Frans Kaisiepo
Sejak berkenalan dengan Sugoro Atmoprasojo, salah satu tokoh pergerakan nasional yang diasingkan di Digoel, dan setelah Frans menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Pamong Praja di Jayapura timbul jiwa perjuaangan untuk menggabungkan Nederlands Nieuw Guinea kedalam Republik Indonesia. Frans tidak setuju dengan tulisan papan nama Papua Bestuur School dan menggantikannya dengan istilah Irian Bestuur School. Pada tanggal 14 Agustus 1945 di Kampung Harapan Jayapura dikumandangkan lagu Indonesia Raya. Kemudian pada tanggal 31 Agustus 1945 dilangsungkan upacara pengibaran bendera merah putih.
Peristiwa bersejarah itu dihadiri Tokoh Komite Indonesia Merdeka dan Frans turut terlibat di dalamnya. Kemudian secara aktif turut dalam perlawanan rakyat Biak dalam menentang Belanda. Frans menolak diutus sebagai wakil delegasi Belanda dalam perundingan KMB di Den Haag. Akibatnya Frans dihukum dengan ditugaskan ke daerah-daerah terpencil di Papua. Tahun 1946 pada Konferensi Malino untuk pembentukan Negara Kesatuan Timur, Frans turut hadir dan menentang Pembentukan Negara Indonesia Timur. Kemudian mengganti istilah Papua dengan Irian dalam bahasa Biak yang artinya tempat berhawa panas.
Kemudian seiring dengan perjuangan penyatuan Irian ke dalam wilayah Republik Indonesia muncul istilah Ikut Republik Indonesia Anti Netherlands. Pada tahun 1969 ketika Frans Keisiepo menjabat Gubernur Irja (1964 – 1973) behrasil melangsungkan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat), sistem perwakilan di seluruh kabupaten di Irian Jaya dan memenangkannya sehingga Irian Barat tetap masuk dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terakhir Frans menjabat sebagai Anggota DPA (1973 – 1978) dan namanya diabadikan sebagai nama Bandara di Biak.
Nilai Kepribadian Luhur yang Dimiliki
Memiliki rasa nasionalisme tinggi, pemberani, tangguh dan sangat mendambakan kesatuan dan persatuan. Usahanya memprakarsai berbagai hal untuk kepentingan bangsa dan negara patut mendapat acungan jempol. Tawaran manis dari Belanda pun ditolaknya dengan tegas.
Siapakah FRANS KAISIEPO??
Frans Kaisiepo adalah seorang Pahlawan Nasional yang memiliki peran penting dalam penyatuan Papua dengan Indonesia.
Ia bahkan merupakan orang pertama yang mengibarkan bendera merah putih di Irian Barat dengan penuh kebanggaan.
Frans Kaisiepo lahir pada tanggal 10 Oktober 1921 di Biak, Papua.
Ayahnya adalah seorang kepala suku Biak Numfor dan seorang pandai besi.
Ibunya meninggal ketika Frans masih berusia dua tahun. Frans pun kemudian dititipkan pada bibinya sehingga ia tumbuh besar dengan sepupunya, Markus.
Meskipun Frans besar di kampung Wardo yang terdapat di pedalaman Biak, tapi ia beruntung dapat menempuh pendidikan di sekolah dengan sistem pendidikan Belanda.
Pada tahun 1928–1931, Frans bersekolah di Sekolah Rakyat. Selulusnya dari sana, ia melanjutkan ke LVVS di Korido hingga tahun 1934 kemudian ke Sekolah Guru Normalis di Manokwari.
Setelah lulus, Frans Kaisiepo sempat mengikuti sebuah kursus kilat Sekolah Pamong Praja di Kota Nica, Hollandia (sekarang namanya Kampung Harapan Jaya) selama bulan Maret hingga Agustus 1945.
Di sekolah tersebut, Frans diajar oleh Soegoro Atmoprasodjo, seorang guru dari jawa yang sangat dipercaya oleh Belanda tapi justru mengajarkan tentang nasionalisme pada murid-muridnya.
Soegoro Atmoprasodjo sendiri sebenarnya adalah aktivis dari Partai Indonesia (Partindo) dan pengajar di Taman Siswa bentukan Ki Hadjar Dewantara.
Pada tahun 1935 ia dibuang ke Boven Digoel, Papua karena dituduh terlibat dalam pemberontakan terhadap Belanda.
Pertemuan dengan Soegoro semakin menambah rasa cinta Frans Kaisiepo pada Indonesia.
Dari Soegoro lah, Frans dan teman-teman di sekolah mengenal lagu Indonesia Raya, jauh sebelum gerakan Papua Merdeka muncul.
Pada tanggal 15 hingga 25 Juli 1946, sebuah konferensi yang bertujuan untuk membentuk negara-negara bagian di Indonesia dilaksanakan di Kota Malino, Sulawesi Selatan.
Konferensi tersebut dikenal dengan nama Konferensi Malino.
Frans Kaisiepo ikut menghadiri konferensi tersebut sebagay wakil dari Papua.
Pada konferensi tersebut, ia menentang keras niat Belanda yang ingin menggabungkan Papua dengan Maluku dan memasukkan Papua ke Negara Indonesia Timur (NIT). Pada akhirnya, Negara Indonesia Timur hanya terdiri dari Maluku, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara. Sementara Papua tidak jadi dimerdekakan. Wilayah itu tetap dalam cengkeraman kekuasaan Belanda dan diberi nama Hollandia.
Di konferensi yang sama, Frans juga mengusulkan supaya pemimpin Papua dipilih dari kalangan sendiri dan mengubah nama Papua menjadi Irian.
