I Gusti Ketut Jelantik
Keberanian dan keperwiraannya tampak begitu menentang tuntutan Belanda agar mengganti kerugian atas kapal-kapal yang dirampas dan mengakui kedaulatan Belanda di Hindia Belanda. Terbukti pada perundingan antara Belanda, Raja Buleleng dan Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik sangat marah sambil memukul dada dengan kepalan tangan mengatakan “Tidak bisa menguasai negeri orang lain hanya dengan sehelai kertas saja tetapi harus diselesaikan di atas ujung keris. Selama saya masih hidup kerajaan ini tidak akan pernah mengakui kedaulatan Belanda”.
Tanggal 12 Mei 1845, Belanda mencari cara lain dengan perantaraan Raja Klungkung untuk menyelesaikan masalah perampasan perahu dagang yang tedampar di Pantai Sangsit. Belanda menuntut agar Buleleng menghapuskan hak “Tawan karang” (hak raja Bali untuk merampas perahu yang terdampar di pantai wilayah kerajaannya) dan mengakui kedaulatan Belanda atas kerajaan Buleleng.
Dalam kesempatan ini Ketut Jelantik bereaksi keras. Pada tanggal 27 Juni 1846 Belanda mengadakan perlawanan terhadap pasukan Bali dan pertempuran tersebut berlangsung sangat seru yang berakhir dengan jatuhnya Buleleng ke tangan Belanda pada tanggal 29 Juni 1846. Raja Buleleng dan patihnya, I Gusti Ketut Jelantik mundur ke desa Jagaraga untuk menyusun kekuatan.
Dalam mempertahankan desa (benteng) Jagakara, Patih Jelantik giat memperkuat pasukan dan mendapat dukungan dari kerajaan lain seperti Karangasem, Klungkung, Badung dan Mengwi. Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik adalah orang yang ahli dalam strategi perang. Selain itu juga disegani oleh raja-raja di Bali karena keberanian dan tekad bajanya menentang Belanda. Pada tanggal 6 – 8 Juni 1848 pihak Belanda mengirimkan ekspedisi yang kedua tetapi Belanda tetap kalah dan keberhasilan Laskar Putih Jelantik sangat mengagetkan orang-orang Belanda sehingga menggegerkan parlemen Belanda.
Nilai Kepribadian Luhur yang Dimiliki
Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik, patih yang gagah perkasa, pakar strategi dan pemberani dalam perang patut jadi kebanggaan bangsa. Keberaniannya luar biasa seperti tampak dari ucapannya kepada tentara Belanda “hai kau si mata putih (utusan Belanda) yang biadab, sampaikan pesanku kepada pemimpinmu di Betawi agar segera menyerang Den Bukit (Bali Utara)”.