Raja Haji Fisabilillah
Raja Haji dilahirkan di Hulu Sungai Kota Lama, kira-kira tahun 1727. Sewaktu ayahnya wafat tahun 1744, Raja Haji berusia 19 tahun. Karena itu oleh Sultan dipilih Daeng Kamboja, putra Daeng Manwah sebagai yang Dipertuan Muda III sedangkan Raja Haji diangkat sebagai Engku Kelana, yang bertugas mengatur pemerintahan dan menjaga keamanan seluruh wilayah kerajaan.
Ketika masih menjadi Engku Kelana, Raja Haji sudah terlibat dalam pertempuran dengan pihak Belanda (Perang Linggi 1756 – 1758). Selama menjadi Kelana, Raja Haji mengasah pengalaman sampai masuk untuk menjadi pemegang kekuasaan yang paling menentukan di seluruh Kerajaan Riau, Johor. Dari sumber sejarah local maupun sumber-sumber asing menyatakan bahwa sejak Raja Haji menjadi Yang Dipertuan Muda Riau IV pada tahun 1777, Kerajaan Riau – Johor mengalami kemajuan pesat di bidang ekonomi, pertahanan, sosial budaya dan spriritual.
Pada awal pemerintahannya, Raja Haji mengadakan perjanjian dengan Belanda. Salah satu isinya ialah mengenal kapal asing yang disita Belanda atau kerajaan Riau harus dibagi dua antara Belanda dan Riau. Ternyata perjanjian tersebut dilanggar Belanda.
Usaha Raja Haji untuk mengadakan pembicaraan dengan Gubernur Belanda di Malaka mengalami kegagalan. Pada tanggal 6 Januari 1784 pasukan Belanda mendarat di Pulau Penyengat. Tanggal 27 Januari 1784 seluruh kekuatan Belanda ditarik ke Malaka. Pada tanggal 13 Februari 1784, Raja Haji mengarahkan pasukannya untuk menyerang Malaka, mendarat di Teluk Kepatang. Bantuan datang dari pasukan Sultan Selangor, Raja Haji mulai menyerang.
Dalam situasi yang sangat kritis, Belanda mendapat bantuan dari armada yang dipimpin oleh Jacob Pieter Van Braam yang sedianya akan berlayar ke Maluku. Pertempuran meletus pada tanggal 18 Juni 1784, Raja Haji gugur dalam pertempuran tersebut bersama kurang lebih 500 orang pasukannya.
Nilai Kepribadian Luhur yang Dimiliki
Seorang pemimpin yang amat konsisten dalam sikapnya menghadapi penjajah, teguh memegang prinsip dan konsekuen dalam bersikap, bertindak dan berprilaku. Berbagai cara dilakukannya untuk membela bangsa dan negaranya.
Makam Raja Haji Fisabilillah
Makam ini terletak di Bukit Bahjah Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau. Lokasi makam ini berada di sebelah tenggara Kompleks Makam Engku Putri Raja Hamidah ± 550 m.
Raja Haji Fisabilillah adalah putra Daeng Celak Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau II (1729-1746) dari ibu Tengku Mandak, adik Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Ia dilahirkan di Hulu Riau (Kota Lama) sekitar tahun 1727. Raja Haji Fisabilillah mempunyai beberapa orang saudara seayah. Di antaranya yang terkenal ialah Raja Lumu yang kemudian menjadi Yang Dipertuan Selangor dengan gelar Sultan Salehuddin. Ia mempunyai beberapa orang anak, di antaranya yang terkenal adalah Raja Ja’far (YDM Riau VI), Raja Ahmad (ulama dan pengarang Riau, ayah Raja Ali Haji) dan Raja Hamidah (yang bergelar Engku Putri, permaisuri Sultan Riau Mahmud Syah).
Ketika ayahnya, Daeng Celak YDM II meninggal pada tahun 1729, Daeng Kamboja diangkat sebagai penggantinya menjadi YDM III. Raja Haji Fisabilillah yang muda ditunjuk sebagai Engku Kelana atau Pembantu YDM, yang bertugas antara lain menjaga keamanan dan keutuhan segenap wilayah kekuasaan Kerajaan Riau Lingga. Selama ± 28 tahun Raja Haji Fisabilillah menjabat sebagai Engku Kelana, ia berusaha memperkokoh keutuhan wilayah Kerajaan Riau Lingga dengan cara melakukan kunjungan pentadbiran (urusan dalam admintrasi wilayah kerajaan) ke segenap daerah takluknya. Hasil dari kunjungan pentadbiran itu dibuat dalam suatu catatan perjalanan yang disampaikan kepada Yang Dipertuan Muda.
Selain melakukan tugas memperkokoh keutuhan wilayah, sebagai Engku Kelana ia bertugas pula mengunjungi beberapa negeri tetangga seperti Selangor, Perak, Kedah, Indragiri, Mempawah, Jambi, dan Bangka. Maksud kunjungan ini untuk mempererat persahabatan antara Kerajaan Riau Lingga dengan negeri-negeri tersebut. Ketika ia berkunjung ke Selangor, malahan terlibat perang dengan Belanda (Perang Linggi pada tahun 1757). Dalam peperangan itu paha Raja Haji Fisabilillah cedera terkena sangkor senapan Belanda. Dalam kunjungan itu Raja Haji Fisabilillah berhasil mengamankan Selangor dari rongrongan Belanda dan sekutu-sekutunya yang ikut mengacau negeri Selangor.
