Nyi Ageng Serang alias Kustiyah Wulaningsih Retno Edi, R.A
Pada masa pemberontakan Pangeran Mangkubumi, Serang merupakan tulang punggung pemberontakan, sedangkan bupatinya yaitu Pangeran Notoprojo yang kemudian terkenal dengan sebutan Panembahan Serang menjadi panglima perangnya. Sehabis pemberontakan Mangkubumi, Panembahan Serang tidak mau kembali ke Sala maupun Yogyakarta. Belanda menyerang Serang dalam pertempuran tersebut, banyak pejuang yang gugur, termasuk Notoprojo Muda. Panembahan Serang meninggal dunia, kemudian istrinya menyusul. Puterinya, yaitu R.A. Kustiyah yang kemudian dikenal dengan sebutan Nyi Ageng Serang, tinggal sendirian di Kabupaten Serang untuk meneruskan perjuangan membela rakyat dan tanah air. Namun, akhirnya Nyi Ageng Serang tertangkap Belanda. Atas permintaan Hamengkubuwono II, diserahkan ke istana Yogyakarta.
Nyi Ageng Serang sering menyepi dan berpuasa untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Akhirnya minta kembali ke Serang dan dikabulkan dengan mendapat pengawalan dari keraton. R.A. Kustiyah menikah dengan Pangeran Mutia Kusumowijoyo lalu mempunyai seorang putra dan seorang putri bernama Raden Adjeng Kustinah yang menikah dengan Pangeran Mangkudiningrat, Putra Sultan Hamengkubuwono II. Dari pernikahan ini lahir seorang putra bernama R.M. Papak dan ayahnya Mutia Kusumowijoyo yang merupakan Adipati Serang. Keduanya terkenal dalam perang Diponegoro sebagai pahlawan yang gigih di pihak Diponegoro.
Waktu Nyi Ageng Serang mendengar bahwa Pangeran Diponegoro melawan Belanda, dia memerintahkan R.M. Papak, cucu yang diasuhnya untuk mengerahkan rakyat berjuang di pihak Diponegoro. Pasukan dari Serang ternyata merupakan barisan yang tangguh.
Nilai Kepribadian Luhur yang Dimiliki
Wanita yang mewarisi darah kepahlawanan dari ayah dan leluhurnya, ingin selalu dekat dengan rakyat, dalam usia 73 tahun masih memprakarsai pasukan khusus gerilya yang disebut “Sesabet”.