Menu
PAHLAWAN NASIONAL

Pong Tiku Alias Nebaso

Berdasarkan: Keppres No. 073/TK/TH. 2002, 6 November 2002

Pong Tiku alias Ne’ Baso dilahirkan pada tahun 1846 di Pangala, Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Ia adalah putra Siambe Karaeng penguasa adat daerah Pangala dan sekitarnya. Tidak banyak yang diketahui mengenai kehidupan masa kecilnya. Pada masa remaja, ia sering diikut-sertakan oleh ayahnya dalam pertemuan-pertemuan yang membicarakan masalah kemasyarakatan, seperti sengketa adat dan cara-cara penyelesaiannya.

Ketokohan Pong Tiku alias Ne’ Baso mulai kelihatan ketika terjadi konflik bersenjata antara negeri Baruppu dan negeri Pangala pada tahun 1880. Dalam konflik ini, ia ditugasi oleh ayahnya yang sudah berusia lanjut, untuk memimpin Laskar Pangala. Negeri Baruppu dapat dikuasainya dan dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaannya. Sejak itu, kepemimpinannya diakui oleh pemangku-pemangku adat lain di Tana Toraja. Dengan mereka, ia selalu kerjasama untuk saling bantu.

Suasana perang dialami lagi oleh Pong Tiku alias Ne’ Baso dalam peristiwa yang dikenal sebagai “Perang Kopi”. Sebagai penghasil kopi bermutu tinggi, Tana Toraja menjadi ajang persaingan antara pedagang-pedagang yang datang dari daerah lain untuk menguasai perdagangan kopi. Mereka menempati daerah-daerah tertentu sebagai pemukiman dan pada umumnya membawa pengawal bersenjata. “Perang Kopi” terjadi pada tahun 1889 diawali oleh serangan pedangan Luwu dan Bone terhadap pemukiman pedagang Sidenreng dan Sawitto. Dalam perang ini Pong Tiku alias Ne’ Baso memihak pedangan Sidenreng dan Sawitto menghadapi perang Luwu dan Bone. Laskar Bone dikenal dengan Laskar “songkok borrong” (topi merah). Pasukan Pong Tiku alias Ne’ Baso sempat terdesak, namun pada akhirnya mereka berhasil memukul mundur Laskar Luwu dan Bone.

Konflik bersenjata antara Pangala dan Baruppu serta perang kopi pada hakikatnya adalah “Perang Saudara” antar komunitas di Sulawesi Selatan. Kedua peristiwa itu menyadarkan Pong Tiku alias Ne’ Baso bahwa ia harus membangun benteng-benteng untuk mempertahankan wilayah kekuasaannya dari intervensi pihak luar. Pembangunan benteng-benteng itu disesuaikan dengan benteng alam Tana Toraja yang bergunung-gunung. Di sebelah barat Pangala dibangun benteng-benteng Lalidong, Buntubatu dan Rinding Alla, sedangkan disebelah timur dibangun benteng-benteng Buntuasu, Tondok, Ka’do dan Mamullu. Benteng Buntubatu merupakan benteng terkuat yang langsung dipimpin oleh Pong Tiku alias Ne’ Baso, sedangkan benteng Buntuasu adalah benteng yang letaknya paling dekat dengan Pangala. Di samping membangun benteng-benteng dan melengakpi persenjataan, termasuk meriam yang diperolehnya melalui barter dengan pedagang-pedagang kopi, Pong Tiku alias Ne’ Baso juga menjalin hubungan persahabatan dengan penguasa daerah-daerah lain seperti Pare-Pare, Sidendreng, Sawitto, Wajo dan Palopo. Daerah-daerah ini merupakan jalur transportasi menuju Tana Toraja.

Perkuatan pertahanan yang dibangun oleh Pong Tiku alias Ne’ Baso ternyata sangat bermanfaat pada waktu ia menghadapi serangan militer Belanda ke Tana Toraja. Serangan ini merupakan rentetan dari serangan Belanda terhadap kerajaan Bone yang ketika itu merupakan kerajaan terkuat di Sulawesi Selatan. Setelah Kerajaan Bone ditaklukkan, pada tahun 1905 Belanda melanjutkan operasi-operasi militernya ke kerajaan-kerajaan lain. Satu persatu kerajaan ini mereka taklukkan, termasuk kerajaan Luwu dengan ibukotanya Palopo. Tana Toraja pun merupakan sasaran untuk dikuasai.

