Menu
PAHLAWAN NASIONAL

Pangeran Sambernyowo (K.G.P.A.A Mangkunegoro I),

Berdasarkan: Keppres No. 048/TK/TH. 1988, 17 Agustus 1988

Raden Mas Said yang dikenal di kalangan rakyat dengan sebutan Pangeran Sambernyowo (Pangeran Penyebar Maut) dilahirkan di Keraton kartosuro pada hari Minggu Legi tanggal 4 Ruwah tahun Jimakir 1650 AJ. Windu Aiwuku Warigagung atau tanggal 7 April 1725. Ayahnya bernama Kanjeng Pangeran Aryo Mangkunegoro yang dibuang oleh Belanda ke Sri Lanka (Ceylon). Ibunya bernama R.A. Wulan Putri dari Pangeran Blitar.

Pangeran Sambernyowo adalah tokoh keraton tradisional yang gemar hidup di tengah-tengah masyarakat Mataram yang agamis. Sepanjang hidupnya mengalami penderitaan dan penghinaan dalam hubungannya dengan penjajah Belanda, yang selalu mencampuri urusan Kerajaan Mataram. Baginya, Belanda adalah sumber kemelut yang menimbulkan pertentangan dalam keluarga Keraton Mataram dan penyebab timbulnya kemelaratan di kalangan rakyat Mataram.

Sebagai pejuang yang berasal dari kalangan keraton. Perjuangannya diarahkan demi kelestarian Keraton Mataram dan kebebasan rakyatnya dari penjajahan Belanda. Sebagai konsekuensi logis dari sikapnya itu, Pangeran Sambernyowo terkadang harus berhadapan dengan keluarga keraton yang memihak Kompeni Belanda. Berkat dukungan rakyat Mataram yang setia kepadanya, ia melakukan pertempuran melawan serdadu Belanda dengan taktik pertempuran gerilya yang sangat melelahkan Belanda dan banyak menimbulkan korban di kalangan serdadu Belanda.

Perjuangan Raden Mas Said menentang kekuasaan Belanda tidak dapat dipisahkan dari kericuhan yang terjadi di Kerajaan Mataram pada pertengahan abad ke-18. Sejak awal abad itu, beberapa daerah Mataram sudah dikuasai secara langsung oleh Belanda. Selain itu, Belanda berhasil pula mencampuri masalah intern kerajaan seperti pengangkatan raja dan pejabat tinggi lainnya.

Akibatnya, di keraton timbul golongan pro dan kontra kekuasaan asing. Sementara itu rakyat semakin menderita karena harus memikul beban perang yang sering terjadi dan juga sebagai akibat monopoli perdagangan yang dilakukan Belanda. Tidak mengherankan apabila perasaan benci terhadap Belanda dan kaki tangannya itu merata di kalangan masyarakat.

Pada gilirannya perasaan itu meledak menjadi perlawanan bersenjata. Rasa benci terhadap Belanda dan kaki tangannya itu memuncak sejak peristiwa pembuangan pangeran Aryo Mangkunegoro ke Ceylon (Sri Lanka) akibat firnah Sunan Amangkurat IV yang direka oleh Patih Danurejo yang sangat pro Belanda dan berusaha membunuh Raden Mas Said yang baru berumur 2 tahun, sebab dikhawatirkan kelak ia akan membalas dendam. Namun usaha itu tidak berhasil.

Kesempatan untuk melawan Belanda terbuka ketika pada tahun 1740 di Kartosuro terjadi perlawanan rakyat terhadap Belanda. Waktu itu Raden Mas Said telah berumur 14 tahun. Dalam usia semuda itu, ia telah berhasil menjalin kerjasama dengan beberapa orang temannya, dan secara bersama-sama mereka ikut bertempur dalam barisan rakyat. Pada waktu Belanda berhasil kembali menguasai keadaan, untuk beberapa waktu lamanya, Raden Mas Said tetap tinggal di keraton. Akan tetapi pada 21 Juni 1741, ia bersama dua adiknya (R.M. Ambia dan R.M. Sabar) dan teman-temannya meninggalkan Kartosuro untuk menyusun kekuatan di luar keraton. Pada mulanya Raden Mas Said mempersiapkan diri bersama pengikutnya di Nnglaroh dengan latihan perang-perangan. Setelah persiapan dirasa cukup, ia menggabungkan diri dengan Sunan Kuning (Raden Mas Garendi) di Randu Lawang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Lebih kurang satu tahun lamanya ia berjuang bersama Sunan Kuning. Pada waktu Sunan Kuning memindahkan pusat perjuangan ke arah timur (Pasuruan), Raden Mas Said tetap tinggal di daerah Jawa Tengah. Ia memusatkan pertahanannya di Mojoroto Wonosemang dan para pengikutnya mengangkatnya sebagai Pangeran Adipati Mangkunegoro.

Untuk menumpas perlawanan R.M. Said, Belanda mengirimkan pasukan dengan kekuatan yang cukup besar. Sebagian besar pasukan yang dikirim itu ialah pasukan Mataram di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi. Pasukan R.M. Said terdesak, namun ia berhasil meloloskan diri dan membangun kekuatan baru di tempat lain. Karena sesuatu sebab, pada 19 Mei 1746, Pangeran Mangkubumi menggabungkan diri dengan R.M. Said untuk melawan Belanda. Selama sembilan tahun mereka berjuang bersama-sama. Dalam perjuangan itu, R.M. Said diambil menantu oleh Pangeran Mangkubumi.

