Menu
PAHLAWAN NASIONAL

Mohammad Natsir Gelar DT. Sinaro Panjang, Dr

Berdasarkan: Keppres No. 041/TK/TH. 2008, 6 November 2008

Natsir mulai bersekolah pada tahun 1916 di Sekolah Kelas-2  (sekolah dasar berbahasa Melayu) di Maninjau, tetapi hanya beberapa bulan. Sesudah itu ia memasuki Holands Inlands School (HIS) Adabiah, sebuah HIS swasta, di Padang. Keinginannya untuk memasuki HIS pemerintah tidak dapat dipenuhinya sebab ayahnya hanya pegawai rendah. Akan tetapi, ketika pemerintah membuka HIS di Solok, ia diterima sebagai siswa dan langsung duduk di kelas dua. Pada waktu duduk dikelas lima, ia pindah ke Padang.

Setelah menamatkan HIS, Natsir melanjutkan pendidikan di Meer Uitgebreid Lagere School ( MULO) di Padang. Ia mendapat beasiswa dari pemerintah karena nilai rapornya selama HIS sangat baik. Dengan mendapat beasiswa pula. Setelah menyelesaikan pendidikan di MULO (tahun 1927), ia memasuki Algemeene Middelbare School (AMS) jurusan sastra Barat klasik di bandung yang diselesaikannya pada tahun 1930. Ia masih ditawari besaisawa untuk melanjutkan pendidikan di Recht Hogeschool ( Sekolah Tinggi Hukum), tetapi tawaran itu ditolaknya, sebab ia lebih tertarik untuk memperdalam pengetahuan dibidang agama ( islam). Selain itu, ia juga sudah melibatkan dirinya dalam organisasi yang bernafaskan agama.

Pada waktu bersekolah di Bandung, Natsir mendalami pengetahuannya tentang Islam dari A.Hasan seorang da’i pembaharu yang cukup terkenal dan pendiri lembaga Pendidikan Persatuan Islam. Disamping itu, ia juga aktif dalam organisasi pemuda pelajar berhaluan islam, yakni Jong Islamieten Bond (JIB). Kegiatan dalam organisasi ini mendekatkannya dengan tokoh-tokoh terkenal Sarekat Islam, antara lain H. Agus Salim dan Tjokroaminoto. Keinginan untuk lebih memperdalam pengetahuan agama dan kegiatan dalam JIB menyebabkan ia menolak bea siswa yang ditawarkan pemerintah untuk melanjutkan pendidikan di Recht Hogeschool ( Sekolah Tinggi Hukum).

Riwayat Perjuangan

Keterlibatan Natsir dalam organisasi sudah dimulai pad awaktu ia menjadi siswa MULO di Pdangan dengan mamasuki organisasi kepanduan (pramuka) Natipji, sayap dari JIB. Di Bandung, ia pun aktif dalam JIB, bahkan pada tahun 1929 sampai 1932 menjadi wakil ketua JIB cabang Bandung. Disamping itu, ia diangkat sebagai Kern-Lichaam ( Badan Inti) JIB Pusat.

Natsir juga aktif memberikan ceramah agama dalam berbagai pertemuan, bahkan di beberapa sekolah. Untuk lebih memajukan pendidikan dibidang keagamaan ini, pada tahun 1932 ia mendirikan sekolah sendiri, yakni Pendidikan Islam.

Berawal dari kegiatan dalam JIB, Natsir kemudian diangkat sebgaai Ketua Partai Islam Indonesia (PII) cabang Bandung. Pada masa pendudukan Jepang, ia dinagkat sebagai Kepala Jawatan Pengajaran Kotapraja Bandung. Pada masa ini pula ia memegang jabatan sebagai Sekretaris Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI), suatu federasi organisasi social dan politik umat islam. MIAI kemudian dibubarkan dan sebagai gantinya didirikan Masjlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Sesudah Indonesia Merdeka, Masyumi berubah menjadi partai politik. Natsir memimpin partai ini sebagai Ketua Umum dari tahun 1948 samapai 1959.

