Abdul Wahab Chasbullah, K.H

Abdul Wahab Chasbullah lahir pada tanggal 31 Maret 1888 di Jombang, Jawa Timur. Ayahnya adalah KH Hasbullah Said, pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang. Ibunya bernama Nyai Latifah. Selama 20 tahun ia menempuh Pendidikan tentang agama Islam di beberapa pondok Pesantren, di antaranya Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Mojosari di Nganjuk, Pesantren Cempaka, Pesantren Tawangsari di Sepanjang, Pesantren Kademangan di Bangkalan Madura, Pesantren Branggahan di Kediri, dan Pesantren Tebu Ireng di Jombang.
Abdul Wahab Chasbullah pindah ke Surabaya pada tahun 1914. Kota besar ini memungkinkannya untuk bertemu dengan berbagai aliran organisasi Islam. Ia kemudian membentuk kelompok diskusi masalah-masalah agama, Taswirul Afkar (Pergolakan Pemikiran). Sejak berdiri, Taswirul Afkar menjadi forum ulama dari pesantren dengan ulama di luar pesantren dan para tokoh pergerakan nasional. Ia sangat terpengaruh pemikiran tokoh Sarekat Islam HOS Tjokroaminoto.
Pada tahun 1915, Abdul Wahab Chasbullah melanjutkan Pendidikan ke Kota Mekah Al-Mukaramah. Di antara gurunya adalah Syekh Mahfudz at-Tirmasi (Termas, Pacitan) dan Syekh al-Yamani. Selama belajar di Mekah, Abdul Wahab Chasbullah menyebarkan gagasan perjuangan kemerdekaan yang diperolehnya dari para tokoh pergerakan di Surabaya dalam diskusi di Taswirul Afkar. Ia mempunya ketertarikan yang tinggi terhadap gagasan kemerdekaan para tokoh Sarekat Islam sehingga mendirikan Sarekat Islam cabang Mekah.
Gagasan kemerdekaan para tokoh pergerakan memberikan inspirasi kepada Abdul Wahab Chasbullah untuk mendirikan sekolah yang menyebarkan semangat kaum pergerakan. Oleh karena itu ia selalu menggunakan kata “wathan” (tanah air) dan Nahdah (kebangkitan) dalam setiap organisasi/sekolah yang dibentuknya, seperti Madrasah Nahdatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) dan Sjubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air), Nahdlatul Tujar (Kebangkitan Pedagang) dan Nahdatul Ulama (Kebangkitan Ulama). Melalui Nahdatul Wathan, Abdul Wahab Chasbullah mendirikan beberapa sekolah: Madrasah Ahloel Wathan di Wonokromo, Madrasah Far’oel Wathan di Gresik, Madrasah Hidayatul Wathan di Jombang, dan Madrasah Khitabulah Wathan di Surabaya.
Sebagai aktivis pergerakan yang berasal dari pesantren, Abdul Wahab Chasbullah berupaya menghimpun kekuatan berbasis agama Islam di Indonesia. Pada tahun 1916 ia menjadikan rumahnya di Surabaya sebagai sekretariat organisasi Nahdlatul Wathan yang didirikannya bersama KH Mas Mansur dari Muhammadiyah. Kegiatannya mendapat dukungan dari para ulama pesantren. Di antaranya KH Bisri Syamsuri (Denanyar, Jombang), KH Abdul Hakim (Leimunding, Cirebon), KH Alwi Azis, KH MA’shum (Lasem) dan KH Cholil (Kasingan, Rembang)
Pada tahun 1924, Abdul Wahab Chasbullah berkenalan dengan tokoh perjuangan kemerdekaan dr. Soetomo yang baru kembali dari Belanda dan mendirikan Studyclub Indonesia di Surabaya. Keduanya seusia, yakni sama-sama lahir tahun 1888. Upaya dr. Soetomo menghimpun kaum muda memberikan inspirasi kepada Abdul Wahab Chasbullah untuk menghimpun pemuda pesantren. Abdul Wahab Chasbullah pun mendirikan organisasi pemuda dengan nama Subhanul Wathan (Pemuda Tanah Air). Ia mengubah nama tersebut menjadi Persatuan Pemuda Nahdlatul Ulama (PPNU), kemudian Anshoru Nahdlatul Ulama (ANO), dan kemudian Gerakan Pemuda Anshor (GP Anshor).
Perhatiannya juga dicurahkan kepada masalah-masalah keagamaan internasional. Pada tahun 1926 ia menyelenggarakan Kongres Al Islam dan mendirikan Nahdlatul Ulama. Gagasannya mendapatkan dukungan dari tokoh Kyai karismatik, KH Hasjim As’ari. Mewakili kepentingan NU, Abdul Wahab Chasbullah menjadi salah satu pimpinan Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) yang berdiri 12 September 1937 di Surabaya. Organisasi ini menghimpun seluruh organisasi islam di tanah air.
Pada masa pendudukan Jepang, MIAI termasuk yang dibekukan dan dibubarkan. Sebagai gantinya dibentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Abdul Wahab Chasbullah juga merupakan salah satu tokoh penting dalam Masyumi.
Abdul Wahab Chasbullah adalah pendukung utama proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta pada 17 Agustus 1945. Ia bersama tokoh utama NU menerbitkan fatwa wajib membela negara Republik Indonesia dalam perang kemerdekaan melawan pasukan Inggris dan Belanda. Fatwa ini disebarkan ke seluruh Indonesia melalui jaringan pesantren yang dimiliki NU.
Pada tahun 1947, Abdul Wahab Chasbullah terpilih sebagai Rais Am (Ketua Umum) PBNU menggantikan KH Hasyim As’ari. Ia memberikan dukungan kepada pemerintahan Indonesia yang terdesak dengan serangan pasukan Belanda pada agresi militer pertama (21 Juli 1947) da agresi militer kedua (19 Desember 1948). Dukungannya sangat penting dalam meningkatkan moral perjuangan rakyat Indonesia. Perang Indonesia – Belanda berakhir melalui perundingan Konferensi Meja Bundar pada akhir tahun 1949.
Usai perang kemerdekaan, Abdul Wahab Chasbullah bersama tokoh Islam lainnya membangun partai Islam Masyumi. Dua tahun kemudian ia keluar dan mendirikan partai Nahdlatul Ulama. Pada awalnya banyak yang meragukan kemampuannya membentuk dan mengelola organisasi modern. Keraguan ini terjawab dengan keberhasilannya menjadikan partai NU sebagai kekuatan ketiga dalam Pemilu 1955. Ia mempunyai hubungan yang sangat baik dengan Presiden Soekarno. Partainya memberikan dukungan kepada Soekarno untuk menerbitkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Di bawah kepemimpinannya, Parta NU tampil sebagai kekuatan penyeimbang Parta Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Antara tahun 1966-1968 terjadi peralihan pemerintahan dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto. Abdul Wahab Chasbullah bersikap netral. Tiga tahun kemudian ia meninggal dunia.