Monseigneur Albertus Sugijopranoto, SJ
Tahun 1909 gereja Katolik di Muntilann Jawa Tengah membuke kolese sebagai persiapanmurid untuk Sekolah Guru. Seorang anak Indonesia berumur 13 tahun mengikuti kolese dikatakan hanya ingin menjadi guru dan tidak ingin menjadi penganut agama Katolik. 31 tahun kemudian, pada 1940, anak tersebut ditasbihkan sebagai Uskup Agung.
Pada tahun 1919, belajar di Belanda. Sekembalinya ke tanah air, Sugijo ditempatkan di Muntilan sebagai guru ilmu pasti, Bahasa Jawa, dan agama di Kweekschool. Di Muntilan diterbitkan majalah mingguan bahasa Jawa bernama “Swara Tama” dan Frater Sugijo sering menampilkan tulisan segar dan enak dibaca. Tahun 1929, Sugijo bersama empat orang rekannya dari Asia diperkenankan menghadap Paus Pius XI di Vatikan, Roma. Kunjungan itu mengesankan Sugijo dan mengilhami tulisannya berjudul “Hubungan Timur dan Barat”.
Pada 15 Agustus 1951, Frater Albertus Sugijo ditasbihkan bersama rekannya, Frater Mr. Reksoatmojo. Lima tahun kemudian, dia diserahi untuk melayani gereja di Ganjuran, Bantul. Juga pembimbing berbagai kelompok Konferensi Maria. Selain itu menjabat redaktur mingguan “Swara Tama” dan pada tahun 1938 diangkat menjadi penasehat Misi Sarekat Yesus di Jawa.
Pada 2 Agustus 1940 diangkat menjadi Vikaris Apostolik Semarang dengan gelar MGR (Monseigneur). Sugijopranoto adalah putra Indonesia pertama yang menduduki jabatan tinggi dalam dunia Katolik. Kepercayaan yang diberikan kepadanya merupakan suatu kehormatan bagi pemeluk Katolik Indonesia. Secara tak langsung, Sugijopranoto turut mengangkat derajat bangsa.
Pada 6 November 1940 ditasbihkan sebagai Uskup Agung di Gereja Randusari, Semarang. Ketika Katedral Randusari akan dipakai sebagai kantor pemerintah penguasa Jepang, Sugijo menolak dengan tegas. Kepada Syucokan (Residen Jepang) dikatakan, “Katedral itu barang dan tempat yang disucikan. Saya tidak akan memberi izin. Penggal dulu kepala saya baru tuan boleh memasukinya”.
Oktober 1945 di Semarang, meletus pertempuran dahsyat antara pemuda dengan pasukan jepang yang terkenal dengan nama “Pertempuran Lima Hari di Semarang”. Ketika pertempuran sedang berlangsung, pasukan Inggris mendarat di Semarang untuk melucuti senjat. Seorang komandan Inggris meminta izin Sugijo untuk menggunakan Pastoran Gendangan sebagai tempat perundingan dengan Jepang. Uskup Agung ini mengizinkannya, tetapi mendesak agar segera diadakan gencatan senjata antara pasukan Indonesia dan pasukan Jepang.
Nilai Kepribadian Luhur yang Dimiliki
Uskup Agung yang ahli bahasa dan kebudayaan Jawa ini memasukkan gamelan Jawa ke dalam gereja dengan lagu gerejani dan putra Indonesia yang pertama diangkat sebagai Vikaris Apostilik Semarang. Hidupnya diabdikan pada agama, negara, dan bangsa.