Keterlibatan Natsir secara intens dalam politik dan kenegaraan dimulai ketika ia pada bulan November 1945 diangkat menjadi anggota Badan pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP). Sesudah itu, dati tahun 1946 samapai 1949, tiga kali berturut turut ia memegang jabatan sebagai Menteri Penerangan, dalam Kabinet Sjahrir, Kabinet Amir Syarifuddin, dan Kbainet Hatta. Pada waktu ibu kota RI Yogyakarta diduduki Belanda, 19 Desember 1948, Natsir dan hamper semuda pejabat pemerintah ditangkap Belanda. Ia ditahan di Jakarta.

Sengketa anatra RI dan Belanda diselesaikan melalui perundingan. Pada tanggal 7 Mei 1949 dkeluarkan Pernyataan Roem-Roijen sebagai awal untuk mengakhiri perang, Sjafruddin Prawiranegara yang dengan mandate Presiden Soekarno membentuk Pemerintah Darurat RI di Sumatera, menolak hasil perundingan itu. Berkat pendekatan yang dilakukan Natsir, pada akhirnya Sjafruddin melunakkan sikap dan pada tanggal 13 Juli 1949 mengembalikan mandatnya kepada Presiden.

Pada akhir tahun 1949, sesuai dengan hasil Konferesni Meja Bundar terbentuk Republik Indonesia Serikat ( RIS ) yang terdiri atas sejumlah Negara bagian. Natsir melakukan terobosan politik untuk membubarkan RIS dan kembali ke bentuk Negara Kesatuan. Pada tanggal 3 April 1950, ia mengajukan mosi dalam Parlemen RIS yang dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir”. Mosi itu diterima oleh DPR RIS dan berdasarkan Mosi itu dilakukan upaya untuk kembali kebentuk Negara Kesatuan. Akhirnya, pada tangal 17 Agustus 1950 Ris dibubarkan dan Indonesia kembali kebentuk Negara Kesatuan (NKRI).

Pada tanggal 6 September 1950 Natsir diangkat menjadi Perdana Menteri. Dalam menjalankan pemerintahan yang baru keluar dari revolusi, Natsir menghadapi banyak persoalan berat yang harus diselesaikan, seperti mengembalikan bekas lascar pejuang ke masyarakat, menghadapai pemberontakan golongan separatis Andi Azis, RMS DI?TII dan masalah ekonomi Aceh. Kabinet Natsir hanya bertahan sampai bulan April 1951. Sesudah itu, Natsir berkiprah memimpin Fraksi Masyumi dalam parlemen (1951-1958), kemudian dalam Konstituante (1956-1958).

Pemilihan Umum tahun 1955 tidak berhasil menciptakan politik yang stabil. Semakin besarnya pengaruh komunis di pemerintahan menimbulkan reaksi dari berbagai daerah. Sementara itu, Presiden Soekarno  mengeluarkan gagasan untuk mengubur partai-partai dan menciptakan demokrasai terpimpin. Usaha itu ditentang oleh Natsir dan beberapa tokoh lain spereti Sjafruddin Prawiranegara dan Assaat. Mereka menganggap penguburan partai-partai berarti mengubur demokrasi. Akibatnya, mereka mengalami berbagai macam terror, sehingga mereka menghindar ke Sumatera Tengah. Reaksi daerah yang sesungguhnya merupakan koreksi terhadap pemerintah pusat, dihadapi pemerintah Andi Aziz dengan melancarkan operasi militer yang berkaibat terjadinya “perang saudara”. Ketika “perang saudara itu berakhir, Natsir dan kawan-kawannya dipindahkan ke Rumah Tahanan Andi Aziz, Militer di Jkaarta (1962-1966). Ia dibebaskan pada tanggal 1 Juli 1966 setelah pemerintah Orde Lama pimpinan Presiden Soekarno jatuh dan digantikan oleh Orde Baru pimpinan Jenderal Suharto.

Ketika Natsir masih dalam tahanan, pemerintah sudah membubarkan Partai Masyumi. Oleh karena itu, setelah bebas dari tahanan, Natsir mengalihkan kgiatannya ke bidang dakwah. Ia mendirikan Dewan Dakwah yang berpusat di Jakarta. Dewan ini berhasil membangun berbagai rumah sakit, rumah ibadah serta melakukan kegiatan-kegiatan untuk membebaskan masyarakat dari kebodohan dan keterbelakangan.

