Jahja Daniel Dharma, Laksamana Muda TNI (Purn), (John Lie)
John lie yang kemudian mengganti namanya menjadi Jahja Daniel Dharma, dilahirkan di Kanaka, Manado, Sulawesi Utara, pada tanggal 9 Maret 1911. Ia menyelesaikan pendidikan setingkat sekolah dasar di Manado pada tahun 1928. Selama beberapa bulan pada tahun 1929 ia mengikuti kursus navigasi di Jakarta dan kemudian bekerja di kapal perusahan pelayaran Koninklijke Paketrvaart Maatschappij (KPM).
Pada tahun 1942, ketika Perang Dunia II masih berlangsung, kapal “Tosari” tempat John Lie bekerja dijadikan kapal logistik dalam jajaran Royal Navy (Angkatan Laut lnggris) yang berpangkalan di Koramshar, Teluk Persia. Secara tidak langsung, John Lie terlibat dalam kegiatan perang, walaupun tidak dalam status militer.
Beberapa bulan seteiah Perang Dunia II berakhir dan Indonesia sudah menjadi Negara yang merdeka, John Lie masih berada di Koramshar. Baru pada bulan Februari 1946 ia dan pelaut-pelaut Indonesia lainnya dipulangkan ke Indonesia. Dalam perjalanan pulang, ia berhenti selama sepuluh hari di Singapura yang dimanfaatkannya untuk mempelajari taktik perang laut.
Dengan pangkat kelas Ill, pada bulan Juni 1946 John Lie diterima sebagai anggota Angkatan Laut RI (ALRI) yang ketika itu bermarkas di Yogyakarta. Kurang dari setahun kemudian pangkatnya sudah naik menjadi mayor. la ditempatkan di Cilacap dengan tugas membersihkan perairan Cilacap dari ranjau-ranjau laut yang ditanam Jepang untuk menghalangi masuknya kapal-kapal Sekutu. Selain itu, ia juga bertugas melatih para anggota ALRI, terutama perwira muda, dalam hal kelautan. Sampai bulan Agustus 1947 ia masih bertugas di Cilacap dengan jabatan Komandan Pelabuhan merangkap Syahbandar.
Suatu kali dalam minggu terakhir bulan Agustus 1947 John Lie membantu sebuah kapal niaga yang mengalami kesulitan untuk membongkar sauh meninggalkan perairan Cilacap. Setelah kesulitan itu teratasi, kapten kapal tidak bersedia menurunkan sekoci untuk mengantarkan John Lie ke darat dengen alasan gelombang sangat tinggi. Akibatnya, tanpa direncanakan, John Lie terpaksa ikut dalam kapal tersebut dan tiba di Singapura. Peristiwa ini mengawali peranannya menembus blokade kapal-kapal perang Belanda di Selat Malaka. Kepala Perwakilan RI di Singapura menyerahkan sebuah speed boat (kapal cepat) kepada John Lie untuk dioperasikan. Kapal itu dinamakan John Lie Outlaw. la merekrut kurang lebih 20 orang pemuda untuk menjadi awak kapal, Port Swettenham (sekarang Port Kelang) di Malasyia dipilih John Lie sebagai pangkalannya. Kemudian, setelah dilarang oleh lnggris, ia memindahkan pangkalan ke Phuket di Thailand.
Dari kedua pangkalan itu, berkali-kali John Lie membawa berbagai jenis barang, terutama senjata dan amunisi yang diperlukan untuk perjuangan, menuju pelabuhan-pelabuhan di pesisir timur Sumatra dan Aceh, antara lain Labuhan Bilik, Tamiang, Raja Ulak, dan Ulehleh. Sebaliknya, dari pelabuhan-pelabuhan tersebut ia membawa karet, teh, dan lain-lain untuk dijual atau dibarter dengan senjata keperluan lain. Sebagian hasil penjualan itu dapat pula dimanfaatkan untuk membiayai perwakilan RI di luar negeri.
Dalam melakukan kegiatan ini, John lie dan awak kapalnya menghadapi risiko yang sangat berbahaya. la harus menembus blokade kapal Angkatan Laut Belanda di Selat Malaka. Berkali-kali kapal Outlaw diburu dan ditembaki oleh kapal perang Belanda, bahkan pernah pula diancam dari pesawat terbang. Akan tetapi John Lie dan awak kapalnya berhasil menyelamatkan diri. la pernah ditangkap oleh polisilnggris, namun dibebaskan karena dianggap tidak melanggar hukum. Operasi menembuas blokade Angkatan Laut Belanda ini dilakukan John Lie selama lebih dari dua tahun, dimulai bulan September 1947.
Sesudah perang kemerdekaan berakhir, John Lie tetap berkarier di lingkungan ALRI. Sebelum memasuki masa pensiun, berbagai jabatan pernah dipegangnya, antara lain Komandan kapal RI Rajawali, Kepala Operasi Markas Besar Angkatan Laut, Komandan Daerah Maritim Jakarta, dan Komandan kapal bendera RI Gajah Mada. Dalam penumpasan pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) tahun 1950, ia diangkat sebagai komandan eskader kapal-kapal ALRI. Pada waktu menumpas pemberontakan PRRI di Sumatra Barat, ia bertugas sebagai Komandan Amphibious Task Force 17 sekaligus sebagai Wakil Komandan Operasi 17 Agustus. Selesai menjalankan tugas di Sumatra Barat, ia diserahi tugas sebagai Komandan Amphibious Task Force 25 untuk menumpas pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara.
Setelah pensiun dengan pangkat laksamana muda, John Lie banyak bergiat di lapangan sosial, membantu orang-orang yang memerlukan pertolongan. la meninggal dunia pada tanggal 27 Agustus 1988 dan dimakamkan diTaman Makam Pahlawan Kalibata di Jakarta.
Atas jasa-jasanya Pemerintah RI menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor: 058/TK/Tahun 2009 tanggal 6 November 2009.