
Pertemuan IKPNI, Bicara Bung Tomo dan Informal Bicara BM Diah
Hari Jumat, 27 Mei 2016 di Lippo Mall Kemang diselengagarkanlah pertemuan di antara Pengurtus Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia (IKPNI). Hadir dalam pertemuan tersebut, Ibu Lily Chodidjah Wahid (adik perempuan Gus Dur), Bapak Ir. Witjaksono Muwardi (anaknya alm. Bapak Muwardi yang sekaligus Ketua Umum IKPNI, juga hadir Sekjen IKPNI, Ir.H.Agustanzil Sjahroezah,MPA (Cucu Pak Agus Salim).
Di samping itu sebagai pemrakarsa pertemuan, juga hadir di tempat tersebut, Bapak Rohadi Subardjo (anaknya Pak Subardjo). Saya sendiri (Dasman Djamaluddin) hadir karena diundang. Begitu pula Wahyu Dhyatmika (Redaktur Pelaksana Majalah Tempo.co).
Dalam suasana santai tetapi serius, pertemuan tersebut mulai membicarakan masalah-masalah berbangsa yang sedang berkembang di tanah air. Disimpulkan hanya satu pembicaraan yang sangat dominan mendominir diskusi, yaitu tentang dibongkarnya Rumah Radio Bung Tomo di Surabaya.
Ini merupakan masalah utama sekali dibicarakan dengan IKPNI yaitu tentang tindak lanjut surat yang ditujukan kepada Menteri Sekretaris Negara, Bapak Prof.Dr.Pratikno,M.Soc.Sc tertanggal 23 Mei 2016 tentang protes disertai penyesalan atas dirobohkannya Rumah Radio Bung Tomo di Jalan Mawar 10 dan 12 Surabaya yang juga telah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya . Cagar budaya itu dibongkar sejak sebulan lalu. Kini kondisinya rata dengan tanah.
Saya mengusulkan, mengapa tidak dipublikasi ke masyarakat, karena bukankah Bung Tomo sudah merupakan milik bangsa Indonesia. Usul saya tersebut kemudian disetujui di dalam pertemuan tersebut. Apalagi bangunan yang dibongkar sudah menjadi cagar budaya dan telah ditetapkan melalui SK Wali Kota Surabaya No 188.45 tahun 1998. Bangunan ini merupakan bangunan bersejarah ketika Bung Tomo mengobarkan semangat arek-arek Suroboyo dan Ktut Tantri menyiarkan perjuangan ini ke dunia internasional pada 10 November 1945 sehingga hari bersejarah tersebut ditetapkan pemerintah sebagai Hari Pahlawan.
Dari ruang itulah, mereka menggelorakan Perang 10 November di Surabaya. Ratusan ribu pejuang turut mengangkat senjata untuk berperang melawan penjajahan Belanda hingga Surabaya disebut Kota Pahlawan. Jadi rumah tersebut sangat berpengaruh besar terhadap julukukan kota Surabaya sebagai Kota Pahlawan.
Sebelumnya, putra pahlawan Bung Tomo sendiri Bambang Sulistomo, telah melakukan protes pada hari Senin, 9 Mei 2016. Ia memimpin aksi protes di Surabaya.Dengan nada yang sedikit keras, Bambang mengatakan bahwa pembongkaran cagar budaya Bung Tomo merupakan bentuk pengkhianatan kepada nilai-nilai perjuangan bangsa Indonesia. Bahkan Bambang meminta, agar siapa pun yang membongkar bangunan itu harus ditindak dan diproses secara hukum.
Bung Tomo yang nama aslinya Sutomo, memang asli arek Suroboyo. Lahir di Surabaya, Jawa Timur, 3 Oktober 1920 dan meninggal dunia di Padang Arafah, Arab Saudi, 7 Oktober 1981 pada usia 61 tahun.
Pada masa perjuangan, istilah Bapak memang tidak lazim digunakan. Istilah yang populer waktu itu, “Bung.” Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan bung-bung yang lain. Hal ini untuk menunjukan semangat kebersamaan di masa era perjuangan. Semuanya sejajar dan memiliki semangat serta cita-cita yang sama di era perjuangan. Sehingga nama Bung Tomo pun lebih populer disebut dari pada nama aslinya Sutomo.
Di samping bicara formal, Bapak Rohadi Subardjo dan Ibu Lily Wahid berbincang-bincang secara informal dengan saya tentang usulan gelar Pahlawan Nasional untuk alm.Pak BM Diah (Burhanuddin Muhamad Diah) . Awalnya usulan ini berasal dari Pak Rohadi Subardjo dan sudah tentu saya sambut dengan baik, karena sebelumnya saya pun sudah kagum tentang tokoh pers BM Diah tersebut.
BM Diah adalah tokoh Pers Indonesia yang sangat besar jasanya menyebarkan teks proklamsi dan hadir pada malam 17 Agustus 1945 di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda (sekarang Rumah Maeda menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Jalan Imam Bonjol No.1 Jakarta Pusat). Di malam itu hadir para tokoh-tokoh, Bung Karno, Bung Hatta dan tokoh-tokoh perjuangan lainnya yang ikut merumuskan teks Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia untuk dibacakan pada esok harinya pada 17 Agustus 1945.
BM Diah adalah juga tokoh Pers Indonesia. Ia mendirikan koran perjuangan Merdeka pada 1 Oktober 1945. Di samping pernah menjadi Menteri Penerangan RI dan Duta Besar Indonesia di Cekoslowakia, Hongaria, Inggris, dan Thailand.
Sumber: https://www.kompasiana.com/dasmandjamaluddin/pertemuan-ikpni-bicara-bung-tomo-dan-bm-diah_574b8f743697730d0dde2b0d