Ketika Raja Haji Fisabilillah berkunjung ke Jambi atas undangan Sultan Jambi, ia dikawinkan dengan putri Sultan Jambi yang bernama Ratu Mas dan Raja Haji Fisabilillah diberi gelar kebesaran sebagai Pangeran Sutawijaya. Setelah kembali dari Jambi ia pergi ke Indragiri yang diserang oleh Raja Bayang dari Minangkabau. Atas bantuan Raja Haji Fisabilillah, serbuan Raja Bayang dapat dipatahkan. Ia dikawinkan oleh Sultan Indragiri dengan putrinya yang bernama Raja Halimah. Setelah itu Raja Haji Fisabilillah diizinkan oleh Sultan untuk membuka dua buah negeri yaitu Kuala Chinaku dan Pekan Lais.
Setelah membuka negeri Chinaku dan Pekan Lais, Raja Haji Fisabilillah minta izin kepada mertuanya Sultan Indragiri untuk pulang ke Riau. Setelah itu ia berkunjung pula ke Mempawah dan Pontianak. Di Pontianak ia sangat dihormati oleh Pangeran Syarif Abdurrahman serta dihadiahkan sebuah istana. Ketika itu Pontianak belum ada Sultan. Selama Raja Haji Fisabilillah di Pontianak, Syarif Abdurrahman sedang bersengketa dengan Panembahan dari Sanggau. Peperangan antara keduanya telah berlangsung ± 8 bulan lamanya.
Persengketaan itu disebabkan Panembahan Sanggau tidak membenarkan rakyat Pontianak berdagang di Sanggau. Selama di Pontianak, Raja Haji Fisabilillah bersama Pangeran Syarif Abdurrahman berhasil mengalahkan Panembahan Sanggau dan Raja Haji Fisabilillah menobatkan Pangeran Syarif Abdurrahman sebagai Sultan di Negeri Pontianak. Ketika Raja Haji Fisabilillah di Pontianak didapatilah berita bahwa Daeng Kamboja YDM III meninggal dunia. Ia segera pulang ke Riau. Dan kemudian dilantik sebagai YDM IV mengganti Daeng Kamboja (1777). Tugasnya sebagai Engku Kelana telah dilaksanakannya dengan baik, selama itu pula telah menimba berbagai pengalaman yang amat berharga, memupuk persahabatan dan persaudaraan sehingga amat mempermudah tugasnya di kemudian hari sebagai YDM IV.
Pada masa pemerintahan YDM Raja Haji Fisabilillah, Kerajaan Riau Lingga berada di puncak kemakmuran material, juga memperlihatkan perkembangan di bidang spiritual. Para ulama dan mubaligh berdatangan dan bermastautin (berdomisili) di negeri itu, baik yang datang dari dalam maupun dari luar kawasan Nusantara. Tempat-tempat ibadah, rumah-rumah wakaf, dan balai tempat orang belajar bermunculan dengan banyak. Raja Haji Fisabilillah meninggal di Teluk Ketapang dalam peperangan melawan armada Belanda di bawah pimpinan Jacob Pieter van Braam. Peperangan antara Raja Haji Fisabilillah dan pasukannya melawan armada Belanda dikenal dengan sebutan Perang Riau, dan merupakan perang bahari yang terbesar ketika itu.
Dalam buku Riwayat Singkat Pahlawan Nasional: Raja Haji Fisabilillah (Yussuwadinata, dkk, 2010: 53), dijelaskan bahwa pada tanggal 18 Juni 1784 sejumlah 734 orang bersenjata lengkap dari armada van Braam menggempur kubu pertahanan Raja Haji Fisabilillah di Teluk Ketapang sehingga berkecamuk perang sosoh yang hebat, menyebabkan Raja Haji Fisabilillah, semua Panglima Perang Riau dan sejumlah pasukan Riau ± 500 orang gugur sebagai kusuma bangsa. Sebaliknya sekitar 70-an orang serdadu Belanda dengan 3 opsir pun terkorban. Tentang gugurnya Raja Haji Fisabilillah, Belanda mencatat: “Raja Haji Fisabilillah yang berdiri dekat sarang meriam untuk memberi semangat pasukannya, terkena tembakan senapan di dadanya sehingga gugur.”
Pada saat gugur, jasad beliau dimakamkan di Teluk Ketapang, sekitar 5 km di sebelah timur Kota Malaka. Itulah kenapa beliau juga digelari sebagai Marhum Teluk Ketapang. Pada masa pemerintahan putranya yang bernama Raja Ja’far Yang Dipertuan Muda VI, pusara Raja Haji Fisabilillah dipindahkan ke Pulau Penyengat. Makam Raja Haji Fisabilillah ini pernah dipugar pada tahun 1972 oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Kepulauan Riau, kemudian direnovasi kembali pada tahun 1986. Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 072/TK/1997 tanggal 11 Agustus 1997, Raja Haji Fisabilillah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Kompleks Makam Raja Haji Fisabilillah ini dipagari dengan pagar tembok bercat kuning dengan pelisir hijau, warna khas Melayu. Di dalam kompleks ini terdapat 18 makam lainnya, delapan di antaranya adalah makam anak-anaknya. Sedangkan, makam Raja Haji Fisabilillah sendiri berada di dalam cungkup dan posisinya agak lebih tinggi ketimbang makam-makam yang lainnya.
Kendati makam ini terletak agak jauh dari pemukiman penduduk tetapi kondisinya terlihat terawat dengan baik, karena selalu diziarahi oleh masyarakat, baik lokal maupun dari luar daerah. Pemerintah telah menetapkan kompleks makam ini sebagai benda cagar budaya dengan Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM 14/PW.007/KKP/2004, dan telah diarsipkan oleh Pemerintah Kota Tanjungpinang dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 28/BCB-TB/C/01/2007.