Natsir tidak hanya berkiprah di dalam negeri. Kapasitasnya sebagai tokoh juga diakui di luar negeri. Hal itu terbukti dengan pengangkatannya pada tahun 1967 sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Islam yang berpusat di Karachi ( Pakistan) dan sebagai anggota Liga Muslimin Dunia yang berpusat di Mekkah. Pada tahun 1972 ia diangkat pula sebagi  anggota kehormatan Majelis Ta’sisi Rabithat Lama Islami yang berkedudukan di Mekkah. Hal tersebut mengantarkannya memperoleh “ Faisal Award “ dari Kerajaan Arab Saudi pada tahun 1980. Ia juga menerima gelar Doktor Honoris Causa bidang politik Islam dari Universitas Libanon pada tahun 1967, bidang Sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia, dan dalam bidang pemikiran Islam dari Universitas Sain dan Teknologi Malaysia ( tahun 1991).

Meskipun tidak melibatkan diri lagi dalam politik praktis, Natsir tetap memperhatikan keadaan bangsanya. Ia membantu pemerintah Orde Baru memuluskan jalan untuk memulihkan hubungan dengan Malaysia, Jepang, dan Negara-negara Timur Tengah. Aakan tetapi, ketika melihata arah Presiden Soeharto yang mulai keluar jalur, ia ikut menandatangani “ pernyataan keprihatinan yang belakangan lebih populer dengan istilah “Petisi 50” tanggal 5 mei 1980. Hal ini menyebabkan Natsir dicekal pemerintahan Soeharto.

Natsir meninggal pada tanggal 7 Februari 1993 dan dimakamkan di TPU Karet Tanah Abang, Jakarta. Natsir meninggalkan nama dan jasa berupa Negara Kesatuan, rumah sakit, rumah ibadah, dan ribuan kader generasi baru, Keterlibatan dalam kegiatan menentang pemerintah yang berkuasa sebenarnya menunjukkan kualitas nasionalismenya yang mau menegur/menentang apabila terjadi kesalahan di pihak pemerintah.

Tanda Kehormatan yang telah diterima.

  1. Dari La Communaute Muslmane Universelle Prancis pada tanggal 23 Maret 1977
  2. Dari pemerintah Aldjazair tanggal 23 Desember 1995
  3. Dari Yayasan Raja King Faisal Saudi Arabibia, penghargaan Faisal Award tanggal 16 Februari 1980
  4. Dari Presiden Ri, Tanda Kehirmatan Bintang Republik Indonesia Adipradana tanggal 6 November 1998
  5. Dari Dewan Masjid Indonesia, Tokoh Penggangas Manajemen Masjid Modern, tanggal 26 Mei 2005

Dari Komite Pusat Gerakan Masyarakat Peduli Akhlak MUlia (GMP-AM). BIntang Keteladanan Akhlak Mulia tanggal 25 Mei 2007.


69 Tahun Mosi Integral: Mengenang Perjuangan M. Natsir – Oleh: Hadi Nur Ramadhan (Peneliti Pusat Kajian Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)

Mosi integral Natsir merupakan satu prestasi gemilang dalam pentas sejarah yang sangat monumental dalam parlemen Indonesia. Ulama Negarawan yang bergelar Datuk Sinaro Panjang (1908-1993) ini mampu menyatukan kembali Indonesia yang terpecah belah dalam pemerintahan negara-negara bagian atau federal buatan Van Mook menjadi NKRI yang kita kenal sekarang ini. Di balik itu, mosi ini tidak lahir begitu saja.

Terjadinya perdebatan di Parlemen Sementara Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah merupakan titik kulminasi aspirasi masyarakat Indonesia yang kecewa terhadap hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag, Belanda, pada 23 Agustus-2 November 1949. Pihak yang termasuk menolak hasil KMB adalah Natsir yang waktu itu sebagai Menteri Penerangan (Menpen) dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim. Lobi Natsir ke pimpinan fraksi di Parlemen Sementara RIS dan pendekatannya ke daerah-daerah selanjutnya ia formulasikan dalam dua kata, yaitu ”Mosi Integral”.

