
Duet Ratulangi-Maramis
Dr. G.S.S.J. Ratulangi (1890-1949) dan Alexander Maramis (1887-1977) lahir di Manado. Keduanya berbeda umur tiga tahun. Keduanya berpendidikan Belanda di Indonesia, yang dilanjutkan kemudian ke Belanda. Maramis mempelajari Ilmu Hukum di Leiden dan mencapai gelar Meester in de Rechten (Mr.) pada tahun 1924. Ratulangi belajar di Univesitas Amsterdam, yang dilanjutkan kemudian ke Swiss, dari mana ia mencapai gelar Doktor Matematika dan Fisika pada tahun 1919. Di Belanda keduanya berhubungan dengan Mohammad Hatta, Ketua Perhimpunan Indonesia (PHI), yang ketika itu belajar Ilmu Ekonomi di Universitas Erasmus, Rotterdam, dan berhasil meraih gelar Doctorandus (Drs.) pada tahun 1932. Setelah selesai pendidikannya di luar negeri duet Ratulangi-Maramis kembali ke Indonesia untuk turut menggalang kekuatan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Di Jakarta duet Ratulangi-Maramis ini mendirikan organisasi KRIS, yaitu “Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi.”
Pada masa pendudukan Jepang, Indonesia diperintah oleh dua angkatan tentara Jepang. Indonesia Barat dikuasai Angkatan Darat, dan Indonesia Timur dikuasai Angkatan Laut. Kedua angkatan ini saling bersaingan. Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, ketika sudah mulai tampak akan kalahnya Jepang, Angkatan Darat cenderung mendukung sedangkan Angkat Laut menentang kemerdekaan Indonesia. Kenyataan ini dilihat sebagai bom waktu yang mengancam kesatuan Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan. Duet Ratulangi-Maramis ditugaskan untuk menyebar-luaskan semangat kesatuan Indonesia. Maramis berangkat ke Indonesia Barat, dan Ratulangi ke Indonesia Timur. Pada akhir tahun 1944 Ratulangi tiba di Makassar dari Jakarta bersama I.P.L. Tobing dan W.S.T. Pondaag, disusul kemudian oleh Mr. Tajuddin Noor dan Mr. A. Zainal Abidin. (Di kemudian hari Mr. A. Zainal Abidin menjadi Profesor di Fakultas Hukum dan Sekretaris Senat Universitas Hasanuddin).
Ratulangi menggalang kerjasama dengan para pejuang di Sulawesi Selatan. Organisasi yang dibentuknya terdiri dari semua komponen yang ada di dalam masyarakat ketika itu. Karena kegiatan politiknya, Ratulangi bersama enam orang rekannya ditangkap Belanda pada bulan Juni 1946, dipenjarakan selama tiga bulan di Jalan Achmad Yani sekarang, yang dulunya bernama Hoogepad, dan kemudian dibuang ke Serui (1946-1948).
Ratulangi dan Maramis bekerjasama dengan Ir. Soekarno dan para pejuang lainnya di Jakarta. Keduanya turut hadir pada saat proklamasi kemderdekaan Indonesia oleh Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Maramis termasuk salah seorang tokoh dalam “Panitia Tujuh” yang merumuskan Pancasila. Ia juga pernah menjadi Menteri Keuangan. Pada saat Belanda melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948 dan Bung Karno dan Bung Hatta ditawan Belanda, ia diangkat menjadi Menteri Luar Negeri Pemerintah Darurat RI, yang berkedudukan di New Delhi. Sebagai orang yang ahli di bidang diplomasi, Maramis pernah menjadi Dutabesar RI untuk Filipina, Jerman Barat, dan Rusia. Ia meninggal pada tahun 1977, 18 tahun sesudah meninggalnja Sam Ratulangi pada tahun 1949. Di bawah ini adalah foto duet Ratulangi-Maramis.
Renungan: Sejarah terbentuk oleh banyak pihak dan banyak faktor, yang tidak selalu terlihat secara utuh.