Menu
PAHLAWAN NASIONAL

Robert Wolter Monginsidi

Berdasarkan: Keppres No. 088/TK/TH. 1973., 6 November 1973

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 berkumandang di seluruh penjuru tanah air. Gemanya membangkitkan para rakyat pejuang bangsa yang sudah lama bersiap menunggu komando untuk merebut dan menegakkan kemerdekaan.

Di Sulawei Selatan para pemuda pejuangpun bangkit dan bersatu menyonsong hari depan yang mulia itu, tetapi kaum penjajah Belanda segera datang ke Indonesia dan ingin kembali menguasai tanah air dan bangsa Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, seluruh bangsa kita sudah bertekad “Merdeka atau Mati”. Diantara pejuang itu, ialah Robert Wolter Monginsidi seorang pahlawan Bangsa yang kemudian gugur di depan regu tembak Belanda.

Robert Wolter Monginsidi dilahirkan pada tanggal 14 Februari 1925 di desa Malalayang, tidak jauh dari kota Manado. Robert Wolter Monginsidi adalah putra ketiga dari Petrus Monginsidi. Ibunya bernama Lina Suawa, dalam lingkungan keluarga dan teman-teman akrabnya, ia biasa dipanggil Bote.

Keluarga Petrus Monginsidi orang tua Robert, bukanlah keluarga yang kaya. Ayah Robert hanyalah seorang petani kelapa, tetapi bercita-cita luhur. Anak-anaknya disekolahkan sejauh dan setinggi mungkin. Robert mula-mula bersekolah di Hollands Inslanche School (HIS – setingkat dengan SD). Sejak kecil ia adalah anak yang gagah, tampan, keras kemauan dan cerdas. Sesudah tamat dari HIS ia melanjutkan ke MULO, yaitu SMP pada jaman Hindia Belanda.

Pada jaman kedudukan Jepang, mula-mula Robert belajar bahasa Jepang (Nihonggo Gakko). Ia memang berbakat pada bahasa asing dan karena itu lulus dengan memuaskan. Ia lalu diangkat sebagai guru pada kursus bahasa Jepang padahal usianya masih muda. Mula-mula ia mengajar di Liwutung (Minahasa), lalu dipindahkan ke Luwuk (Sulawesi Tengah).

Robert gemar membaca dan pandai berbahasa Belanda, Inggris dan Jepang tetapi ia masih ingin belajar, karena itu ia meninggalkan pekerjaannya sebagai guru dan memasuki Sekolah Menengah Pertama di Ujung Pandang.

Ketika pasukan Jepang menyerah pada perang Asia Timur Raya dan Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan, Robert Walter Monginsidi sedang berada di Rantepao, Tana Toraja. Ia segera menuju ke Ujung Pandang dan bergabung dengan para pemuda pejuang. Ia bertekad untuk membela Negara Republik Indonesia, dan melawan pasukan penjajah yang datang untuk menguasai tanah air dan bangsa kita. Robert Walter Monginsidi terkenal seorang pemuda yang bersemangat dan cinta tanah air dan bangsa.

Bersama-sama dengan para pemuda pejuang di Sulawesi Selatan, Robert Walter Monginsidi menyusun rencana perlawanan dan pertahanan, demikian pula kawan-kawan sekolah di SMP Nasional Ujung Pandang giat membantu perjuangan. Mereka menempelkan plakat-plakat perjuangan di seluruh kota, bahkan di depan tangsi pasukan NICA/Belanda .

Robert Walter Monginsidi bersama dengan Maulwi Saelan dan kawan-kawannhya memimpin Barisan Angkatan Muda Pelajar yang bertindak dengan keberanian di tengah-tengah pasukan Belanda. Pada tanggal 17 Oktober 1945, seluruh kekuatan pemuda pejuang di Ujung Pandang dipusatkan untuk mengadakan serangan umum. Robert Walter Monginsidi juga ikut mengambil peranan penting. Para pemuda pejuang akan merebut tempat-tempat strategis, bangunan-bangunan vital dan gedung-gedung penting yang telah diduduki tentara Belanda. Mereka akan menyerbu Stasiun Pemancar Radio Makasar, Tangsi Belanda di Mariso, Stasiun Radio di Mattoanging, Stasiun Radio di Mara Dekaya, Tangsi dan Kantor Polisi NICA.

