Menu
PAHLAWAN NASIONAL

Agung Hajjah Andi Depu

1907 - 18 Juni 1985
Berdasarkan:

Riwayat Hidup

Permaisuri Arajang Balanipa ke 51, Arajang Balanipa 52, Ketua Swapraja. Lahir di Tinambung Poliwali Mandar, pada tanggal 19 Agustus 1908. Wafat di Rumah Sakit Pelamonia Makassar, pada tanggal 18 Juni 1985 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Panaikan, Makassar. Dilahirkan dari orangtua yang bernama Arajang Balanipa ke-50 dan Samaturu (asal Mamuju), bergelar Maraqdia Kinena. Memiliki seorang suami yang bernama Andi Baso Pawiseang, Arajang Balanipa ke-51 dan seorang anak yang bernama Andi Parenrengi Depu.

Riwayat Perjuangan

Aktif di JIB (Jong Islamiten Bond). Sejak remaja Hj. Andi Depu telah aktif di dalam organisasi kepemudaan dan kemasyarakatan. Tahun 1940 sebagai penyokong perkumpulan JIB (Jong Islamiten Bond) di daerah Mandar. Sebagai penyokong utama organisasi dan aktivitas perkumpulan kepemudaan, Hj. Andi Depu sudah mewarnai cara pandang kebangsaan pemuda saat itu. Sekolah hanya sampai di kelas 3 Volkschool karena untuk meneruskan ke sekolah yang lebih tinggi harus pergi ke kota lain, yang tidak dimungkinkan oleh anak perempuan pada saat itu.

Mendirikan Fujinkai. Untuk menarik simpati rakyat, saat Jepang pertama kali masuk ke Indoensia, pengibaran merah putih diperbolehkan. Hj. Andi Depu sebagai tokoh bangsawan memperkenalkan bendera nasional merah putih di wilayah Mandar tahun 1942 pada saat diadakan rapat Raksasa peringatan Hari Sumpah Pemuda di Tinambung. Pada saat rakyat hanya mengerti bendera kerajaan setempat, Hj. Andi Depu menjelaskan kaitannya Merah Putih dengan Sumpah Pemuda. Jepang kemudian melarang pengibaran bendera Merah Putih karena dianggap sebagai bibit perlawanan dan membahayakan pendudukan Jepang. Pada saat Jepang sudah mulai terdesak oleh Sekutu di Pasifik Selatan, Jepang memperbolehkan lagi pengibaran bendera Merah Putih untuk menarik dukungan rakyat menghadapi pasukan Sekutu.

Saat persediaan makan bagi tentara Jepang menipis, Jepang memaksa rakyat untuk memberikan sumbangan berupa hasil panen serta harta benda secara paksa. Disinilah Hj. Andi Depu mulai menentang perlakuan Jepang yang sewenang-wenang. Karena besarnya pengaruh Hj. Andi Depu, semangat dan kesadaran rakyat semakin meningkat.

Pada tahun 1944, Hj. Andi Depu mendirikan organisasi Fujinkai, suatu wadah gerakan yang melibatkan wanita, sebagai tempat pelatihan dan penggodokan semangat juang wanita Mandar untuk ikut berperan dalam merebut kemerdekaan dari pendudukan militer Jepang. Dengan adanya organisasi ini para pemudi melatih diri dan menerima semangat juang untuk merebut kemerdekaan yang telah dijanjikan Jepang kepada bangsa Indonesia jika perang Asia Timur Raya dimenangkan. Namun suaminya, Andi Baso Pabiseang, yang memangku jabatan Arajang Balanipa ke-51 tidak menyetujui langkah-langkah yang ditempuhnya. Suami Hj. Andi Depu, menganggap bahwa kaum penjajah itu tidak mungkin dapat dilawan dan dikalahkan hanya dengan semangat yang berkobar-kobar dan dengan senjata bambu runcing.

Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan. Berita adanya Proklamasi Kemerdekaan oleh Soekarno – Hatta di Jakarta diterima oleh Hj. Andi Depu di Mandar pada tanggal 19 Agustus 1945 dan disambut dengan suka cita. Berita itu diterima melalui Mysta Taico, Kapten Angkatan Darat Jepang untuk Afdeling Mandar. Berita tersebut kemudian disebar-luaskan oleh Hj. Andi Depu keseluruh wilayah Mandar dan sejak saat itu banyak bendera merah putih dikibarkan masyarakat Mandar.