Sahabat Natsir, Mr. Mohamad Roem sesama dari Partai Masjumi mengatakan:

“… betapa dalam ikhtiar melicinkan Mosi Integral itu, Pak Natsir berbicara dengan Pemipin Fraksi dari yang paling Kiri yakni Ir. Sakirman dari PKI, dan dengan yang paling Kanan yakni Sahetapy Engel dari BFO. Dan pada waktu menyampaikan usul mosi integral di parlemen maka beliau menahan diri untuk tidak berbicara soal federalisme atau unitarisme. Karena pokok persoalan bukan disitu….”, (Mohamad Roem, Peralihan ke Negara Kesatuan, Jakarta: Media Dakwah, 1993, hal 47).

Sebagai Ketua Fraksi Masjumi. fraksi terbesar di parlemen M Natsir berlekas mengajukan Mosi Integral yang disampaikan ke Parlemen pada 3 April 1950. Mosi diterima baik oleh pemerintah dan PM Mohammad Hatta menegaskan akan menggunakan Mosi Integral sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan.

Bahkan Bung Hatta menyebut Mosi Integral Natsir sebagai Proklamasi yang kedua.

Kini Mosi Integral NKRI yang digagas oleh M. Natsir sudah berusia 69 tahun. Tugas kita sekarang sebagaimana ungkapan Prof. Dr. Laode M. Kamaluddin adalah bukan saja menghargai Natsir sesuai dengan jasa besarnya terhadap negara-bangsa Indonesia, tetapi juga menjaga tetap tegak dan utuhnya NKRI seraya menghempang segenap potensi disintegrasi bangsa.

Berikut isi pidato M. Natsir tentang Mosi Integral Tahun 1950 yang terdokumentasikan dalam buku Capita Selecta II Jakarta: Abadi, 1957.

“Saudara Ketua, Dalam menentukan sikap fraksi saya terhadap mosi ini, fraksi adalah terlepas dari soal “apakah kami dapat menerima oper semua keterangan-keterangan yang tercantum dalam mosi atau tidak!”. Juga menjauhkan diri dari pada pembicaraan unitarisme dan federalisme dalam hubungan mosi ini, sebab pusat persoalannya tidak ada hubungannya dengan hal – hal itu, akan tetapi jauh di lapangan lain.

Pembicara-pembicara yang mendahului saya, sudah dengan panjang lebar mengemukakan hal ini.

Orang yang setuju dengan mosi ini tidak usah berarti, bahwa orang itu unitaris, orang federalispun mungkin juga dapat menyetujuinya. sebab soal ini sebagai mana saya katakan, bukan soal teori struktur negara unitarisme atau federalisme, akan tetapi soal menyelesaikan hasil dari perjuangan kita masa lampau yang tetap masih menjadi duri dalam daging. Tiap-tiap orang yang meneliti jalan persengketaan Indonesia -Belanda, tentu akan mengetahui bagaimana riwayat timbulnya Negara Sumatera Timur (NST). Dan bagaimana fungsinya NST itu.

Walaupun bagaimana juga ditimbang, ditinjau dan dikupas, tetapi rakyat dalam perjuangannya melihat struktur itu sebagai bekas alat lawan untuk meruntuhkan Republik Indonesia. Maka inilah yang menimbulkan reaksi dari pihak rakyat. Bukan soal teori unitarisme dan federalisme.

Kejadian-kejadian yang bergolak di NST sekarang bukan suatu hal yang kunsmatig atau dibikin-bikin akan tetapi adalah satu akibat yang tidak dapat dielakan dan yang harus kita selesaikan dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) sebagai hasil perundingan dengan Belanda dahulu.

Orang bisa berkata, bahwa semua mosi atau resolusi dari rakyat dan demonstrasi- demonstrasi yang telah berlaku di NST itu menurut Yuridische vormnya nya belum dapat dianggap sebagai suatu manifestasi dari kehendak rakyat. Tapi coba, apakah akibatnya jikalau mosi ini ditolak lantaran dianggap prestisennya belum cukup? Ia akan berarti pancingan bagi rakyat untuk menghebat dalam demonstrasi !

