Mengenang Peristiwa Serangan Umum Empat Hari di kota Sala (7 – 10 Agustus 1949).
Gambar Penandatanganan penyerahan Daerah Keresidenan Surakarta oleh Let.Kol Slamet Riyadi and MayJen
Mengenang Peristiwa Serangan Umum Empat Hari di kota Sala (7 – 10 Agustus 1949).
Generasi sekarang harus tahu hebatnya para pendahulu dan Kota Sala dalam berjuang mempertahankan Kemerdekaan, Karena di Kota inilah terjadi Pertempuran Besar yang berhasil dimenangkan oleh Bangsa ini.
Kota Solo, 7 – 10 Agustus 1949, Peristiwa Serangan Umum Empat Hari di Sala dilakukan oleh Tentara Pelajar (TP) yang dipimpin oleh Dwi Tunggal, Letkol Slamet Riyadi dan Mayor Achmadi dari TNI Brigade 17, Brigade V SA-CSA masa itu untuk merebut Kota Sala dari penjajah Belanda.
Sala merupakan kota yang dinilai penting oleh Belanda dalam melancarkan invasinya ke Indonesia sehinga merupakan kota yang diperkuat oleh tentara Belanda terbaik, bahkan pemimpin Tentara Belanda di Sala dipercayakan kpd Kolonel Van Ohl yg merupakan tentara profesional terbaik dengan pengalaman yang cukup tinggi dari PD I sampai jadi tentara Belanda di pengasingan waktu Belanda jatuh ke tangan Jerman, ia seorang komandan yang sangat dihormati oleh anak buahnya dan kolega2nya seperti Kolonel Van Langen yang menduduki Yogyakarta. Di Sala yang awalnya dijaga 5 batalyon kmdn pasca perjanjian Roem Royen menjadi dijaga 11 Batalyon termasuk pasukan TBS dan Polisi Federal
Pasukan Gerilya menyerbu Kota Solo sejak tanggal 7 Agustus 1949 dan nantinya lebih populer dengan sebutan Serangan Umum, sebuah serangan yang merupakan puncak rangkaian serangan sebelumnya, sejak Serangan Umum pertama tanggal 8 Februari 1949 yang dilanjutkan dengan Serangan Umum yang kedua tanggal 2 Mei 1949.
Hari Minggu, 7 Agustus 1949 pukul 06.00 WIB secara serempak serangan oleh Tentara Pelajar, Laskar, TNI dan Masyarakat Sipil termasuk para kerabat Karaton Kasunanan dan Kadipaten Mangkunagaran dimulai dengan menyerbu kedudukan Tentara Belanda. Serangan tersebut datang dr seluruh penjuru kota sehingga memaksa Tentara Belanda hanya mampu bertahan di markas masing-masing. Serangan itu meliputi markas komando KL 402 Jebres, sebuah pos di Jurug, Jagalan, kompleks BPM-Balapan, serta markas artileri medan di Banjarsari.
Sekitar pukul 15.00, Belanda melakukan serangan balasan dengan menggunakan pesawat terbang yang langsung melakukan pengeboman secara membabi buta dan menimbulkan banyak korban sipil.
Senin pagi, 8 Agustus 1949 sejak subuh pertempuran telah kembali berkobar. Ternyata dalam kegelapan malam, para gerilyawan telah memutuskan saluran komunikasi antar markas Belanda.TNI membantu serangan itu dengan memasang berbagai rintangan di jalan-jalan di sekitar daerah Pasar Kembang. Terdapat 26 orang, termasuk wanita dan anak-anak yang berhasil ditangkap pihak Belanda, 24 di antaranya dihabisi. Pada saat itulah seluruh pasukan dari SWK (Sub Wehrkreis) 100 sampai 105 mulai dikerahkan untuk membantu serangan hari pertama dengan sasaran seluruh kota Solo dan Letnan Kolonel Slamet Riyadi mulai memegang komando mengantikan Mayor Akhmadi.
Untuk membantu pasukanya yang terjebak di Solo, Belanda bahkan mulai mengerahkan 2 Bomber (tdk diketahui jenisnya) dan 4 pesawat P-51 ditambah pasukan para yang diterjunkan ke Lanud Panasan (Adisoemarmo sekarang). Tapi bantuan ini gagal mengubah arah pertempuran di mana Tentara Belanda di Solo makin terkepung dan hampir seluruh bagian kota Solo dikuasai oleh TNI. Semangat tempur pasukan Belanda menjadi semakin luruh ketika dalam keremangan pagi mereka melihat bendera Merah putih telah berkibar di kampung-kampung.