Operasi militer Belanda untuk menduduki Tana Toraja dimulai dari Palopo. Pada pertengahan bulan Maret 1906, setelah menempuh perjalanan yang sulit, pasukan Belanda tiba di Bori. Merek berhasil memaksa beberapa pemuka adat untuk datang ke Bori dan menyerahkan senjata. Hal yang sama dilakukan pula setelah pasukan ini tiba di Rantepao. Dari tempat ini, pada akhir Maret 1906, Belanda mengirimkan surat kepda Pong Tiku alias Ne’ Baso meminta agar ia datang ke Rantepao. Pong Tiku alias Ne’ Baso menolak dengan tegas. Permintaan kedua yang disampaikan Belanda pada pertengahan April 1906, juga ditolaknya. Setelah dua kali Pong Tiku alias Ne’ Baso menolak untuk datang ke Ranepao, Belanda memutuskan untuk melancarkan serangan ke benteng-benteng pertahanan Pong Tiku alias Ne’ Baso. Sasaran pertama adalah merebut benteng Lalidong yang terletak di atas sebuah bukit di sebelah barat daya benteng Buntubatu. Serangan dilancarkan pada tanggal 27 Juni 1906. Setelah bertempur hampir sehari penuh, benteng ini dapat mereka rebut. Pasukan Pong Tiku alias Ne’ Baso mengundurkan diri ke benteng Buntubatu.

Sasaran Belanda berikutnya adalah merebut benteng Buntuasu, Ka’do dan Tondok. Diantara ketiga benteng tersebut, benteng Buntuasu yang pertama kali diserang karena dianggap lebih mudah untuk direbut. Serangan dilancarkan pada tanggal 16 Juli 1906. Ternyata mereka mendapat perlawanan yang cukup sengit. Serdadu Belanda yang merayap mendaki bukit dihujani tembakan gencar dari benteng. Banyak pula yang menjadi korban terkena batu-batu yang digulingkan oleh pasukan Pong Tiku alias Ne’ Baso dari atas benteng. Akhirnya pasukan Belanda mengundurkan diri. Setelah gagal merebut benteng Buntuasu, Belanda mengalihkan serangan ke benteng Ka’do dan Tando dengan terlebih dahulu mendatangkan pasukan bantuan dari kolasi.  Serangan ini pun tidak berjalan seperti yang direncanakan. Sama  halnya dengan serangan terhadap benteng Buntuasu, serdadu-serdadu Belanda yang mendaki bukit menjadi korban batu-batu yang digulingkan dari benteng. Banyak pula yang terkena air cabai (tirrik mata) yang disemprotkan oleh pasukan Pong Tiku alias Ne’ Baso. Namun, setelah bertempur selama sehari, benteng ini dapat mereka kuasai. Pasukan Pong Tiku alias Ne’ Baso mengundurkan diri, sebagian ke benteng Rinding Alla dan sebagian ke benteng Buntubatu.

Pertahanan di benteng Rinding Alla tidak sekuat pertahanan di benteng-benteng lain. Lagipula, Belanda mengubah taktik serangan. Biasanya serangan dilancarkan pada siang hari. Akan tetapi serangan terhadap benteng Rinding Alla dilancarkan pada dini hari dan h al itu diluar perkiraan pasukan Pong Tiku alias Ne’ Baso. Menjelang siang, benteng ini jatuh ke tangan Belanda.

Sementara itu, kondisi di benteng utama, Buntubatu sudah kritis. Benteng ini sudah terisolasi. Hubungan dengan daerah luar dan dengan pejuang-pejuang lain sudah terputus akibat ketatnya blockade yang dilakukan Belanda. Persediaan makanan dan air minum sudah menipis. Peluru-peluru meriam pun boleh dikatakan sudah habis. Pasukan senjata dari luar tidak dapat lagi dilakukan. Dalam situasi serba kritis itu, ibunda Pong Tiku alias Ne’ Baso meninggal dunia yang dengan sendirinya turut mempengaruhi jiwa pejuang ini. Bagaimanapun, sesuai dengan tradisi masyarakat Toraja, ia harus menyelenggarakan upacara pemakaman jenazah ibunya.

Belanda yang mengetahui kondisi kritis dalam benteng Buntubatu mulai memanfaatkannya. Mereka mengirim kurir untuk mengajak Pong Tiku alias Ne’ Baso berdamai. Semula Pong Tiku alias Ne’ Baso menolka. Akan tetapi isteri-isteri anggota pasukannya mendesak agar ajakan damai itu diterimanya. Oleh karena desakan itu, ditambah dengan pertimbangan untuk memperoleh waktu bagi penyelenggaraan pemakaman ibunya, pada akhirnya Pong Tiku alias Ne’ Baso bersedia berdamai. Sebagai tanda kesediaan berdamai, ia menyerahkan sejumlah kecil senjata kepada Belanda, sedangkan sebagian besar disembunyikan dengan perhitungan akan digunakan pada waktu yang akan datang. Untuk memperlihatkan “kebaikan hati”, Belanda memberikan hadiah kepada istri dan anak-anak Pong Tiku alias Ne’ Baso.