Nama Irian itu berasal istilah dalam bahasa Biak yang memiliki arti panas.
Istilah Irian tersebut
sering digunakan oleh para pelaut Biak yang harus menunggu panas matahari untuk dapat melaut. Penggunaan nama Irian sebagai pengganti Papua seolah mengharapkan kalau Irian bisa menjadi cahaya penerang yang mengusir kegelapan di Indonesia.
Pada akhirnya, nama Irian juga dibuat sebagai akronim oleh Presiden Soekarno dengan kepanjangan “Ikut Republik Indonesia Anti Netherlands.”
Namun usulan untuk mengganti nama dan menyatukan Irian dengan Indonesia itu tidak mendapatkan dukungan sama sekali baik dari pemerintah Indonesia ataupun Belanda.
Sejak tahun 1946, tidak pernah ada perwakilan dari Papua untuk konferensi apa pun. Sebagai hukuman, Frans dikirim untuk bersekolah di Opleidingsschool voor Inheemsche Bestuursambtenaren (OSIBA) di Belanda.
Lima belas tahun berlalu sejak konferensi Malino, pada tahun 1961, Presiden Soekarno membentuk Komando Mandala untuk merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua dan Indonesia.
Operasi militer tersebut diberi nama Trikora (Tri Komando Rakyat).
Ketika menyadari kalau tujuan Trikora itu sejalan dengan keinginannya untuk menyatukan Papua dengan Indonesia, Frans pun berusaha untuk memberikan bantuan sebisa mungkin.
Saat itu, Frans baru saja mendirikan sebuah partai politik bernama Irian Sebagian Indonesia (ISI). Melalui ISI, Frans Kaisiepo memberikan bantuan untuk sukarelawan Indonesia yang mendarat di Mimika.
Usahanya berhasil Pada tahun 1964, Gubernur Papua yang bernama Eliezer Jan Bonay diturunkan dari jabatannya dan ditahan oleh Pemerintah.
Sebagai gantinya, Frans Kaisiepo diangkat menjadi Gubernur Papua.
Selama menjabat sebagai Gubernur, banyak peningkatan yang terjadi di Papua dibandingkan ketika dipimpin oleh pemerintah Belanda. Di antaranya adalah pertumbuhan penduduk dan tingkat pendidikan masyarakat yang meningkat.
Lima tahun kemudian, pada tahun 1969, di Papua Barat terdapat jajak pendapat untuk menentukan status daerah tersebut menjadi milik Indonesia atau Belanda. Jajak pendapat tersebut disebut Penentuan Pendapat Rakyat atau yang lebih banyak dikenal dengan istilah Pepera.
Masing-masing daerah mengirimkan perwakilan untuk memberikan suara dan menentukan status Papua.
Saat itu, Frans Kaisiepo memiliki peran yang cukup penting.
Ia sering melakukan kampanye ke daerah-daerah, seperti Jayapura, Jayawijaya, Paniai, Fak-fak, Sorong, Manokwari, Teluk Cendrawasih, hingga ke Merauk dengan tujuan untuk berusaha meyakinkan para anggota dewan di daerah-daerah tersebut untuk memilih bergabung dengan Indonesia.
Tak berhenti sampai di sana, Frans Kaisiepo pun dipilih sebagai delegasi Indonesia untuk menyaksikan pengesahan hasil Pepera di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York.
Setelah pensiun sebagai gubernur Papua, Frans Kaisiepo diminta untuk pindah ke Jakarta oleh Pemerintah Indonesia.
Di ibukota lama Indonesia tersebut, ia diangkat menjadi pegawai di Kementerian Dalam Negeri dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Selain itu, ia juga diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) untuk periode 1973–1979.
Frans wafat di Jakarta pada 10 April 1979 akibat serangan jantung setelah dirawat selama beberapa hari di sebuah Rumah Sakit di Jakarta.
Kematian Frans diliputi misteri, saat itu Frans disebut-sebut tengah berusaha mengungkap kebenaran tentang adanya penipuan dalam pelaksanaan Pepera.
Namun mendadak ia dikabarkan meninggal dunia.
Meskipun begitu, tidak ada yang tahu dengan pasti apakah kematian nya itu normal atau ada yang membunuh nya.
Empat belas tahun berlalu, tepatnya pada tanggal 14 September 1993, Pemerintah Indonesia akhirnya mengakui jasa2 nya untuk Indonesia.
Atas jasa-jasanya, Frans Kaisiepo dianugerahi penghargaan sebagai Pahlawan Nasional.
Selain itu, namanya juga diabadikan menjadi nama salah satu kapal perang TNI AL dan Bandara Internasional di Pulau Biak.
Bahkan, pada tahun 2016, Bank Indonesia merilis uang baru nominal Rp.10.000,- dengan gambar Frans Kaisiepo di salah satu sisinya.
Demikianlah sosok Frans Kaisiepo, sang pengibar merah putih pertama di Tanah Papua.
Bagaimanapun juga, sudah sepantasnya kita semua berusaha mengenali dan menghormati setiap Pahlawan yang ada di Indonesia.
Karena tanpa keberadaan Para Pahlawan ini, Indonesia tak akan menjadi negara yang merdeka seperti sekarang.
Penulis: Rizki Adinda
Editor: Khonita Fitri
Keterangan foto :
-inset 1: Maria Magdalena Moorwahyuni, Victor Kaisiepo, dan Frans Kaisiepo.
(Sumber: Twitter – Victor Kaisiepo)
-inset 2 : Uang Republik Indonesia pecahan Rp 10.000,- keluaran tahun 2016.