Lambertus Nicodemus Palar
Lambertus Nicodemus palar atau yang dikenal dengan LN Palar merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia khususnya di ranah perjuangan melalui diplomasi. George Mc T. Kahin menyebutnya sosok yang unik sekaligus istimewa bagi Indonesia. LN Palar yang dikenalnya merupakan sosok yang sangat membumi meski menduduki sejumlah jabatan penting dalam perjalanan karir diplomatnya. LN Palar dilahirkan di Rurukan, Tomohon, Sulawesi Utara pada 5 Juni 1900 dari pasangan Gerrit Palar dan jacoba Lumanauw. Riwayat pendidikan diawali di Kota Tondano. Riwayat pendidikannya diawali dari Meisjes School (1908-1914) di Tomohon, kemudian di Hoofd School (1915-1916) di Tondano.
Setelah itu, ia melanjutkan sekoalhnya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) (1916-1919). Setelah menamatkan pendidikan dasarnya di MULO Tondano, Palar kemudian melanjutkan pendidikan menengahnya di Algemeene Middlebare School (AMS) di Yogyakarta. Selama di Yogyakarta, LN Palar tinggal bersama Sam Ratulangi.
Setamat sekolah menengah, Palar melanjutkan ke sekolah Technische Hooge School (THS) di Bandung pada tahun 1922-1923, namun LN Palar tidak sempat menyelesaikannya karena sakit. Setelah pulih dari sakitnya, Palar kemudian pada 1924 melanjutkan kuliah ke Sekolah Tinggi Hukum (Rechts Hooge School/RHS) di Batavia. Di Batavia inilah Palar mulai aktif dalam pergerakan nasional dengan bergabung dalam Jong Minahasa. Pada 1926-1928, ia melanjutkan pendidikan di Gementelijke Universiteit di Amsterdam sembari bekerja di kota itu.
Aktivitas politiknya diawali di kota tempat ia bekerja dan sekolah, Amsterdam. Pada 1930, Palar aktif menjadi anggota Social Democratische Arbeider Partij (SDAP) setelah dalam kongresnya menyebutkan hak kemerdekaan nasional untuk Hindia Belanda tanpa syarat. Karir organisasinya terus melejit dengan menjabat sebagai sekretaris Komisi Kolonial SDAP dan Nederlands Verbond van Vakverenigingen pada Oktober 1933.
Selain itu, di kedua organisasi tersebut, Palar juga menjabat sebagai direktur Perbureau Indonesia. Melalui lembaga inilah, Palar mengirimkan artikel-artikel tentang sosial demokrasi dari Belanda ke pers di Hindia Belanda. Pada 1938, Palar datang ke Indonesia dan mengunjungi beberapa daerah untuk menghimpun informasi. Dia memperoleh informasi bahwa gerakan kemerdekaan Indonesia sedang giat-giatnya. Sekembalinya di Belanda, ia menuliskan pengalamannya di Indonesia, namun Perang Dunia II lebih dahulu berkecamuk dan Belanda diduduki oleh Jerman.
Palar tidak lagi bekerja untuk SDAP selama berkecamuknya perang, ia beraktivitas dalam laboratorium van der Waals, sembari mengajar Bahasa Melayu. Selain itu, ia juga aktif dalam gerakan bawah tanah anti-Nazi Jerman.
Setelah PD II berakhir, Palar kembali aktif dalam politik, ia aktif dalam Partij van de Arbeid (PvdA), partai baru yang sebelumnya berawal dari SDAP. Melalui PvdA ini Palar kemudian terpilih menjadi anggota Twede Kamer.
Setelah mendengar informasi kemerdekaan Indonesia, Palar mendukung pernyataan kemerdekaan Indonesia dan menjalin hubungan dengan para pemimpin Indonesia. Namun sikap Palar ini kurang mendapat dukungan dari partainya. Di parlemen inilah Palar mendesak pemerintah belanda untuk menyelesaikan secara damai konflik Belanda-Indonesia tanpa adanya kekerasan bersenjata. Namun pada 20 Juli 1947, parlemen menyetujui kebijakan Agresi Militer I untuk menyelesaikan konflik di Indonesia.
