Menu
PAHLAWAN NASIONAL

Kartini, R.A

Berdasarkan: Keppres No. 108 Tahun 1964, 2 Mei 1964

Ketika usia 12 tahun tahun harus memasuki masa pingitan, jiwanya sangat terpukul. Kegemarannya membaca dapat mengurangi rasa kesepian dan tertekan. Melalui buku yang dikaguminya yaitu “Minner-brieven” karangan Multatuli, Kartini dapat mengetahui tentang penindasan dan pemerasan terhadap bangsanya serta buruknya sistem kepegawaian dan pendidikan Belanda.

Melalui suratnya kepada sahabatnya di negeri Belanda, Kartini protes dan menuduh pemerintah dengan sengaja membatasi pendidikan rakyat. Buku Hylda Van Sayenderb dan karangan August Bebel sangat mempengaruhinya. Sebagai puteri Bupati, Kartini sangat peduli pada rakyat kecil. Melalui artikelnya, Kartini memperkenalkan ukuran kayu Jepara.

Upaya mempopulerkan kerajinan batik dengan mengikut-sertakan proses pembuatan batik pada pameran karya wanita di Den Haag tahun 1898. Untuk dibuatnya sebuah artikel sebagai pengantar dengan judul “Handschrift Japara” yang mendapat perhatian cukup besar dari masyarakat Belanda.

Kartini memperdalam pengetahuannya belajar menulis kepada Ny. Ovink Westenenk dan belajar menulis cerita anak-anak kepada Ny. Ovink Soer. Cita-citanya belajar ke negeri Belanda untuk menjadi dokter, guru dan mendirikan sekolah untuk gadis-gadis Indonesia dibicarakannya dengan Mr. J. H. Abendanon. Urung belajar ke Eropa, berniat belajar ke Jakarta. Sambil menunggu jawaban ia mendirikan sekolah bagi gadis-gadis di Jepara.

Sementara itu datang pinangan dari Raden Adipati Djojodiningrat Bupati Rembang, sehingga jawaban pemerintah Beladan tentang dikabulkannya permintaan Kartini belajar di Eropa serta mendapatkan beasiswa. Oleh Kartini diusulkan agar beasiswa  tersebut diberikan kepada pemuda cerdas yaitu Agus Salim. Pada tanggal 8 November 1903 menikah dengan Bupati Rembang dan beberapa bulan setelah menikah jatuh sakit. Dalam keadaan sakit melahirkan bayi laki-laki dan pada tanggal 17 September 1904, Kartini meninggal dunia.

Surat-surat Kartini untuk teman-temannya di Belanda diterbitkan tahun 1911 dengan judul “Door Duisternis Tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang). Buku ini terjual habis dan dicetak ulang. Hasilnya dikumpulkan dalam Kartini Funds (Dana Kartini) di Den Haag untuk membantu kaum wanita Indonesia.

Nilai Kepribadian Luhur yang Dimiliki

Kartini berkesimpulan bahwa Tuhan menciptakan laki-laki dan wanita sama, dan wanita memegang peranan penting dalam kehidupan bangsa. Wanita adalah pengajar dan pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anaknya. Kartini gundah karena wanita Indonesia masih berbelakang, untuk itu perlu diberikan pendidikan Barat dalam hal-hal positif yang dapat mengangkat derajat wanita bangsanya, tetapi nilai budaya asli tetap dipertahankan.

 


Kartini dan Kiai Sholeh Darat
Sumber: kumparan

Raden Ajeng Kartini dikenal dengan kalimatnya yang menginspirasi ‘habis gelap terbitlah terang’. Namun ada kisah yang sering luput dari pembicaraan mengenai awal mula munculnya kalimat yang melegenda itu.

Dilansir dari berbagai sumber, kisah ini bermula dari kegelisahan Kartini akan Alquran yang tak dipahaminya karena menggunakan Bahasa Arab. Kala itu, selain karena larangan Belanda, para kiai juga tak ada yang menerjemahkan Alquran ke dalam Bahasa Jawa atau Bahasa Indonesia.