Saya teringat pada Pidato presiden pada pembukaan Sidang Parlemen ini.

Beliau berkata, bahwa dalam satu tahun ini kita tetap konstitusionil. kita akan menuruti apa yang disebut dalam konstitusi dan tidak akan menyimpang dari konstitusi. Akan tetapi menyimpang dari padanya, jikalau keadaan memaksa. hal ini diperlihatkan oleh rakyat. dan diartikannya jika keadaan bisa, tidak memaksa, tidak memberikan jalan baginya untuk mencapai cita-citanya, maka diciptakannya keadaan yang memaksa dengan segala akibatnya yang dipikul oleh rakyat itu sendiri.

Barangkali di dalam meninjau mosi ini Pemerintah merasa khawatir, kalau – kalau mosi ini akan mengakibatkan suatu bentrokan. akan tetapi menolak dan mematikan mosi ini berarti memperhebat apa yang telah terjadi. Oleh karena itu letakkanlah titik berat dari mosi ini pada apa yang disebut dalam keputusan, yaitu supaya Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) menempuh jalan biasa dengan kebijaksanaanya untuk menyelesaikan persoalan ini.

Jikalau pemerintah menganggap bahwa jika pekerjaan itu dengan sekaligus dan serentak dijalankan, akan menimbulkan bermacam -macam kekacauan, maka bagi Pemerintah cukup terbuka jalan mengadakan Undang – Undang Darurat untuk mengadakan peralihan, sehingga RIS dapat bertindak tidak membiarkan rakyat di NST bergolak, dan diberikan kepada mereka kesempatan untuk menyelesaikan soalnya sendiri

Maka dalam pasal-pasal yang ada dalam undang-undang darurat itu terbuka jalan bagi pemerintah untuk menjalankan kebijaksanaan dengan sebaik-baiknya.

Saudara ketua, Izinkanlah saya sekarang berbicara terlepas atau tidak terlepas dari pada soal unitarisme atau federalisme, akan tetapi dalam hubungan yang lebih besar mengenai mosi ini. sebagai hendak mengemukakan sedikit pemandangan mengenai dasar dari pada kejadian – kejadian yang kita hadapi sekarang, dari mulai kedaulatan diserahkan kepada kita, baik kiranya kalau kita terlebih dahulu melihat posisinya mosi ini di dalam, hubungan yang lebih besar.

Takkala Konstitusi sementara ditandatangani dan diratifisir, umumnya orang, baik pemerintah ataupun parlemen menganggap bahwa Konstitusi itu dan struktur-srtuktur negara dengan segala sifat – sifat yang baik dan cacat – cacat yang ada di dalamnya, dapat dipakai sebagai dasar pemerintahan sementara sampai Konstituante yang akan datang.

Akan tetapi rupanya jalan sejarah menghendaki lain. segera sesudah penyerahan kedaulatan , di daerah timbul pergolakan. apa yang terpendam dan tertekan selama beberapa tahun yang lalu dalam hati rakyat, sekarang meluap dan meletus dengan berupa demonstrasi dan resolusi untuk merombak segala apa yang dirahasiakan oleh rakyat sebagai restan- restan dari struktur kolonial di daerahnya, terutama di daerah Republik di pulau Jawa, Sumatera dan Madura.

Ini semua tidak mengherankan, akan tetapi adalah memang pembawaan riwayat perjuangan yang inherent dengan cara penyelesaian persengketaan Indonesia -Belanda yang diakhiri dengan KMB.

Soal-soal yang harus dihadapi oleh negara kita yang muda ini sekaligus bertimbun-timbun dihadapan kita. Soal kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, yang sudah begitu lama menderita, soal demokrasi sering pemerintahan, soal pembangunan ekonomi, soal keamanan, ketentraman dan 1001 macam soal lain-lain lagi, semuanya urgent dan harus dipecahkan dengan segera. kita bisa menyusun prioritasnya menurut pendapat kita masing-masing, akan tetapi yang sudah terang ialah, pemecahan soal yang satu bersangkut paut dengan yang lain, tidak dapat di pisah – pisah.

