
HOS Tjokroaminoto: Hanoman Jagoan Pidato
Dari atas mimbar, Tjokroaminoto menyihir ribuan orang. Gaya orasinya ditiru Bung Karno.
Kemunculannya meredakan riuh puluhan ribu peserta kongres Sarekat Islam di Suramut di taman kota Stadstuin, sekarang menjadi Tugu Pahlawan, perhatian mereka terpusat pada satu orang: Raden Mas Oemar Said Tjokroaminoto. Berperawakan tegap, Tjokro membuka suara, “Bangsa Indonesia tak boleh lagi dianggap seperempat manusia.”
Dalam berbagai kesempatan, Tjokro selalu meminta pemerintahan sendiri bagi Hindia. Menurut sejarawan Anhar Gonggong, pada masa itu tuntutan semacam itu sangat berbahaya. Tapi Tjokro menggunakan kesempatan yang diberikan pemerintah Belanda: pecabutan larangan rapat politik. “Tjokroaminoto menunjukkan kecerdasannya sebagai politikus,” kata Anhar dalam Tjokroaminoto, Proyek Biografi Pahlawan Nasional, 1975.
Tjokroaminoto mempunyai perawakan tegap. Ia tergolong tinggi untuk ukuran tubuh orang Indonesia. Matanya dalam dengan sorot yang tajam. Ia memiliki dahi yang lebar dan tinggi. Peneliti Amelz menyebut Tjokro sebagai pribadi yang keras hati, berpendirian teguh, dan tidak mudah ditaklukkan.
Tjokro ahli pidato. Biacaranya lempeng, lurus dan tegas. Ia menguasai bahasa Belanda, Inggris, Jawa, dan Melayu. Peneliti Amelz dalam Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuanganja mengatakan Tjokro memiliki suara menggeledek, penuh keyakinan. “Pidatonya membawa khalayak menjadi gefascineerd, mabuk tergila-gila,” Amelz menulis. Meski demikian, pidato Tjokro disebut-sebut tak mengandung humor.
Menurut Anhar Gongong, Sukarno meniru gaya pidato Tjokroaminoto. Sukarno memang rajin mengamati teknik orasi Ketua Sarekat Islam itu. Anhar mendapat pengakuan dari anggota Sarekat Islam, Resoramli, yang pernah melihat pidato Tjokro. Dalam beberapa pidato, Tjokro membaca teks, tapi daya ingatnya tidak pudar. “Kalau dia sudah bicara, tak ada orang bersuara,” kata Anhar.
Peneliti Indo-Belanda P.F. Dahler menyebut Tjokroaminoto “pekerja yang keras hati dan tak kenal lelah. Ia mempunyai suara yang indah dan berat. Mudah didengarkan beribu pendengar. Pidatonya lancar dan penuh keyakinan. Semua seolah terpaku pada bibirnya”.
Tentang hal ini ada cerita. Pernah suatu ketika, dalam rapat Partai Sarekat Islam Indonesia, seorang perusuh berteriak-teriak mengganggu sidang. Setiap kali ada yang berbicara, pengacau itu membuat gaduh. Melihat suasana tak enak, Tjokro berdiri. “Diam!” katanya. Seketika suasana hening.
Salah satu orang yang pernah berguru pada Tjokro adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, biasa disapa Hamka. Ketika berusia 18, Hamka belajar kepada Tjokro dalam kursus bagi anggota pemula Sarekat Islam. Bagi kalangan intelektual Minangkabau, Tjokroaminoto bukan nama yang asing.
Selama mengajar Hamka dan kawan-kawan, Tjokro selalu meminta ruangan luas. Tjokro tak mau terikat mimbar sempit. Ia menerangkan pelbagai hal sosialisme dalam Islam dan keadaan politik dalam negeri. Hamka menilai Tjokro sebagai orator dan agigator yang layak di tempat yang lebih besar, bukan hanya di ruangan kelas. “Suaranya lantang besar, memancar dari sinar jiwa dan sanubarinya,” kata Hamka.
Tjokro pandai menabuh gamelan. Sejak kecil ia menyukai tari Jawa-kesenianwajib di sekolah pegawai negeri pribumi Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA). Tjokro juga sangat tertarik pada wayang. “Dalam hal pidato, bisa jadi belajar dari wayang,” kata Muhammad Basyir, cucu Tjokroaminoto, dalam diskusi di kantor Tempo.
Harsono, Anak Tjokroaminoto, dalam Mengikuti Jejak Perjuangan Sang Ayah, menyebut ayahnya pernah berperan sebagai Hanoman. Kera putih itu adalah lambang keberanian.
Keberanian Hanoman dipraktekkan Tjokroaminoto di pengadilan. Ketika itu, dalam sebuah sidang, hakim Belanda bertanya: “Apakah Tuan Tjokro tahu berhadapan dengan siapa?” Hakim itu menukas lagi, “Tuang sedang berhadapan dengan Ketua Pengadilan Tinggi Belanda.” Tjokro menjawab tenang. “Tahukah Tuan sekarang duduk di hadapan siapa? Ketua Sentral Sarekat Islam Seluruh Indonesia.”
Sumber: Majalah TEMPO, 21 Agustus 2011.