Pada hari ketiga tanggal 9 Agustus 1949 Belanda mendatangkan pasukan dari Semarang yaitu pasukan Infanteri, Kavaleri berikut Pasukan Baret Hijau. Tapi konvoi bantuan tersebut tidak dapat memasuki Kota Solo karena terhalang rintangan jalan dan dihadang pasukan TNI di Salatiga dan Boyolali. Belanda juga semakin membabi-buta dalam membalas serangan, dibantu oleh pasukan KST (Korps Spesiale Troepen), menembak setiap lelaki yang dijumpainya. Dalam peristiwa ini, seorang komandan regu Seksi I Kompi I, Sahir gugur di daerah pertempuran Panularan.
Puncak serangan terjadi pada tanggal 10 Agustus 1949 dengan ikut sertanya pasukan TNI Brigade V yg dipimpin oleh Letkol Slamet Riyadi. Sejak pagi hari sampai tengah malam mereka bahu-membahu bersama Tentara Pelajar menghajar semua pertahanan Belanda. Pertempuran itu terus berlangsung hingga tengah malam, menjelang dimulainya masa gencatan senjata pada pukul 00.00 WIB tanggal 11 Agustus 1949.
Sementara itu pihak tentara Belanda, sebagai pembalasan atas tewasnya 2 (dua) anggota KL, pada hari yang semestinya sudah berlaku gencatan senjata, yaitu pukul 11.00 WIB memaksa keluar rumah baik penduduk lelaki mau pun wanita, untuk kemudian membantainya, serta membakar rumah warga. Peristiwa ini terjadi di daerah Pasar Nangka. Tercatat 36 nyawa melayang akibat tindakan ini, termasuk 5 wanita dan seorang bayi.
Pertempuran selama 4 hari itu sangat mengejutkan Kolonel Ohl, Komandan Tentara Kerajaan (Koninjkle Leger) di Kota Solo. Dia sama sekali tidak menduga bahwa pasukan Republik masih mampu melakukan serangan militer dalam skala besar.
Gencatan Senjata yang disepakati jam 00.00 tanggal 11 Agustus 1949 diciderai pihak Belanda dengan pembantaian di markas PMI (Palang Merah Indonesia) di nDalem dr Padmonagoro-Gading, oleh pasukan Baret Hijau (Green Cap) atau KST.
Adalah kediaman dr. Padmonegoro, ketua PMI cabang Surakarta sekaligus dr Karaton Kasunanan yang menjadi sasaran serangan itu, saat itu menjadi tempat mengungsi sebagian penduduk sekitar.
Kekejaman tentara Baret Hijau Belanda ditunjukkan dengan membantai para pengungsi dengan tanpa melepaskan tembakan sama sekali, namun dengan cara menyembelihnya.
Dalam pembantaian dini hari ini, tercatat 14 petugas PMI gugur, ditambah 8 (delapan) orang pengungsi tewas, sementara 3 orang lainnya yang juga menjadi korban penyembelihan tidak sampai tewas.
Serangan Umum tersebut (8 Pebruari 1949, 2 Mei 1949 dan 7 – 10 Agustus 1949 sebagai puncaknya) yang kala itu terbukti berhasil memperkuat posisi tawar politik perjuangan diplomasi delegasi Republik Indonesia di Konferensi Meja Bundar (KMB), Den Haag, sehingga berujung dicapainya Kedaulatan Republik Indonesia 27 Desember 1949 setelah Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945.
Hal ini terjadi karena Belanda sadar bila mereka tidak akan mungkin menang secara militer, mengingat Kota Solo yang merupakan kota yang pertahanannya TERKUAT pada waktu itu berhasil dikuasai oleh TNI yang secara peralatan lebih tertinggal tetapi didukung oleh rakyat, tentara pelajar dan dipimpin oleh pemimpin yang andal seperti Letkol Slamet Riyadi dan Mayor Achmadi.
Serangan Umum terhadap Solo juga menyebabkan keluarnya perintah untuk mengosongkan wilayah yang berhasil diduduki Belanda dan dikumpulkan di Jakarta, Semarang, Surabaya dan Medan untuk dipulangkan ke Belanda.
Kota Sala Kota Perjuangan!
Sejarah telah mencatat prestasi gemilangnya.
Tinggal kita sekarang generasi penerusnya untuk mengambil inspirasi dan Tidak melupakan “Peristiwa Serangan Umum Empat Hari” di Kota Sala, 7 – 10 Agustus 1949.
*dari berbagai sumber