningsih dan anak-anaknya.
Sejarah Diponegoro bisa dibaca dari tulisan beliau sendiri dalam Babad Diponegoro ketika dalam pembuangan di Manado dan telah diakui sebagai manuskrip bersejarah Memory of the world oleh Unesco.
Kepustakaan:
Carey, Peter. Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855. Jakarta, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2012.
Carey, Peter. Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, 1785-1855. Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2014.
http://diponegoro.pahlawan.perpusnas.go.id/home/