Robert Walter Monginsidi dan kawan-kawannya para pelajar SMP mendapat tugas menyerbu Hotel Empresdadn menagkapi para perwira Belanda, mereka juga bertugas membuat barikade di jalan-jalan. Tepat jam 05.00 pagi, tanggal 20 Oktober 1945 mulai terdengar tembak-menembak di jalan Gowa. Pagi itu sudah terjadi pertempuran di seluruh penjuru kota Ujung Pandang. Stasiun radio di Mattoanging dan Maradekaya telah dapat dikuasai para pemuda. Mula-mula pasukan Australia yang bersenjata lengkap itu bersikap menonton saja. Mereka tidak berbuat apa-apa. Tetapi pasukan Belanda berhasil membujuk dan mempengaruhi pasukan Australia. Akhirnya pasukan Australia ikut campur melawan serbuan para pejuang.

Merek menyerbu markas pejuang di Jonggaya pada siang hari jam 11.00. pasukan Australia memmiliki senjata lengkap dan modern, sedangkan pemuda pejuang bersenjata sederhana dan seadanya. Tentu saja sungguh berat melawan pasukan Australia itu. Meskipun demikian para pemuda melawan dengan semangat tinggi. Dalam pertempuran itu banyak pemuda pejuang yang gugur, dan 46 pemuda ditangkap tentara Sekutu (Australia) termasuk Robert Walter Monginsidi. Beruntunglah Robert Walter Monginsidi mahir berbahasa asing dan dengan kepandaiannya berdiplomasi, Robert Walter Monginsidi dapat meyakinkan para perwira Australia itu bahwa mereka itu adalah pemuda pejuang yang sedang menegakkan kemerdekaan bangsa dan tanah airnya, akhirnya mereka yang ditangkap itu dibebaskan.

Sementara itu pasukan NICA Belanda terus melancarkan pengejaran terhadap para pejuang, terpaksalah para pejuang mengundurkan diri dari kota dan membentuk markas-markas di daerah-daerah seperti Plongbangkeng, Jeneponto, Bulukumba, Bantaeng, Palopo, Kolaka, Majene, Enrekang dan Pare-Pare. Dari markas-markas daerah itu, seringkali pemuda memasuki kota mengadakan aksi penyerangan. Mereka menculik dan membunuh mata-mata kaki tangan Belanda, sebaliknyha pasukan Belanda sering pula melancarkan serangan ke daerah-daerah untuk menghajar dan menghancurkan kekuatan pemuda. Diantara para pejuang itu, maka para pelajar SMP Nasional yang menduduki tempat dan memperoleh nama yang baru. Mereka seringkali mengadakan gerakan yang merugikan pasukan Belanda terutama sekali pemuda Robert Walter Monginsidi. Ia sangat berani dan bergerak sangat lincah, karena itu menjadi sasaran pasukan Belanda.

Robert Walter Monginsidi menggabungkan diri pada pasukan Ronggeng Daeng Rono yang bermarkas di Plongbangkeng. Ia bertugas sebagai penyidik, karena mahir berbahasa asing dan mempunyai wajah yang mirip orang Indo-Belanda.

Robert Walter Monginsidi sering kali memasuki kota Ujung Pandang seorang diri, ia menyamar sebagai anggota tentara Belanda, ditengah jalan ia menghentikan Jeep tentara Belanda lalu ikut menumpang. Di tengah jalan Robert Walter Monginsidi segera menodongkan pistolnya kea rah pengemudi yang dibuatnya tidak berdaya, senjatanya dirampas dan demikian pula mobilnya.

Pada hari yang lain ia memasuki markas Polisi Militer Belanda dan menempelkan plakat berisi ancaman yang ditanda-tanganinya sendiri. Dapatlah dibayangkan betapa terkejutnya tentara Belanda itu. Nama Robert Walter Monginsidi bagaikan hantu yang sangat ditakuti oleh pasukan Belanda.