Para pemuda dan rakyat secara spontan menyambung proklamasi dan berusaha untuk merebut kekuasaan serta merebut senjata tentara Jepang. Dibeberapa daerah termasuk Mandar terjadi pertempuran dan bentrokan antara pemuda melawan aparat kekuasaan Jepang yang tetap kalah tetapi masih bersenjata lengkap. Perampasan senjata Jepang terjadi di Matangnga dan Tompotora, Mamuju. Sementara di Pambusuang terjadi peristiwa pembunuhan tentara Jepang yang tidak mau menyerahkan senjatanya.

Pembentukan KRIS Muda Mandar, GAPRI dan LAPRIS sebagai wadah perjuangan. Untuk mengerahkan dan mengkoordinasikan semangat spontanitas rakyat, pada tanggal 21 Agustus 1945 berdiri badan kelaskaran yang diberi nama KRIS MUDA, singkatan dari Kebaktian Rahasia Islam Muda, di Balanipa Mandar dimana Hj. Andi Depu menjadi pimpinan tertinggi. Lascar ini merupakan kelanjutan dari organisasi Islam Muda yang berdiri di Campalagian menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia. Dalam Kris Muda Mandar terdapat tiga unsur sosial masyarakat yang terpadu yaitu Unsur Tentara Rakyat seperti R.A. Daud dan A.R. Tamma, Unsur Syarikat Islam, Muhammadiyah dan JIB. Unsur lain adalah tokoh bangsawan seperti Hj. Andi Depu sendiri, disamping para ulama.

Sejak saat itu untuk pertama kalinya bendera merah putih dikibarkan di Tinambung, di depan Istana Kerajaan Balanipa, dengan tiang yang berukuran 9 meter. Bendera Merah Putih dikibarkan sejak Kamis, 19 September 1945 dengan sangat sederhana tanpa iringan lagu Indonesia Raya. Pengibaran bendera Merah Putih dilakukan Hj. Andi Depu, dihadiri para pemimpin kelaskaran Kris Muda Mandar, sejumlah pejuang serta beberapa komando pasukan dari Pare-Pare. Rakyat yang hadir dalam pengibaran bendera tersebut diperkirakan berjumlah sekitar kurang lebih 300 orang.

Peristiwa pengibaran bendera tersebut adalah sebuah buku sejarah di Mandar, yakni satu-satunya bendera di Sulawesi yang tidak tumbang oleh keganasan Pasukan Westerling. Untuk lebih memperkuat adanya perlawanan kelaskaran Kris Muda Mandar membentuk sebuah wadah perjuangan yang dipelopori oleh Hj. Sitti Maemunah dengan nama Gabungan Pemberontak Rakyat Indonesia Mandar yang disingkat dengan GAPRI dan diberi kode 531 yang artinya lima (5) berarti rukun islam yang senantiasa harus ditegakkan walaupun dalam kancah peperangan, 3 (tiga) yang artinya adalah memenangkan perjuangan leweat pengorbanan jiwa, harta dan tenaga sedangkan arti 1 (satu) adalah satu tujuan merdeka di bawah ridho Allah.

Selanjutnya seluruh anggota GAPRI 531, Kris Muda Mandar bersama 15 organisasi perjuangan lainnya di Sulawesi pada tanggal 17 Juli 1946 bergabung ke dalam satu wadah perjuangan yang diberi nama Lasykar Pemberontakan Republik Indonesia Sulawesi yang disingkat LAPRIS. Pada masa antara tahun 1945 – 1946 jelas tampak keberhasilan Kris Muda dalam menggalang persatuan dan kesatuan seluruh lapisan masyarakat. Ketika NICA tiba di Balanipa muncul garis pemisah antar siapa-siapa yang berdiri di pihak Belanda dan pengikutnya, dengan siapa berjuang bersama Hj. Andi Depu dan pengikutnya. Kedatangan Sekutu yang diboncengi oleh NICA, membuat lembaran baru dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia dimana bisa dikatakan di seluruh wilayah Indonesia, terjadi perlawanan terhadap Sekutu dan NICA. Keterlibatan Hj. Andi Depu sebagai Panglima Kris Muda membangkitkan semangat perjuangan dan nasionalisme anggota Kris Muda.