Usaha kemakmuran rakyat, penjaminan keamanan, tidak dapat berjalan selama belum ada ketentuan politik dalam negeri. Politiekerust ini tidak dapat diciptakan selama masih ada duri-duri dalam daging. yang dirasakan oleh rakyat, yang walaupun kedaulatan sudah ditangan kita, tapi kita masih berhadapan dengan struktur-struktur kolonial serta alat alat politik pengepungan yang diciptakan oleh Van Mook di daerah-daerah.

Dalam menghadapi pergolakan untuk melenyapkan duri-duri dalam daging itu orang terbentur kepada Konstitusi sementara, lebih lekas dari yang disangka tadinya.

Pikiran terombang ambing antara:

a.Kehendak akan tetap bersikap “Konstitusionil”.
b.Desakan untuk keluar Konstitusi dari lubang lubang yang ada dalam Konstitusi itu sendiri.

Inisiatif terlepas dari tangan pemerintah. tak ada konspirasi untuk menghadai soal ini dalam jangka yang tertentu. Semboyan yang ada hanyalah :”Terserah kepada kemauan rakyat”.

Rakyat bergolak dimana-mana. Hasilnya hujan resolusi dan mosi. parlemen menerima dan tinggal mengoperkan semuanya itu kepada Pemerintah dengan tambahan argumentasi yuridis dan lain-lain, dan kalau perlu dengan citaten dan encyclopaedie.

Dengan begitu pemerintah lambat laun terdesak kepada posisi yang defensif. Lalu pemerintah terpaksa menyesuaikan diri setapak demi setapak dengan undang-undang darurat sebagai legalisasi. Dan setiap kali ada “Persesuaian dalam hal ini” Saudara ketua, Parlemen dan Pemerintahan merasa ‘berbahagia’ lantaran ada persesuaian itu.

Dalam pada itu pintu kebahagiaan bagi rakyat belum kunjung kelihatan. jalan pikiran tetap kabur dan samar. Dikaburkan oleh begripsverwarring, berkacaunya beberapa pengertian seperti berkacaunya pengertian unitarisme dan federalisme dalam masyarakat, yang bukan lantaran federalisme atau unitarisme itu sendiri, sebagai bentuk struktur negara akan tetapi lantaran kabur dan bercampur aduknya pengertian-pengertian itu dengan sentimen anargonisme, sebagai warisan dari persengketaan Indonesia – Belanda.

Kekacauan pikiran melumpuhkan jalannya usaha pembangunan kemakmuran rakyat. Dengan begini kita tidak terlepas dari satu vicieuse cirkel yang tidak tentu dimana ujungnya.

Saya bertanya bagaimana mengartikan, “terserah kehendak rakyat itu?” apakah itu menyerahkan kepada rakyat untuk mengadu tenaga mereka didaerah , untuk memperjuangkan kehendak mereka di tempat masing-masing dengan segala akiba – akibatnya dan eksesnya? Habis itu lantas kita mengkonstatir dan melegalisir hasil dari pergolakan itu?

Sekali lagi saya bertanya sampai berapa langkah kesediaan hanyut seperti ini? Apakah sampai kita terbentur kepada satu batu karang nanti? Tidak, Saudara Ketua!, bukan begitu semestinya, tapi sikap macam sekarang, saya kuatir pemerintah lambat laun akan hanyut kepada jurusan itu.

Pemerintah yang timbul dari rakyat dan yang terdiri dari pemimpin perjuangan kemerdekaan sendiri, tentu tahu benar-benar dan sudah dapat merasakan, apa yang hidup dalam keinginan rakyat itu.

Hanya dengan mengambil inisiatif kembali, yang telah dilepaskan oleh Pemerintah selama ini, dapat diterapkan bahwa pemerintah terlepas dari defensinya seperti sekarang. Dengan begitulah mungkin timbul satu iklim pikiran yang lebih segar, yang akan dapat melahirkan elan nasional yang baharu, bebas dari bekas persengketaan-persengketaan yang lama.elan dan gembira membanting tenaga yang diperlukan dan selekas mungkin dapat disalurkan untuk pembangunan negara kita ini.