Setelah bertemu dengan Soekarno, dan tokoh-tokoh pergerakan lainnya, seperti Sutan Syahrir dan Agus Salim, Palar kemudian mengundurkan diri parlemen sebagai bentuk protes atas tindakan Belanda dalam Agresi Militer I. dari sinilah kontribusi Palar dalam perjuangan diplomasi Indonesia dimulai.
Pemerintah Indonesia kemudian memanggilnya pulang untuk bersama-sama berjuang mempertahankan kemerdekaan, bersama Dr. Sudarsono dan Mr. Maramis, Palar ditugaskan oleh Mohammad Hatta dan Agus Salim selau Menteri Luar Negeri untuk mendirikan Pemerintahan Indonesia dalam Pengasingan (Government in Exile) jika usaha Mr. Syafrudin Prawiranegara membuat PDRI di Bukit Tinggi gagal. Perundingan-perundingan yang terjadi selama revolusi kemerdekaan tidak terlepas dari peran Palar. Palar melakukannya langsung di jantung diplomasio internasional di markas besar PBB, di New York, Amerika Serikat sesuai dengan perintah Presiden Soekarno yang memintanya menjadi juru bicara RI di PBB pada 1947. Pada akhir 1947, ia membuka kantor perwakilan RI di New York dibantu oleh Sudarpo, Soedjatmoko, dan Soemitro. Sebelum pengakuan kedaulatan RI pada 1949, status LN Palar dan delegasi Indonesia di PBB adalah sebagai peninjau. Namun setelah pengakuan kedaulatan kemerdekaan dan Indonesia menjadi anggota ke-60 PBB pada 1950, Palar menjadi perwakilan resmi RI pertama dengan status keanggotaan penuh.
Setelah menjadi Kepala Perwakilan RI di PBB pada 1953, Palar kemudian menjadi Duta Besar RI untuk India dan memberikan kontribusi yang besar dalam persiapan penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1955. Pada 1955, Palar dipanggil pulang ke Indonesia untuk membantu pelaksanaan KAA, yang dihadiri oleh 30 negara-negara Asia dan Afrika yang pada umumnya baru merdeka.
Usai KAA, Palar memulai kembali tugas diplomasinya dengan menjadi Duta Besar RI untuk Uni Soviet dan Jerman Timur selama dua tahun. Kemudian pada 1957, Palar ditugasken menjadi Duta Besar RI untuk Kanada hingga tahun 1962. Pada 1962 hingga 1965, Palar kembali menjadi Kepala Perwakilan RI di PBB. Karena adanya konflik Indonesia-Malaysia, Presiden Soekarno kemudian mencabut keanggotaan RI di PBB. Saat presiden Soekarno memutuskan keluar dari PBB, LN Palar kemudian menjadi Duta Besar RI untuk Amerika Serikat.
Pada masa awal pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia meminta kembali masuk ke dalam keanggotaan PBB pada 1966. Pengalaman LN Palar di PBB selama beberapa tahun sebelumnya, membuat ia menjadi utusan pemerintah pada 1966 usai perubahan politik di dalam negeri. Palar pensiun dari tugas diplomatisnya pada tahun 1968 setelah melayani bangsanya dalam permulaan usaha kemerdekaan, konflik Indonesia-Belanda melalui perjuangan diplomasinya. Kahin dalam tulisannya menyebutkan jika LN Palar merupakan seorang diplomat senior yang memiliki pengalaman sangat panjang menjadi duta besar dan juga berjuang sebagai diplomat untuk negaranya.
Setelah pensiun, ia masih memberikan kontribusi bagi pendidikan, pekerjaan sosial, dan juga penasehat perwakilan Indonesia di PBB. LN Palar salah satu putera terbaik Sulawesi Utara itu meninggal pada 12 Februari 1981 di usia 80 tahun.