Berkali-kali ia melakukan aksi dan selalu berhasil. Robert Walter Monginsidi adalah seorang pejuang yang selalu bersungguh-sungguh, ia pun seorang pemimpin yang tangguh. Pada tanggal 17 Juli 1946, Robert Walter Monginsidi bersama-sama dengan para pemuda pejuang lainnya mendirikan organisasi perjuangan bernama Lasykar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), terdiri dari 19 satuan perjuangan. Ranggong Daeng Romo menjadi panglima dari barisan LAPRIS ini, sedangkan Robert Walter Monginsidi diserahi tugas Sekretaris Jenderal yang langsung memimpin operasi. Adapun program perjuangan LAPRIS ialah :

  1. Membasmi dan membersihkan mata-mata serta kaki tangan NICA (Belanda)
  2. Menggangu lalu lintas dengan menghadang mobil tentara dan polisi Belanda, menghalangi kendaraan yang mengangkut barang dan bahan untuk kepentingan Belanda.
  3. Membakar dan memusnahkan rumah serta bangunan vital milik Pemerintah dan tentara Belanda.
  4. Merampas senjata musuh.

Robert Walter Monginsidi tidak tinggal di markas saja, tetapi ia langsung memberi contoh di lapangan, ia bergerak di sekitar kota Makasar (Ujung Pandang), Woga, Jeneponto, Malino dan Camba. Wolter sendiri langsung memimpin pasukan Harimau Indonesia (HI). Pada tanggal 3 November 1946, dalam suatu pertempuran di kota Barombong, Robert Walter Monginsidi terluka dan terpaksa mengundurkan diri untuk sementara. Sesudah sembuh, ia kembali melakukan aksi-aksi penyerangan lagi. Pada tanggal 21 Januari 1947, di Kassi-Kassi, terjadi pertempuran, disini gugur Emmi Saelan seorang pejuang putri yang sempat menewaskan delapan orang tentara Belanda dengan granat yang diledakkannya, tetapi Robert Walter Monginsidi dapat meloloskan diri dari kepungan Belanda yang ketat itu.

Belanda makin gentar menghadapi Robert Walter Monginsidi, mereka memberi pengumuman, siapa yang dapat menangkap Robert Walter Monginsidi hidup atau mati, akan diberikan hadiah, tetapi Robert Walter Monginsidi tidak pernah berhasil ditangkap.

Pasukan Belanda makin hari makin memperkuat penekanannya terhadap para pemuka pejuang. Banyak diantara mereka yang tertangkap, gugur atau meninggalkan Sulawesi Selatan menuju Pulau Jawa. Jumlah pemuda pejuang makin tipis, tetapi Robert Walter Monginsidi tetap berdiri dengan teguh, “Saya berani berjuang untuk nusa dan bangsa, karena itu pula saya harus berani menanggung akibatnya”. Ia tetapi kuat dengan pendiriannya bahkan ia sering berjuang seorang diri mengacau pasukan Belanda yang terlatih dengan modern itu.

Pasukan Belanda makin mengganas untuk menekan perlawanan dan perjuangan rakyat Sulawesi Selatan, Belandan melakukan pembunuhan besar-besaran  yang dipimpin oleh Algojo yang terkenal bengisnya, yaitu Kapten Raymond Paul Pierre Westerling. Belanda mengancam, barang siapa yang menyembunyikan, membantu dan melindungi kaum pejuang yang bergerilya di daerah, maka mereka kan dibunuh. Puncak tindakan sewenang-wenang Westerling telah terjadi pada bulan Desember 1946. Mereka melakukan pembersihan dengan cara besar-besaran dan tanpa peri-kemanusiaan sehingga puluhan ribu rakyat tua-muda, laki, perempuan yang terbunuh secara massal, tidak kurang dari 40.000 jiwa telah menjadi korban keganasan pasukan Westerling selama waktu itu. Selama itu Robert Walter Monginsidi selalu dapat meloloskan diri dari kepungan pasukan Belanda. Namun pada tanggal 28 Februari 1947 merupakan hari naas baginya. Pada hari itu Robert Walter Monginsidi tertangkap oleh pasukan Belanda dan kemudian dimasukkan ke penjara di Hoogepod Ujung Pandang. Di penjara itu Belanda membujuknya agar melepaskan perjuangannya dan kalau bersedia akan diberi hadiah-hadiah dan kedudukan y ang menggiurkan. Tetapi Wolter tetap menolak, ia berkata “Tetap setia pada cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Berani berjuang untuk kepentingan nusa dan bangsa dan berani pula menanggung segala akibatnya”.