Semuanya itu diliputi oleh suasana nasional dengan arti yang tinggi serta terlepas dari soal atau paham unitarisme, federalisme, dan propinsialisme.

Berhubung dengan ini saya ingin memajukan satu mosi kepada pemerintah yang bunyinya demikian:

Dewan Perwakilan Rakyat Sementara RIS dalam rapatnya tanggal 3 April 1950 menimbang sangat perlunya penyelesaian yang integral dan pragmatis terhadap akibat-akibat perkembangan politik yang sangat cepat jalanya pada waktu yang akhir- akhir ini.

MEMPERHATIKAN:
Saudara-saudara rakyat dari berbagai daerah, dan mosi-mosi Dewan Perwakilan Rakyat sebagai saluran dari suara-suara rakyat itu, untuk melebur daerah – daerah Belanda dan menggabungkannya ke dalam Republik Indonesia. Kompak untuk menampung segala akibat-akibat yang tumbuh karenanya, dan persiapan-persiapan untuk itu kita harus diatur begitu rupa, dan menjadi program politik dari pemerintah yang bersangkutan dan dari Pemerintah RIS. Politik pengleburan itu membawa pengaruh besar tentang jalannya politik umum di dalam negeri dari pemerintah di seluruh Indonesia

MEMUTUSKAN:
Menganjurkan kepada Pemerintah supaya mengambil inisiatif untuk mencari penyelesaian atau sekurang-kurangya menyusun suatu konsepsi penyelesaian bagi soal-soal yang hangat yang tumbuh sebagai akibat perkembangan politik diwaktu yang akhir-akhir ini dengan cara integral dan program yang tertentu.

Jakarta, 3 April 1950.
M. Natsir – Soebadio Sastrasatomo – Hamid Algadri – Ir. Sukiman – K. Werdojo – Mr.A.M.Tambunan – Ngadiman Hardjosubroto – B. Sahetapy Engel – Dr. Tjokronegoro – Moch. Tauchid – Amelz – H. Siradjuddin Abbas.

IKATAN KELUARGA PAHLAWAN NASIONAL INDONESIA

Meneguhkan Persatuan Bangsa yang Berdaulat, Adil, dan Makmur

WEB TERKAIT

Informasi

Hubungi Kami

Kementerian Sosial, Gedung C, Lantai Dasar
Jl. Salemba Raya No. 28, Jakarta Pusat
IKPNI.com merupakan situs resmi yang diakui oleh Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia. Seluruh konten serta opini dalam situs ini berdasarkan fakta-fakta yang tersedia, namun tidak mewakili pendapat Inspira Mediatama. Konten dalam situs ini sebaiknya tidak dijadikan dasar oleh pembaca dalam mengambil keputusan komersial, hukum, finansial, atau lainnya. Pada artikel yang sifatnya umum, pembaca disarankan mencari pendapat dari profesional sebelum menanggapi dan mengoreksi konten informasi yang dipublikasi jika mungkin tidak sesuai dengan pandangan pembaca. Publisher tidak bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaian yang tayang, bagaimanapun disebabkan. Website ini dibuat untuk IKPNI dengan hak cipta. Kepemilikan merek dagang diakui. Dilarang menyalin, menyimpan, atau memindahkan dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari publisher.
Kilas Sejarah Hari Ini
5 Oktober 2004

Sulawesi Barat menjadi provinsi sendiri

Sejak tahun 1960, pembentukan Provinsi Sulawesi Barat telah diperjuangkan namun ditolak pada 1963 ketika pemerintah pusat justru membentuk Provinsi Sulawesi Tenggara. Momentum pembentukan provinsi baru ini mencuat setelah gerakan reformasi 1998, tepatnya pada tahun 1999. Perjuangan panjang ini akhirnya menemui...

Selengkapnya...
Sulawesi Barat menjadi provinsi sendiri ( 5 Oktober 2004 )
1
"Hallo, Admin. Website IKPNI."
Powered by