Perdamaian itu hanya berlangsung selama tiga hari. Pada tanggal 30 Oktober 1906, pasukan Belanda menyerbu benteng dan menggeledah isinya. Mereka menemukan senjata dalam jumlah ratusan. Para penghuninya diusir dari benteng, termasuk Pong Tiku alias Ne’ Baso. Ia diperintahkan kembali ke Pangala. Setelah selesai menyelenggarakan pemakaman ibunya, Pong Tiku alias Ne’ Baso bersama sejumlah kecil sisa-sia pasukannya berusaha kembali melanjutkan perjuangannya. Ia bergabung dengan para pejuang di benteng Ambeso dan Alla yang dipimpin oleh beberapa orang pemangku adat. Benteng yang terletak di Tana Toraja bagian selatan ini seudah beberapa kali dserang oleh Belanda, namun gagal. Akhirnya Belanda mendatangkan pasukan yang lebih besar dari Rantepao dan Kalosi. Setelah melalui pertempuran sengit, benteng Ambeso jatuh ke tangan Belanda. Benteng Alla yang merupakan benteng terakhir di Tana Toraja direbut Belanda pada akhir Maret 1907.

Pong Tiku alias Ne’ Baso berhasil menyelamatkan diri. Ia kembali ke Pangala melalui hutan dan celah-celah bukit, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lian. Ia tidak mungkin lagi mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan perjuangan, namun tetap tidak ingin menyerah. Belanda berusaha mencari tempat persembunyiannya untuk menangkapnya hidup atau mati. Usaha itu berhasil berkat bantuan seorang bekas anak buah Pong Tiku alias Ne’ Baso bernama Tappa yang dapat dibujuk Belanda. Ia mengetahui bahwa Pong Tiku alias Ne’ Baso bersembunyi di Lalikan.

Pong Tiku alias Ne’ Baso ditangkap di Lalikan pada tanggal 30 Juni 1907. Dari Lalikan ia dibawa ke Rantepao. Setelah ditahan dalam penjara Selma sepuluh hari, penguasa Belanda menjatuhkan hukuman mati bagi Pong Tiku alias Ne’ Baso. Ia ditembak di tepi sungan Sa’dan pada tanggal 10 Juli 1907. Jenazahnya dibawa oleh pihak keluarga ke Pangala dan dimakamkan sesuai dengan tradisi masyarkat Toraja di Liang Tangelo, Pangala. Lima puluh tiga tahun kemudian, bulan Desember 1960, Pemerintah daerah Sulawesi Selatan memindahkan jenazahya ke Makam Pahlawan Tana Toraja.


ESSAY:
PONG TIKU: DARI PENGUASA LOKAL MENJADI PENANTANG TERAKHIR BELANDA (1846-1907) ABD. RAHMAN – (PDF 20 halaman – dapat di unduh disini) PONG TIKU DARI PENGUASA LOKAL MENJADI PENANTANG TERAKHIR BELANDA

IKATAN KELUARGA PAHLAWAN NASIONAL INDONESIA

Meneguhkan Persatuan Bangsa yang Berdaulat, Adil, dan Makmur

WEB TERKAIT

Informasi

Hubungi Kami

Kementerian Sosial, Gedung C, Lantai Dasar
Jl. Salemba Raya No. 28, Jakarta Pusat
IKPNI.com merupakan situs resmi yang diakui oleh Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia. Seluruh konten serta opini dalam situs ini berdasarkan fakta-fakta yang tersedia, namun tidak mewakili pendapat Inspira Mediatama. Konten dalam situs ini sebaiknya tidak dijadikan dasar oleh pembaca dalam mengambil keputusan komersial, hukum, finansial, atau lainnya. Pada artikel yang sifatnya umum, pembaca disarankan mencari pendapat dari profesional sebelum menanggapi dan mengoreksi konten informasi yang dipublikasi jika mungkin tidak sesuai dengan pandangan pembaca. Publisher tidak bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaian yang tayang, bagaimanapun disebabkan. Website ini dibuat untuk IKPNI dengan hak cipta. Kepemilikan merek dagang diakui. Dilarang menyalin, menyimpan, atau memindahkan dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari publisher.
Kilas Sejarah Hari Ini
5 Oktober 2004

Sulawesi Barat menjadi provinsi sendiri

Sejak tahun 1960, pembentukan Provinsi Sulawesi Barat telah diperjuangkan namun ditolak pada 1963 ketika pemerintah pusat justru membentuk Provinsi Sulawesi Tenggara. Momentum pembentukan provinsi baru ini mencuat setelah gerakan reformasi 1998, tepatnya pada tahun 1999. Perjuangan panjang ini akhirnya menemui...

Selengkapnya...
Sulawesi Barat menjadi provinsi sendiri ( 5 Oktober 2004 )
1
"Hallo, Admin. Website IKPNI."
Powered by