Raden Dewi Sartika
Sejak kecil Dewi bermain sekolah-sekolahan dan berperan sebagai seorang guru, mengajari teman-temannya untuk membaca, menulis dan berhitung. Dewi bercita-cita mendirikan sekolah bagi anak gadis. Niatnya itu disampaikan kepada ibunya dan beberapa orang lainnya, tetapi tidak mendapatkan sambutan positif. Sang kakek R. A. A. Martanegara Bupati Bandung mendukungnya. Dukungan lain didapatnya dari Den Hamer, Inspektur Kantor Pengajaran maka berkat bantuan kedua orang itu pada tanggal 16 Januari 1904 dibuka sekolah seperti yang dicita-citakan Dewi, diberi nama “Sekolah Isteri”.
Banyak kesulitan yang harus dihadapi Dewi pada awalnya, tetapi tetap tabah dan berusaha sekuat tenaga memajukan pendidikan bagi anak-anak gadis di daerahnya. Lama kelamaan sekolah ini mendapat perhatian masyarakat dan pembesar pemerintah. Cita-cita Dewi dapat diketahui dari karangannya berjudul “De Inlandsche Vrouw” (Wanita Bumiputera), yang mengemukakan bahwa pendidikan sangat penting, selain pendidikan susila, pendidikan kejuruanpun tidak kalah pentingnya bagi wanita. Tahun 1910 Sekolah Isteri berganti nama menjadi “Sekolah Keutamaan Isteri”. Dewi bermaksud mendidik kaum wanita agar mampu berdiri sendiri, tidak terlalu bergantung kepada suami.
Setahun kemudian Sekolah Keutamaan Isteri diperluas, sehingga semakin menarik perhatian wanita di daerah lain di Jawa Barat, bahkan sampai ke Sumatera. Tahun 1911 Gubernur Jenderal Hindia Belanda berkunjung ke Sekolah Dewi Sartika. Dua tahun kemudian isteri Gubernur Jenderal bersama puterinya juga berkunjung ke sekolah karena itulah pemerintah memberi penghargaan berupa bintang perak. Ketika pecah perang Dunia I, Dewi bersama suaminya bekerja keras mengatasi kesulitan yang dihadapi dan berhasil. Hal ini menarik perhatian Nyonya Tydeman dan Nyonya Hillen. Tahun 1929, berdirilah sebuah Gedung sekolah yang baru bagi “Sekolah Keutamaan Isteri”. Tantangan semakin berat, mutu sekolah harus ditingkatkan.
Pada tanggal 25 Juli 1939, RAdah Agah suaminya meninggal dunia, Dewi tetap meneruskan usaha mengasuh dan memimpin sekolah yang sudah dibina bersama suaminya sejak puluhan tahun. Tahun 1940 pemerintah sekali lagi memberikan penghargaan kepadanya karena jasa-jasanya di bidang pendidikan. Raden Dewi Sartika harus banyak mencurahkan perhatiannya untuk kelangsungan hidup sekolahnya. Makin lama kesehatannya semakin menurun dan wafat pada tanggal 11 September 1947.
Nilai Kepribadian Luhur yang Dimiliki
Dua kali penghargaan dan bintang jasa dari pemerintah kolonial Belanda, tentu tidak diberikan kepada perempuan biasa, apalagi dari kalangan bumiputera. Sampai usia senja tetap banyak berkarya, tanpa banyak berkata-kata.