Sementara itu kawan-kawan Wolter di luar berjuang keras untuk membebaskannya dari penjara. Mereka menyelundupkan 2 buah granat tangan yang dimasukkan ke dalam makanan kiriman. Bersama dengan Abdullah, Lahade, Yoseph dan Lewa Daeng Matari, Robert Walter Monginsidi dengan bersenjatakan 2 granat berhasil lolos dari penjara dengan melalui atap dapur pada tanggal 19 Oktober 1946. Alangkah marahnya pasukan Belanda melihat sel-sel penjara tempat Wolter dan kawan-kawannya itu sudah kosong, mereka lalu mengerahkan segenap kemampuannya untuk mencari Wolter.

Rupanya sudah ketentuan Tuhan Yang maha Esa, hanya sembilan hari Robert Walter Monginsidi dapat menghirup udara kemerdekaan. Pada jam 05.00 pagi hari tanggal 26 Oktober 1948 selagi Wolter berada di Klapperkan Lorong 22  A No. 3, Kampung Maricayya, Ujung Pandang, ia disergap oleh pasukan Belanda, karena ada yang mengkhianatinya.

Wolter dimasukkan lagi dalam penjara Polisi Militer Belanda dan dijaga dengan sangat ketat, Belanda tidak ingin Harimau Indonesia ini lepas untuk kedua kalinya dari penjara. Mereka menyiksa Wolter dengan berbagai cara, tetapi tetap teguh pada pendiriannya. Ia adalah seorang pemimpin sejati. Semua tindakan kawan-kawannya diakui sebagai tanggung jawabnya. Kemudian Wolter dipindahkan ke penjara KIS (Kiskampement). Sungguh luar biasa, walaupun Wolter mengetahui apa yang akan terjadi dengan dirinya, dan hukuman apa yang akan diterimanya, namun ia tetap tabah dan tampak ketenangan jiwanya.

Robert Walter Monginsidi adalah pemeluk agama Kristen, sejak kecil ia sudah mendapatkan bekal dan bimbingan iman kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Pengaruh iman dan agama itu terlihat betul pada Wolter yang baru berusia 23 tahun. Ia semakin tenang dan bertawakal, sama sekali tidak terlihat rasa takut dan kegoncangan jiwanya. Ia banyak membaca dan menulis surat pada masa itu. Wolter bersikap pasrah, keikhlasannya terlukis dalam kata-katanya “Aku telah relakan diriku untuk menjadi korban dengan keinsyafan untuk memenuhi kewajiban dengan masyarakat ini dan yang akan datang”.

Tentu saja ia mengalami pemeriksaan Polisi Militer Belanda dengan caranya yang keras dan kejam, namun Wolter tak gentar oleh ancama dan siksaan. Tekadnya telah bulat, bahwa ia berani menanggung segala akibat perjuangannya, “Dan saya tunduk pada bathin saya”, katanya.

Pada tanggal 26 Maret 1949, Wolter diajukan ke muka pengadilan Kolonial Belanda. Pada akhirnya ia dijatuhi hukuman mati, tetapi Wolter tetap tabah dan berjiawa kstaria, ia berkata “Aku tidak mengandung perasaan tidak baik terhadap siapapun, juga terhadap mereka yang menjatuhkan hukuman yang paling berat ini kepadaku, karena kupikir mereka tidak mengetahui apa yang mereka kerjakan”. Wolter benar-benar bersikap ikhlas pada nasib dan perjuangannya. Ia meninggalkan ucapan “Apa yang bisa saya tinggalkan hanya rokh ku saja yaitu rokh setia hingga terakhir pada tanah air dan tidak mundur sekalipun, menemui rintangan apapun menuju cita-cita kebangsaan yang tetap. Terbatas dari segala pikiran ini, junjunganku senantiasa Tuhan Yang Maha Kuasa, dan dengan kepercayaan yang disebut belakangan ini, sangguplah saya tahan segala-galanya, teguh iman di dalam kesukaran, tenang ketika keadaan sederhana dan tidak melupakan kenalan-kenalan jika berada dalam kemajuan”.

