Ignatius Slamet Rijadi
Ignatius Slamet Rijadi lahir di Solo pada tanggat 26 Juli 1927. Ayahnya R. Edris Prawiropralebdo adalah seorang perwira Legiun Kasunanan. la mengikuti pendidikan di Hollands lnlandsche School (setingkat SD), kemudian Meer Uitgebreid Lagere Onedrwijs (setingkat SMP). Disamping belajar, ia juga aktif dalam kepanduan (kepramukaan), mula-mula dalam Pandu Taruna Kembang, kemudian dalam Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Pada tahun 1943, dalam masa pendudukan Jepang, ia memasuki Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) di Cilacap, jurusan mesin dan dek. Tamat dari SPT ia bekerja sebagai mualim di perusahaan pelayaran Jawa Unko Kaisha.
Pada bulan September 1945, sesudah kemerdekaan diproklamasikan, Slamet Rijadi membentuk pasukan yang terdiri atas bekas anggota SPT, PETA dan Heiho di Solo. Pasukan ini kemudian diresmikan sebagai Batalion 2 Resimen 26 Divisi X TKR (kemudian menjadi Divisi IV dan akhirnya Divisi II). Slamet Rijadi diangkat sebagai komandan batalion dengan pangkat mayor. la juga ditunjuk sebagai Komandan Sektor Pertempuran daerah Semarang dengan tugas menjaga perbatasan Semarang-SurakartaMagelang dari serangan Belanda.
Slamet Rijadi mempunyai andil yang cukup besar dalam mengamankan Kota Solo yang pada tahun 1948 dijadikan PKI sebagai wild west. Sebelum itu, bersama pasukan Tentara Pelajar dibawah pimpinan Achmadi, ia juga berhasil melucuti pasukan BPRI yang menolak untuk dilebur ke dalam TNI. Pada waktu PKI melancarkan pemberontakan di Madiun, September 1948, ia memimpin pasukannya melancarkan operasi terhadap pasukan PKI di daerah Wonogiri.
Dalam rangka pelaksanaan reorganisasi dan rasionalisasi Angkatan Perang tahun 1948, Divisi lV dijadikan Divisi II. Slamet Rijadi diangkat menjadi Komandan Brigade V Divisi II dengan pangkat Letnan Kolonel. Pada waktu Belanda melancarkan agresi militer kedua, disamping sebagai Komandan Brigade V, ia juga diangkat sebagai Komandan Wehrkreise I (WK I) yang membawahi tujuh Sub-Wehrkreise (SWK). Daerah operasinya meliputi daerah Surakarta dan sebagiandaerah Madiun. Untukmenyatukan tenagaperjuangan, ia mengkonsolidasikan kesatuan-kesatuan bersenjata non-TNI yang terdapat di daerah WK I dan menghimpunnya dalam wadah yang disebut Corps Sukarela.
Aksi-aksi gerilya yang dilancarkan pasukan Slamet Rijadi sangat merepotkan pasukan Belanda di sekitar Solo. Komandan pasukan Belanda di Bangak mencoba melakukan “perang urat syaraf”. Dalam surat yang dikirimkanya kepada Slamet Rijadi diperingatkannya bahwa aksi gerilya akan dibalas Belanda dengan aksi yang lebih hebat yang tentu saja akan menimbulkan korban dan kerugian di pihak rakyat. Untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak lagi, dimintanya agar Slamet Rijadi menghentikan perlawanan dan menyerah dengan membawa bendera putih. Komandan Belanda ini juga mengatakan akan menerima setiap anggota pasukan Slamet Rijadi yang mau menjadi tentara Belanda. Surat itu tidak digubris Slamet Rijadi, bahkan ia semakin meningkatkan aksi-aksi gerilya.
Prestasi yang sangat monumental diperlihatkan Slamet Rijadi ketika ia memimpin pasukannya melancarkan serangan umum ke Kota Solo menjelang diberlakukannya gencatan senjata pukul 00.00 tanggal 11 Agustus 1949. Tujuannya ialah untuk merebut posisi-posisi penting sebagai tempat yang dikuasai TNI dalam perundingan gencatan senjata. Serangan itu dilancarkan selama empat hari dari tanggal 7 Agustus dan berakhir beberapa saat sebelum gencatan senjata diberlakukan.
Dalam perundingan yang diadakan antara Slamet Rijadi dan komandan pasukan Belanda di Solo, Kolonel Ohl,tanggal 11 Agustus, disepakati bahwa daerah-daerah yang dikuasai Belanda akan diserahkan kepada TNI secara bertahap. Komandan pasukan Belanda ini heran bercampur kagum setelah mengetahui bahwa lawan yang dihadapinya selama ini adalah seorang anak muda yang sebaya dengan anaknya. la juga menawarkan kepada Slamet Rijadi untuk dididik di Negeri Belanda.
Berakhirnya Perang Kemerdekaan bukan berarti berakhirnya tugas Slamet Rijadi. Pada bulan Januari 1950 pasukannya dikirim ke Bandung untuk turut menumpas pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dan kemudian menumpas DI/TII di Jawa Barat. Sementara itu, pemerintah mengirim pasukan di bawah pimpinan Kolonel Kawilarang untuk menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS). Dalam pasukan ini Letnan Kolonel Slamet Rijadi diangkat sebagai Komandan Group II. Pada saat pasukannya menyerang Waitatiri, pasukan Mayor Ahmad Wiranatakusuma berhasil merebut benteng Nieuw Victoria, pertahanan terkuat RMS, di kota Ambon. Akan tetapi, pasukan RMS dengan menyamar sebagai APRIS/TNI serta membawa bendera merah putih berhasil merebut benteng itu kembali. Pada saat itu Slamet Rijadi dan pasukannya tiba di Ambon. Dalam pertempuran jarak dekat di depan benteng Nieuw Victoria, Slamet Rijadi terkena tembakan. la gugur pada tanggal 4 November 1950 dalam usia 23 tahun. Pemerintah menaikan pangkatnya dua tingkat menjadi Brigadir Jenderal Anumerta.
Dalam foto ini adalah Letkol Ignatius Slamet Riyadi tengah berjabat tangan dengan Mayor Jenderal F. Moll Inger yang disaksikan oleh kolonel van Ohl (tengah).
Peristiwa ini terjadi pada proses penyerahan Kota Solo ke TNI pada 12 November 1949. Betapa terkejutnya sang Kolonel yang mengetahui musuhnya dalam pertempuran itu ternyata masih sangat muda; ketika peristiwa ini terjadi, usia Ignatius Slamet Riyadi baru 22 tahun.
Pemuda Katholik pemberani bukan hanya itu, pasukan yang dipimpin Slamet Riyadi seringkali membuat kerepotan tentara Belanda. Tak heran jika sang Kolonel itu begitu terkagum-kagum, jika tak mau dibilang dipecundangi. Sebelumnya pada 17 Agustus 1949, di bawah Komando Slamet Riyadi, pasukan TNI berhasil melancarkan Serangan Umum Kota Solo.
Atas serangan ini, akhirnya Belanda sepakat melakukan gencatan senjata dan menyerahkan Kota Solo ke TNI Indonesia.