Peristiwa Merah Putih di Mandar, 28 Oktober 1946. Pada tanggal 28 Oktober 1946, sejumlah tentara Belanda dengan kendaraan militer berhenti di depan Istana Raja Balanipa, mereka memaksa menurunkan bendera merah putih yang berkibar di halaman Istana Kerajaan Balanipa. Bendera yang telah berkibar sejak 21 Oktober 1945 akan diturunkan secara paksa oleh pasukan Belanda. Untungnya sebelum prajurit Belanda menyentuh tiangnya para pengawal Istana dan masyarakat sekitarnya yang bersenjatakan keris dan tombak berupaya dengan sekuat tenaga menghalang-halanginya. Para pengawal istana telah dipesan oleh Hj. Andi Depu, kalau tidak seorangpun yang dapat menurunkan bendera ini.

Hj. Andi Depu yang saat itu baru selesai melaksanakan shalat Dhuha beranjak dari tempatnya dan berlari ke tiang bendera sambil mendekap erat tiang bendera dan berseru “Biarlah saya gugur, mayatku terlangkahi baru bendera kau tumbangkan”. Seluruh pengawal istana dan masyarakat Tinambung sekonyong-konyong tanpa perintah berdiri disamping kiri kanan Hj. Andi Depu, bertekad akan menyerahkan nyawanya lebih dahulu sekiranya Belanda masih nekad menurunkannya di tengah dekapan Hj. Andi Depu. Tekad bulat masyarakat Balanipa ini, menciutkan nyali pasukan Belanda untuk menurunkan bendera tersebut, dan dengan penuh kekesalan mereka meninggalkan tempat itu, sambil tetap menyaksikan bendera merah putih masih berkibar di halaman istana kelaskaran Balanipa di Tinambung.

Suaminya, Andi Baso Pabiseang ternyata tidak menyetujui langkah-langkah yang ditempuhnya. Suami Hj, Andi Depu yang memangku jabatan yang saat itu sebagai raja, menganggap bahwa kaum penjajah itu tidak mungkin dapat dilawan dan dikalahkan hanya dengan semangat yang berkobar-kobar dan dengan senjata bambu runcing.

Hj. Andi Depu bergerilya dari Timbu. Bendera tersebut baru diturunkan sendiri oleh para pejuang setelah Hj. Andi Depu bersama para pemimpin dan anggota lasykar Kris Muda masuk hutan bergerilya dan Markas Besar dipindahkan ke Timbu. Hj. Andi Depu yang saat itu itu sudah bertekad melawan kaum penjajah akhirnya rela meninggalkan suaminya dan istananya demi perjuangan dan cita-citanya. Lalu ia bersama anaknya Andi Parenrengi mengungsi dan menempati rumah orangtuanya yang kemudian dijadikan markas pertahanan. Pada bulan Desember 1945, terjadi perceraian antara Hj. Andi Depu dan Andi Baso Pawiseang dan tidak lama berselang Lembaga Adat melantik Hj. Andi Depu menjadi Arjang menggantikan suaminya yang dianggap pro Belanda. Belum sempat membenahi istana kerjaaan Balanipa, beliau meninggalkan istana masuk hutan untuk bergerilya. Hanya sekali-sekali dia kembali ke istana pada malam h ari dengan menyamar untuk menengok ibundanya yang sangat khawatir akan keselamatannya.

Pada tanggal 10 Maret 1946 di distrik Tapango, tepatnya di Buttu Gampa Salurebong, pengibaran bendera Merah Putih dalam suatu upacara diiringi lagu Indonesia Raya merupakan yang pertama kalinya di Mandar. Pada saat itu Hj. Andi Depu adalah Ketua Swapraja (seperti kabupaten) dan pimpinan tertinggi di Mandar. Dilaksanakan di Tapango karena di Belanda (Tinambung) dalam pengawasan Belanda sehingga oleh Hj. Andi Depu diperintahkan dilaksanakan di Tapango dimana H.M. Darasa sebagai pimpinan Kris Muda setempat mengatur segalanya. Hj. Andi Depu yang hadir tetapi karena kesehatannya memberi sambutan tertulis yang dibacakan oleh Sitti Ruwaedah. Upacara berjalan dengan lancar dan saat kembali rombongan dihadang oleh Belanda sehingga hampir tertembak. Tetapi dapat lolos dari pengadangan karena tersembunyi di semak-semak pinggir sungai sampai keesokan harinya dijemput para pengawal Kelaskaran Kris Muda dari Tinambung.