Robert Walter Monginsidi telah diputuskan oleh kolonial Belanda untuk dijatuhi hukuman mati, berbagai pihak menganjurkan agar ia meminta pengampunan atau grasi kepada pemerintah Belanda bahkan secara diam-diam ayahnya sendiri, terdorong oleh rasa kasih sayang kepada puteranya, telah memintakan grasi. Tetapid Robert Walter Monginsidi sendiri telah menolak untuk meminta grasi itu. Ia sudah benar-benar merelakan akibat dari perjuangannya itu.

Ternyata pemerintah Belanda memang menolak grasi tersebut. Robert Walter Monginsidi sendiri setelah mendengar grasi itu ditolak tetap tenang. Ia berkata “Memang betul, bahwa ditembak bagi saya berarti ada kemenangan bathin, dan dihukum apapun tidak ada membelenggu jiwa sebab kegembiraan di dalam keyakinan sendiri memang adalah luas”. Akhirnya Robert Walter Monginsidi ditembak mati dihadapan regu tembak pada tanggl 5 September 1949 dini hari, disuatu tempat di daerah Pacinang, wilayah Talo Kecamatan Panakukang, delapan kilometer jauhnya dari kota Ujung Pandang. Ia adalah seorang pahlawan bangsa, ia ditembak tanpa ditutup matanya, dengan memegang kitab injil di tangan kirinya dan tangan kanannya mengepalkan tinju sambil berteriak “MERDEKA ATAU MATI”, lima menit sebelum Pahlawan Robert Walter Monginsidi masih dengan tenang menulis kalimat penghabisan sebagai pesan kepada generasi penerus bangsa “SETIA HINGGA TERAKHIR DALAM KEYAKINAN”. Ditanda-tangani 5 September 1949.

IKATAN KELUARGA PAHLAWAN NASIONAL INDONESIA

Meneguhkan Persatuan Bangsa yang Berdaulat, Adil, dan Makmur

WEB TERKAIT

Informasi

Hubungi Kami

Kementerian Sosial, Gedung C, Lantai Dasar
Jl. Salemba Raya No. 28, Jakarta Pusat
IKPNI.com merupakan situs resmi yang diakui oleh Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia. Seluruh konten serta opini dalam situs ini berdasarkan fakta-fakta yang tersedia, namun tidak mewakili pendapat Inspira Mediatama. Konten dalam situs ini sebaiknya tidak dijadikan dasar oleh pembaca dalam mengambil keputusan komersial, hukum, finansial, atau lainnya. Pada artikel yang sifatnya umum, pembaca disarankan mencari pendapat dari profesional sebelum menanggapi dan mengoreksi konten informasi yang dipublikasi jika mungkin tidak sesuai dengan pandangan pembaca. Publisher tidak bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaian yang tayang, bagaimanapun disebabkan. Website ini dibuat untuk IKPNI dengan hak cipta. Kepemilikan merek dagang diakui. Dilarang menyalin, menyimpan, atau memindahkan dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari publisher.
Kilas Sejarah Hari Ini
5 Oktober 2004

Sulawesi Barat menjadi provinsi sendiri

Sejak tahun 1960, pembentukan Provinsi Sulawesi Barat telah diperjuangkan namun ditolak pada 1963 ketika pemerintah pusat justru membentuk Provinsi Sulawesi Tenggara. Momentum pembentukan provinsi baru ini mencuat setelah gerakan reformasi 1998, tepatnya pada tahun 1999. Perjuangan panjang ini akhirnya menemui...

Selengkapnya...
Sulawesi Barat menjadi provinsi sendiri ( 5 Oktober 2004 )
1
"Hallo, Admin. Website IKPNI."
Powered by