Kegelisahan Kartini ini dia beberkan dalam suratnya kepada sahabatnya Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899. RA Kartini menulis:

“Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?”

“Alquran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Al-Quran tapi tidak memahami apa yang dibaca,” katanya.

Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngajinya memarahi dia karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Alquran. Ketika mengikuti pengajian Kiai Soleh Darat di pendopo Kabupaten Demak yang bupatinya adalah pamannya sendiri, Kartini sangat antusias. Saat itu Kiai Sholeh yang berasal dari Desa Darat, Semarang, sedang mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah.

RA Kartini lantas meminta romo gurunya itu agar Alquran diterjemahkan. Karena permintaan Kartini, dan panggilan untuk berdakwah, Kiai Sholeh menerjemahkan Alquran dengan ditulis dalam huruf Arab pegon sehingga tak dicurigai penjajah.

Kitab tafsir dan terjemahan Alquran itu diberi nama Faidh al-Rahman fi Tafsir Al-Qur’an. Salah satu tafsir di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Jilid pertama yang terdiri dari 13 juz. Mulai dari surat Al-Fatihah sampai surat Ibrahim.

Kitab itu dihadiahkannya kepada RA Kartini sebagai kado pernikahannya dengan RM Joyodiningrat, Bupati Rembang. Mulailah Kartini mempelajari Islam yang sesungguhnya.

Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan: “Selama ini al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kiai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami,” kata Kartini.

Melalui kitab itu pula Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya. Yaitu Surat Al-Baqarah Ayat 257 yang mencantumkan, bahwa Allah-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minadh-Dhulumaati ilan Nuur). Kartini terkesan dengan kalimat itu karena ia merasakan sendiri proses perubahan dirinya.

Kisah ini sahih, dinukil dari Prof KH Musa al-Mahfudz Yogyakarta, dari Kiai Muhammad Demak, menantu sekaligus staf ahli Kiai Sholeh Darat. Juga dari anak cucu Kiai Sholeh Darat, Fadihila Soleh.

Dalam surat-suratnya kepada sahabat Belanda-nya, JH Abendanon, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat ‘dari gelap kepada cahaya’ ini. Namun istilah yang dalam Bahasa Belanda ‘door duisternis tot licht’ itu oleh sastrawan Armijn Pane diterjemahkan dengan kalimat “habis gelap terbitlah terang” yang kini begitu melegenda.

Mr Abendanon yang mengumpulkan surat-surat Kartini menjadikan kata-kata tersebut sebagai judul dari kumpulan surat Kartini. Selamat meneladani ibu bangsa, Selamat Hari Kartini!

IKATAN KELUARGA PAHLAWAN NASIONAL INDONESIA

Meneguhkan Persatuan Bangsa yang Berdaulat, Adil, dan Makmur

WEB TERKAIT

Informasi

Hubungi Kami

Kementerian Sosial, Gedung C, Lantai Dasar
Jl. Salemba Raya No. 28, Jakarta Pusat
IKPNI.com merupakan situs resmi yang diakui oleh Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia. Seluruh konten serta opini dalam situs ini berdasarkan fakta-fakta yang tersedia, namun tidak mewakili pendapat Inspira Mediatama. Konten dalam situs ini sebaiknya tidak dijadikan dasar oleh pembaca dalam mengambil keputusan komersial, hukum, finansial, atau lainnya. Pada artikel yang sifatnya umum, pembaca disarankan mencari pendapat dari profesional sebelum menanggapi dan mengoreksi konten informasi yang dipublikasi jika mungkin tidak sesuai dengan pandangan pembaca. Publisher tidak bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaian yang tayang, bagaimanapun disebabkan. Website ini dibuat untuk IKPNI dengan hak cipta. Kepemilikan merek dagang diakui. Dilarang menyalin, menyimpan, atau memindahkan dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari publisher.
1
"Hallo, Admin. Website IKPNI."
Powered by