Sejak terbentuknya Kelaskaran Kris Muda Mandar dan pembentukan GAPRI 531, kontak senjata dengan pihak Belanda tidak terhindarkan hampir setiap saat terjadi apalagi setelah mereka masuk ke dalam LAPRIS kekuatan semakin kuat. Kontak senjata terjadi dibanyak tempat seperti Tonyaman, Timbu, Tomadzio, Pambusuang, Majene, dan banyak tempat lain di Sulawesi. Pertempuran di Tonyaman pada tanggal 16 Agustus 1946 ketika pemuda berusaha merebut senjata peninggalan Jepang dimana kontroleur Polewali bersama pasukannya memberikan perlawanan dalam pertempuran ini, sehingga tewaslah kontrolir Polewali bernama G.J. Monses dan beberapa tentara KNIL. Menyusul pertempuran di Markas Timbu daerah Allu pada tanggal 20 September 1946 ketika tentara NICA menyerang Markas KRIS MUDA, yang menyebabkan beberapa tentara NICA tewas setelah terjadi kontrak senjata kurang lebih setengah jam, akhirnya NICA mundur dan kejar pada pemuda.

Pada tanggal 28 Oktober 1946, bertepatan dengan insiden yang terjadi di Tinambung (Balanipa), Mahmul Saal selaku komandan pertempuran Kelaskaran Kris Muda Mandar, mengibarkan bendera merah putih di Tinambung ibukota Kerajaan Pamboang. Pengibaran bendara inipun berlangsung dengan sangat sederhana tanpa iringan lagu Indonesia Raya dan dihadiri beberapa pejuang yang ada di Pamboang. Sedangkan tiang bendera yang digunakan adalah sebatang bambu besar dengan ketinggian hampir sepuluh meter. Dari sejumlah peristiwa pengibaran bendera diatas, membuat kemarahan Belanda kian memuncak, sehingga pada tanggal 28 Oktober 1946 tentara Belanda menurunkan merah putih dimana-mana.

Hingga di beberapa tempat terjadi insiden berdarah, salah satunya adalah tragedy pada 2 Februari 1947, terjadinya Penyapuan di Galung Lombok. Pembantaian rakyat sipil Sulawesi Barat yang terjadi di Galung Lombok, Kabupaten Polewali Mandar oleh tentara Belanda di bawah pimpinan Paul Raymond Westerling merupakan baigan dari agresi militer Belanda ci wilayah Sulawesi. Saat itu, pasukan khusus Westerling menyisir wilayah Majene dan Polman, mengumpulkan dan menembaki rakyat sipil di daerah Galung Lombok, Kecamatan Tinambung, Polman. Rakyat Mandar kalal itu ditembaki secara membabi buta dengan tangan terbelenggu.

Hj. Andi Depu tertangkap. Usaha NICA untuk menangkap para pemuda pejuang yang terus melakukan perlawanan terus dilakukan dengan berbagai cara. Pada tanggal 26 Nopember 1946 Hj. Andi Depu tertangkap dalam satu pertempuran di Campalagian setelah kembali dari pertemuan di Barombong sekitar 6km dari Makassar. Dalam peristiwa ini, pucuk pimpinan-pimpinan lainnya, sekitar 16 orang ditangkap oleh pasukan Belanda dan langsung dibawa ke Makassar, kemudian dijebloskan ke dalam Penjara Layang Makassar.

Hj. Andi Depu memang telah lama menjadi incaran tentara Belanda karena Belanda menganggap kunci dari pergerakan KRIS MUDA adalah Hj. Andi Depu. Belanda mengasumsikan bahwa penangkapan Hj. Andi Depu akan dapat menghentikan segala perlawanan KRIS MUDA. Ternyata tertangkapnya Hj. Andi Depu tidak menyurutkan perlawanan anggota KRIS MUDA lainnya. Para aktifis KRIS MUDA dibawah pimpinan Andi Parengrengi semakin gigih melakukan perlawanan melalui kontak senjata. Hj. Andi Depu ditempatkan ditempat tahanan yang berpindah-pindah sampai 13 tempat diberbagai kota seperti Poliwali, Pinrang, Rappang, Pare-Pare, dll. Hj. Andi Depu baru dilepaskan dari tahanan setelah 3 tahun yaitu pada tanggal 28 Desember 1949 bersamaan dengan pengakuan Belanda atas kedaulatan RIS.