Untuk mematahkan perlawanan pasukan R.M. Said dan Pangeran Mangkubumi, Belanda menjalankan politik devide et impera. Belanda berhasil membujuk Pangeran Mangkubumi menghentikan perlawanan. Pada 13 Februari 1755 di Desa Giyanti diadakan perjanjian damai antara Belanda, Sunan Pakubuwono III dan Mangkubumi. Dalam perjanjian itu Mataram dibagi dua yaitu Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Ngayogyokarto. Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono I.

Sementara itu R.M. Said yang tidak senang dengan kekuasaan Belanda dan tetap melanjutkan perjuangan. Dengan perasaan berat, ia terpaksa menghadapi pasukan Surokarto dan Ngayogyokarto yang didukung oleh pasukan belanda. Sekalipun menghadapi tiga lawan sekaligus, namun kekuatan pasukannya tidak mudah dipatahkan. Pada 13 Oktober 1755 ia berhasil menghancurkan satu detasemen pasukan Belanda di hutan Sitakepyak, bahkan komandan detasemen, Kapten van der Pol tewas dalam pertempuran ini.  Peristiwa tersebut diakui Belanda sebagai kekalahan yang memalukan.

Pada 28 Oktober 1756, R.M. Said berhasil memporakporandakan benteng Belanda di Ngayogyokarto. Serangan tersebut sangat mempengaruhi pendapat pihak Belanda atas kemampuan perang pasukan R.M. Said, Nicolas Hartingh, Gubernur Pantai Utara Jawa meminta bantuan Pakubuwono III untuk mengatasi keadaan. Karena kemampuannya dalam pertempuran yang banyak menimbulkan kerugian di pihak Belanda, R.M. Said mendapat julukan Pangeran Sambernyowo.

Mengenai kemampuan pasukan R.M. Said ini, seorang penulis belanda De Jonge mengatakan bahwa jumlah prajurit R.M. Said tidak begitu banyak, akan tetapi bermental jujur dan setia, terlatih, dan mempunyai daya tempur yang tinggi. Penulis lain, Louw, dalam bukunya DedDerde Javaansche Oorlog mengatakan bahwa berulang kali pasukan Pangeran Sambernyowo dihancurkan namun setiap kali pula pasukan itu bangkit kembali dengan lebih perkasa karena mendapat dukungan rakyat.

Sekalipun berhasil di medan perang, namun R.M. Said menyadari bahwa perang yang berlarut-larut dan berlangsung cukup lama menimbulkan kesengsaraan rakyat. Karena itulah ketika ia menerima surat dari Pakubuwono III yang memintanya untuk turut serta membangun Kerajaan Surokarto yangn telah rusak akibat perang. R.M. Said bersedia mempertimbangkan untuk menghentikan perlawanan. Akan tetapi ia tetap waspada karena mungkin saja surat itu merupakan jebakan. Setelah mendapat kepastian bahwa surat itu ditulis sendiri oleh Sunan Pakubuwono III berdasarkan ketulusan hati, maka R.M. Said bersedia menemui Pakubuwono di tempat yang telah ditentukan. Pada 24 Februari 1757 diadakan perjanjian di Salatiga antara R.M. Said di satu pihak dengan Sunan Pakubuwono III dan Sultan Hamengkubuwono I (diwakili oleh Patih Danurejo).

Dengan perjanjian Salatiga, berakhirlah perlawanan R.M. Said yang telah berlangsung selama 16 tahun terus menerus. Perjanjian itu melahirkan pula sebuah wilayah baru dalam bekas kerajaan Mataram, yakni wilayah Mangkunegoro.

Pada 28 Desember 1757, R.M. Said diangkat menjadi kepala pemerintahan dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkuneogoro I. Sekalipun perang telah berakhir, R.M. Said tidak mengendurkan kewaspadaannya. Karena itulah, ia terus membina kekuatan perang dengan cara membentuk pasukan baru sebagai tambahan terhadap pasukan yang ikut serta bersamanya bertempur selama 16 tahun. Selain itu, ia juga memperbaiki perekonomian rakyat antara lain membangun tempat-tempat peribadatan, mengembangkan kebudayaan antara lain dengan penulisan babad. Ia wafat pada 28 Desember 1795.

IKATAN KELUARGA PAHLAWAN NASIONAL INDONESIA

Meneguhkan Persatuan Bangsa yang Berdaulat, Adil, dan Makmur

WEB TERKAIT

Informasi

Hubungi Kami

Kementerian Sosial, Gedung C, Lantai Dasar
Jl. Salemba Raya No. 28, Jakarta Pusat
IKPNI.com merupakan situs resmi yang diakui oleh Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia. Seluruh konten serta opini dalam situs ini berdasarkan fakta-fakta yang tersedia, namun tidak mewakili pendapat Inspira Mediatama. Konten dalam situs ini sebaiknya tidak dijadikan dasar oleh pembaca dalam mengambil keputusan komersial, hukum, finansial, atau lainnya. Pada artikel yang sifatnya umum, pembaca disarankan mencari pendapat dari profesional sebelum menanggapi dan mengoreksi konten informasi yang dipublikasi jika mungkin tidak sesuai dengan pandangan pembaca. Publisher tidak bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaian yang tayang, bagaimanapun disebabkan. Website ini dibuat untuk IKPNI dengan hak cipta. Kepemilikan merek dagang diakui. Dilarang menyalin, menyimpan, atau memindahkan dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari publisher.
1
"Hallo, Admin. Website IKPNI."
Powered by