Keluarnya Hj. Andi Depu dari tahanan mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat dan disepanjang jalan menuju ke Tinambung sambuatan rakyat tidak terputus termasuk beberapa orang bekas KNIL ikut mengelu-elukannya. Walaupun dengan kondisi kesehatan yang mulai menurun akibat perlakuan selama di dalam tahanan, tidak menyurutkan semangatnya dalam mengobarkan semangat menentang penjajahan. Hj. Andi Depu kembali menjadi Ketua Swapraja Balanipa, walaupun oleh adat tetap diakui sebagai Arayang Balanipa ke-52 disamping tetap menduduki jabatan sebagai Pimpinan Kelaskaran KRIS MUDA. Pada tahun 1950, Hj. Andi Depu turut mengambil bagian pada demonstrasi pembubaran NIT, yang diadakan di Polombangkeng. Karena aksi ini beliau ditangkap kembali oleh pemerintah NIT dan dimasukkan dalam tahanan selama satu bulan dua hari ditahan diangkatan udara Penerbangan Mandai kemudian dibebaskan kembali oleh pemerintah NIT.

Hijrah dan meninggal dunia di Makassar. Karena alasan kesehatan pada tahun 1953 bersama keluarganya Hj. Andi Depu pindah dari Tinambung ke Makassar dengan alasan untuk berobat karena kondisi kesehatannya yang sudah menurun. Secara kebetulan kepindahannya juga karena ketidak-senangannya dengan sifat Andi Selle Komandan Batalion 710 di Mandar yang dianggap sewenang-wenang. Hj. Andi Depu menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit Pelamonia Makassar pada tanggal 18 Juni 1985 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Panaikan Makassar.

Kesimpulan

Hj. Andi Depu adalah pelaku sejarah Indonesia dan merupakan sosok perempuan yang telah memberikan dedikasi serta loyalitas yang tinggi dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, yaitu dengan mengerahkan dan mengkoordinasikan semangat spontanitas para pemuda-pemudi untuk melawan penjajahan di Indonesia. Hingga pada akhirnya disimpulkan bahwa sesuai UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Pasal 25 dan Pasal 26. Hj. Andi Depu memenuhi syarat umum dan syarat khusus untuk dijadikan sebagai Pahlawan Nasional.

IKATAN KELUARGA PAHLAWAN NASIONAL INDONESIA

Meneguhkan Persatuan Bangsa yang Berdaulat, Adil, dan Makmur

WEB TERKAIT

Informasi

Hubungi Kami

Kementerian Sosial, Gedung C, Lantai Dasar
Jl. Salemba Raya No. 28, Jakarta Pusat
IKPNI.com merupakan situs resmi yang diakui oleh Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia. Seluruh konten serta opini dalam situs ini berdasarkan fakta-fakta yang tersedia, namun tidak mewakili pendapat Inspira Mediatama. Konten dalam situs ini sebaiknya tidak dijadikan dasar oleh pembaca dalam mengambil keputusan komersial, hukum, finansial, atau lainnya. Pada artikel yang sifatnya umum, pembaca disarankan mencari pendapat dari profesional sebelum menanggapi dan mengoreksi konten informasi yang dipublikasi jika mungkin tidak sesuai dengan pandangan pembaca. Publisher tidak bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaian yang tayang, bagaimanapun disebabkan. Website ini dibuat untuk IKPNI dengan hak cipta. Kepemilikan merek dagang diakui. Dilarang menyalin, menyimpan, atau memindahkan dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari publisher.
Kilas Sejarah Hari Ini
5 Oktober 2004

Sulawesi Barat menjadi provinsi sendiri

Sejak tahun 1960, pembentukan Provinsi Sulawesi Barat telah diperjuangkan namun ditolak pada 1963 ketika pemerintah pusat justru membentuk Provinsi Sulawesi Tenggara. Momentum pembentukan provinsi baru ini mencuat setelah gerakan reformasi 1998, tepatnya pada tahun 1999. Perjuangan panjang ini akhirnya menemui...

Selengkapnya...
Sulawesi Barat menjadi provinsi sendiri ( 5 Oktober 2004 )
1
"Hallo, Admin. Website IKPNI."
Powered by